Berbagi Pengalaman Daddy blues
(Seri Diskusi Mblarah #12)
Ditulis oleh : eko irawan
Ada beberapa tempat nongkrong yang jadi arena Mblarah sejenak bagi para bapak bapak yang kadang kala aku numpang lewat di sana. Mblarah bagi saya tetap ajang berbagi pengalaman, yang kali ini coba mengulik seputar Daddy blues. Pentingkah ? Penting di baca sebagai persiapan calon ayah agar tidak terbawa emosi berlebihan.
Kelompok mblarah pertama, sebagian besar sepantaran saya namun masih bujang. Hanya satu dua saja yang bisa diajak diskusi Daddy blues. Sebagai kelompok bujang, kok punya anak, menikah saja belum. Tentu kelompok ini tidak akan nyambung diajak cerita Daddy blues. Mereka bukan ayah tapi om atau paman dari para keponakan.
Kelompok mblarah kedua, disatukan berdasarkan profesi Antara PNS dan swasta. Bagi yang PNS golongan menengah ke atas, kecemasan hal keuangan dan keberanian memulai hidup baru dengan menikah hampir tak ada masalah, sama dengan unsur swasta mapan lainnya. Malah teman teman yang bergerak dibidang swasta bisa lebih mapan duluan saat memulai hidup barunya. Di level ini hampir tak ditemui Daddy blues mencolok sepanjang beberapa tahun kebelakang saat saya hadir ditengah mereka.
Dibutuhkan kajian mendalam jika ingin semacam angka statistik yang akurat, namun berdasarkan pengamatan karena sekedar diskusi mblarah, baik PNS atau swasta kelas menengah ke bawah, maka cerita Daddy blues berseliweran ditengah kita. Cemas secara ekonomi, gaji yang rendah dan mekanisme kerja yang tidak stabil mendorong munculnya Daddy blues, bahkan muncul pula konflik rumah tangga yang pelik. Yang swasta, harus giat bekerja siang malam untuk menambah kapasitas pundi pundi untuk menopang daya dukung kebutuhan rumah tangganya, yang negeri golongan kecil lebih nanggung lagi. Terlatih kerja administrasi gaji sekali sebulan, jika dipotong pinjaman bank dan tuntutan biaya tinggi seputar Daddy blues, maka banyak yang pusing. Nambah kapasitas kerja, mereka tidak mampu karena sudah terbiasa kerja administrasi. Â
Kelompok mblarah ketiga lebih unik lagi karena kelompok seniman dengan job belum tentu dan tidak pasti. Kadang banyak berlimpah ruah tapi kalau pas sepi job beli rokok atau bensin untuk isi motor pribadi saja tidak mampu. Â Ini tiga kelompok dimana saya pernah numpang lewat pada mereka, masih banyak jenis jenis kelompok mblarah lainnya tapi saya rasa hal ini cukup mewakili secara umum latar belakang seorang ayah yang ada disekitar kita, semoga mampu memberi pencerahan.
Fenomena Daddy blues dan Mblarah.
Belakangan saya baru sadar jika komunitas Mblarah ternyata salah satunya  dipicu oleh Daddy blues. Dibeberapa tempat, dirumah teman hingga cafe kita dapat jumpai sekumpulan bapak bapak nongkrong dan ngumpul. Mereka bukan orang orang kurang kerjaan, namun jika ditelaah lebih jauh ternyata mereka para ayah yang mengalami Daddy blues dalam kehidupan rumah tangganya. Selepas bekerja mereka tidak langsung pulang tapi bergabung dengan berbagi komunitas yang intinya sejenak menaruh kecemasan mereka. Kita patut memaklumi dan memberikan mereka apresiasi bahwa kumpul sejenak dengan teman teman akan sangat membantu berbagi pengalaman berwujud problem solving. Jika dalam komunitas tsb malah di bully, tentu komunitas dimaksud tidak cocok dengan anda. Tiap orang butuh support yang positif, jika dalam perkembangannya jadi tambah liar, berarti bukan solusi yang didapat, tapi justru menambah permasalahan.
Mblarah adalah sebuah potret kecemasan akut yang harus diberi ruang agar jadi terarah dan terbimbing secara lebih baik dimasa mendatang. Mblarah bukan ajang tak berguna, tapi sebagai media positif melupakan sejenak problematika yang dihadapi, tukar pikiran dengan teman yang perduli dan menjawab persoalan hidupnya dengan cara yang lebih manusiawi. Dan diskusi Mblarah yang saya jadikan seri tulisan ini semoga mampu memberikan banyak pencerahan dengan cara yang tidak menggurui.
Ditempat kerja hingga dirumah tangga, seperti kasus Daddy blues membutuhkan ruang yang santai namun mengena untuk win win solution. Mblarah sejenak akan menciptakan ruang kreatif baru yang lebih manusiawi. Antar teman akan tumbuh solidaritas yang berkemanusiaan, saling dukung dan akan menciptakan ruang baru untuk pertumbuhan, kolaborasi dan hal positif lain yang lebih baik.