Tak terasa kita sudah berada dipenghujung tahun 2016. Beberapa kejadian juga telah berlalu seiring pergantian November kemarin dengan bulan Desember ini. Tapi satu hal yang sampai saat ini masih menarik untuk diperbincangkan, yaitu tentang demo buruh yang dilakukan oleh ribuan buruh pada akhir November kemarin.
Para buruh yang tergabung dalam KSPI (Kenfederasi Serikat Pekerja Indonesia) ini melakukan aksi MONAS (mogok nasional), aksi ini sebagai bentuk protes kaum buruh terhadap rancangan undang-undang tentang pengupahan minimum. Mereka menolak PP-78 tahun 2015 karena dianggap sangat merugikan kaum buruh sendiri, hal ini dikarenakan PP tersebut akan dijadikan acuan untuk standar kenaikan pengupahan buruh, dalam PP tersebut dijelaskan kenaikan upah minimum dibatasi dalam kiasaran angka 11%. Sedangkan kita tahu, pada kenaikan upah minimum tahun-tahun sebelumnya kenaikan mencapai angka 40% seperti pada tahun 2013.
Sekilas aksi mogok nasional besar-besaran yang dilakukan oleh kaum buruh akhir November kemarin memang terlihat lumrah dan sejalan dengan alasan mereka. Angka 11% persen dinilai tak bisa memenuhi standar kehidupan layak.
Pun jika dilihat dari sejarah, demo buruh memang tak hanya dilakukan untuk menuntut upah yang lebih layak. Melainkan juga tentang nilai kemanusian.
Pada tanggal 1 Mei 1996, empat ratus ribu buruh di Amerika Serikat berunjuk rasa menuntut agar jam kerja mereka dikurangi yang sebelumnya hampir 14jam dikurangi menjadi 8jam. Demo yang dilakukan oleh kaum buruh yang didominasi oleh kulit berwarna itu berlangsung selama 4 hari, dan peristiwa inilah yang menjadi pionir untuk hari buruh sedunia atau yang bisa kita kenal dengan mayday.
Tak hanya jam kerja, sejarah mencacat demo buruh juga berkolerasi dengan hari libur selama satu pekan, sabtu dan minggu.
Sejauh ini kita tentu sepakat bahwa buruh mempunyai jasa yang besar terhadap dunia ketanagakerjaan, jasa yang sampai saat ini bisa rasakan. Pegawai kantor, PNS, karyawan pabrik, semua yang masih bekerja untuk orang lain, semua yang mempunyai title buruh bisa merasakan jasa besar tersebut.
Tapi tentunya kita tak boleh melihat sebuah kejadian dari satu sisi saja, kita semua setuju bahwa melihat sebuah kejadian dengan prespektif lain akan membuahkan kesimpulan yang berimbang.
Demo yang dilakukan tak kurang dari lima juta buruh seindonesia akhir november kemarin jelas merugikan para pengusaha, demo yang dilakukan selama tiga hari berturut-turut itu menurut juru bicara APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) adalah sebuah bentuk indisipliner, mereka menilai rancangan PP tantang pengupahan tersebut adalah sebuah kewajaran. Mereka menilai selama ini belum ada angka standar tentang kenaikan upah. Kenaikan 11% dinilai lebih menguntungkan bagi semua pihak. Apalagi jika dilihat dari standar pengupahan seasia tenggara, upah minimum buruh di indonesia lebih baik dari pada negara-negara lain katakanlah Myanmar, Laos dan Kamboja.
Apalagi kenaikan upah minimum juga berbanding lurus dengan tingkat inflasi. Sejauh ini jelas bahwa demo kenaikan upah minimun memunculkan sebuah dilema yang cukup rumit. Di satu sisi para buruh ingin mendapatkan upah yang layak di tengah-tengah kondisi perekonomian seperti ini. Tapi disisi lain, para pengusaha maupun insvestor tentu menilai ini adalah sesuatu yang mengancam kelangsungan usaha mereka.
Sebagai seorang buruh saya ingin mencoba menganalisa tentang dilema ini, terlepas dikotomi yang sudah dijelaskan sebelumnya. Saya berpendapat upah minimum memang sudah sewajarnya naik, tapi saya melihat masalah sebenarnya bukanlah pada angka kenaikan tersebut. Contoh, ketika kenaikan upah pada tahun 2013 lalu yang mencapai 40% harga kebutuhan pokok serentak ikut meningkat. Kasarnya ketika gaji naik maka harga sandang, pangan dan pangan juga ikut naik. Jadi jelas kenaikan nomimal gaji tak berbanding lurus dengan kesahteraan, lah wong harga sembako juga ikutan naik kok.