Mohon tunggu...
Teguh Irawan
Teguh Irawan Mohon Tunggu... Koki - Kunjungi Blog pribadi saya di kamarteguh.blogspot.com

Penulis adalah seorang Industrial Engineer yang bekerja di salah satu perusahaan makanan indonesia. Menulis untuk membuang energi dan waktu yang berlebih.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Menyikapi Hoaks Virus Corona

8 Februari 2020   23:09 Diperbarui: 10 Februari 2020   18:04 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Awas hati-hati sama corona"
"Emang apa corona"
"Comunitas Rondo Mempesona, hhehehe"

Alih-alih khawatir beberapa orang merasa hal berbahaya memang harus ditanggapi secara tidak berlebihan - secara santai. Teori psikologi mungkin, ketika emosi naik maka logika turun, ketika santai logika tetap stabil jadi bisa berpikir secara tenang. Terlepas dari jokes semacam itu, ada hal yang mungkin sama pentingnya dengan virus tersebut yaitu hoaks yang mengiringinya.

Dari berbagai hoaks yang telah tersebar salah satunya telah ditangkap polisi, dua orang yang di Kalimantan Timur yang menyebarkan berita melalui akun facebooknya menyatakan bahwa ada pasien rumah sakit di Balikpapan yang terjangkit virus corona yang mana berita itu mengantarkan mereka ke rumah tahanan karena berita tersebut adalah palsu belaka.

Terkait dengan hoaks, ada berbagai cara untuk mengetahui bahwa berita itu adalah hoaks atau bukan salah satu yang paling mudah adalah verifikasi. Seperti yang dikatakan filsuf matematika barat Betrand Rusell bahwa "sebuah kebenaran akan diiringi oleh sebuah fakta yang akan terhubung dengan fakta lainnya." 

Jadi semisal kita mencium bau hangus dan langsung menyimpulkan bahwa ada kebakaran maka kesimpulan itu bersifat amat lemah. Tetapi, jika kita mencium bau hangus kemudian bau hangus tersebut menuntun kita untuk melihat asap dan ada kobaran api yang menyambar-nyambar serta diiringi oleh beberapa orang yang panik untuk memadamkan api kemudian kita menyimpulakan bahwa ada kebakaran, maka pernyataan itu bersifat kuat untuk dinyatakan sebagai sebuah kebenaran.

Tidak serumit itu untuk mengimplentasikan ke beberapa hoaks virus corona yang tersebar namun garis besarnya hampir sama. Misalnya hoaks yang mengatakan bahwa virus corona telah diramalkan di buku iqro, yang mengatakan bahwa "corona diciptakan di jaman zalim". 

Untuk mengetahui berita itu benar atau tidak pertama kita harus membedah subjek-subjek dari premis tersebut. Dari subjek buku iqro dan virus corona saja sudah tidak mempunyai korelasi sama sekali. 

Buku iqro adalah salah satu media untuk mempelajari bahasa tertentu (Al quran) sedangkan virus corona adalah sesuatu yang berhubungan dengan dunia kesehatan. Kalau dari basis saja sudah terlihat aneh harusnya kita dapat menyimpulkan secara yakin dan cepat tentang kebenaran sebuah berita tersebut.

Satu lagi, hoaks bahwa virus corona bisa menyebar melalui handphone bermerek Xiaomi karena induk brand tersebut berada di china which is negara asal wabah virus tersebut. Kita verifikasi pernyataan tersebut menggunakan metode yang sama. Pertama buat hipotesa sederhana bahwa virus corona bisa menyebar melalui handphone. Kemudian coba kita menganalisanya perlahan. Berarti ada dua objek yaitu penyebaran virus dan handphone (merek xiaomi). 

Langkah berikutnya adalah mencari tahu tentang cara penyebaran virus, karakteristik virus, kemudian media yang dapat mempercepat penyebarannya, dan hal lain terkait dengan itu. Lalu adakah handphone (khuusnya Xiaomi) menjadi bagian dari berbagai fakta tersebut atau tidak. Jika tidak, berarti jelas berita tersebut adalah hasil dari seorang yang iseng karena kelebihan energi.

Cara-cara atau metode tersebut terlihat sangat sederhana, sangat mudah dipahami, tetapi anehnya berita bohong tentang apapun banyak sekali menyebar.

Telepas bahwa kita manusia yang memiliki nilai kepercayaan yang mana menjadikan kita mudah percaya terhadap sesuatu pada waktu tertentu, atau karena kita semua manusia memliki jiwa jurnalistik yang mana kita selalu membagikan sesuatu yang menurut kita baik atau berguna bagi orang lain. 

Sebagai manusia yang berpikir juga seharusnnya kita patut bijak dalam hal-hal penting salah satunya menyebarkan berita, karena banyak hal-hal buruk terjadi karena sebuah berita salah diasumsikan, salah penerima, diputar balikan kebenarannya dan sebagainya.

"Du omnibus dubitandum" kata Rene Descartes, ragukan semuanya. Ketika kita menerima apapun itu sebelum kita membagikannya ke orang lain ragukan itu adalah sebuah kebenaran sampai kita menganalisa, mencari tahu, membuktikan bahwa itu adalah sebuah kebenaran yang hakiki barulah kita membagikannya ke orang lain. Apakah kita tega membohongi orang lain, bukankah hanya kebaikan yang boleh diberikan kepada orang lain.

Atau.

Toh kalaupun itu sebuah kebenaran, tidak semua orang juga perlu berita yang menurut kita penting. Apa yang kita bela mati-matian kita anggap penting setengah mati, bisa jadi hanya menjadi sebab orang lain untuk berkata "apaan si, gak jelas."

 Jadi bijaklah.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun