Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Sejarawan - Pegiat Sejarah, Sastra, Budaya dan Literasi

Ayo Nulis untuk Abadikan Kisah, Berbagi Inspirasi dan Menembus Batas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Her Story about Mblarah (Seri Diskusi Mblarah #8)

4 Desember 2024   14:41 Diperbarui: 4 Desember 2024   15:19 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Her Story about Mblarah
(Seri Diskusi Mblarah #8)
Ditulis oleh : eko irawan 

Nongkrong, kongkow, ngopi jadi istilah mengundang teman teman terdekat untuk pertemuan secara offline. Acara ini jadi cara cerdas melepas lelah setelah beraktifitas sesuai bidang masing masing. Tak hanya yang masih bujang, yang sudah berkeluarga pun baik laki laki dan perempuan punya trend yang sama. Pertemuan offline ini bisa dianggap penting, karena sejak pandemi covid 19 kemarin, semua orang sibuk dengan gadget masing masing. Grup grup WhatsApp dibangun sebagai sarana diskusi online.

Esensi pertemuan offline bagi penulis tetap penting, karena inilah cara memanusiakan manusia. Manusia bersosialisasi dengan sesamanya. Jadi ajang Berbicara dan berdiskusi. Sehingga manusia kembali kepada pada fitrah kemanusiaannya.

Dunia online jadi ajang pamer status yang berisi pencitraan. Tujuannya untuk pengakuan personal branding di ranah online. Terus bagaimana mereka di ranah offline ? Ternyata sekalipun Sudah bertemu dengan koleganya dalam moment nongkrong bareng, ngumpul tapi sibuk dengan gadget masing masing. Seharusnya etika saat bertemu langsung harus mampu meletakan gadget masing masing dan mulailah bersosialisasi sebagai dirinya sendiri. Sebagai sosok asli sesuai jati dirinya. Di dunia online, semua bisa dipoles. Foto bisa pakai filter agar lebih mempesona. Cerita bisa dibuat. Tapi kapan diri anda menjadi diri sendiri ? Diri yang asli ?

Lalu apa yang akan dibicarakan diranah nongkrong, kongkow atau ngopi tersebut ? Karena itu bertujuan santai, sekalipun inti materi yang dibahas hal hal berat, namun intinya sebatas tukar pikiran. Diskusi mengalir saja karena peserta diskusi, masing masing sudah lelah dengan aktivitas yang dijalaninya. Ini adalah forum non formal yang bertujuan santai dan sebagai sarana sejenak melepaskan diri dari beban yang selama ini ditanggung. Output dari acara ini juga tidak mengikat hanya sebatas diskusi ringan, tapi tetap berbobot dan menginspirasi. Para peserta yang ada adalah para manusia penggerak. Mereka punya pengalaman profesional di ranah masing masing. Satu dua jam jadi moment diskusi efektif yang tetap bikin kangen untuk bertemu kembali di lain waktu.

Inilah bentuk diskusi Mblarah yang kemudian saya tulis secara berseri ini. Hal ini berawal dari pendapat Ki Hajar Dewantara tentang konsep manusia Pembelajar. Ki Hajar Dewantara pernah menyampaikan sebuah pesan seperti ini, "Bagi manusia pembelajar, setiap orang adalah guru. Setiap tempat adalah ruang kelas. Dan setiap waktu adalah pelajaran." Jadi menilik dari pendapat tersebut, diskusi Mblarah ini diikuti secara merdeka oleh orang orang dengan pengalaman profesional di bidang masing masing. Mereka saling memberi ruang dan kesempatan untuk jadi guru. Dalam konsep Manusia Pembelajar, siapapun berhak jadi guru yang membagikan amal ilmu, pengalaman dan siapa tahu hal tersebut menginspirasi secara positif dan bisa jadi ruang saling tolong menolong. Diskusi Mblarah adalah ruang kelasnya dan setiap waktu yang tersedia adalah pelajaran yang tidak terikat jadwal. Saya menuliskannya karena inilah cara mendokumentasikan secara kreatif agar apa yang dibahas adalah ilmu yang akan hilang jika tidak dituliskan. Itulah alasan dibalik saya menulis seri diskusi Mblarah ini.

Setiap orang adalah guru

Budaya membaca memang masih sangat kurang. Bacalah atau Iqra tidak hanya sekedar perintah membaca tulisan, namun lebih jauh, iqra juga diartikan membaca keadaan, membaca sekitar alam, dan membaca apa yang saya sebut diskusi Mblarah ini. Banyak hikmah harus dibaca secara cermat bahkan pada seorang yang dianggap Mblarah sekalipun.

Mengenai pendapat Setiap orang adalah guru adalah cara memanusiakan manusia secara fitrah. Orang yang menutup diri akan kesepian dan Tuhan biasanya mengirimkan orang lain sebagai petunjuk, solusi dan inspirasi atas apa yang jadi keresahannya secara pribadi.

Tapi tetaplah selektif menyaring pendapat orang lain. Sebagai pribadi kita tetap wajib jadi diri sendiri yang sejati. Jangan jadikan orang lain sebagai standar yang memberatkan diri sendiri dan jadikan diri kita lupa bersyukur.

Konsep diskusi Mblarah tetap memberikan ruang pada siapapun untuk jadi guru berdasarkan pengalamannya. Walau ada yang menilai diskusi ini dianggap tidak ilmiah dan tidak bermutu,  karena tidak bertempat di forum yang resmi semisal di perguruan tinggi dan dihadiri orang orang dengan gelar S3 hingga profesor. Diskusi Mblarah justru jauh dilakukan sebelum saya tulis ini, kebetulan saja saya menemukannya dan saya kemas agar apa yang ada dilapangan ini tidak hilang sia sia begitu saja tanpa rekam jejak.

Manusia pembelajar tidak dibatasi umur, ruang dan mata pelajaran dan dalam diskusi Mblarah memang tidak menyediakan sertifikat telah mengikuti diskusi atau seminar tertentu. Sungguh ini acara informal bernama diskusi dalam forum santai yang tidak ada poster undangannya. Diskusi Mblarah walau dianggap Mblarah tapi tetap terarah dengan spirit memanusiakan manusia agar hidupnya tetap bermakna dan mampu menginspirasi khalayak umum.

Membangun Frekuensi yang Sama

Ide menulis moment diskusi Mblarah ini mengalir saja. Tak ada maksud tertentu dibalik tulisan ini. Bagi yang tak suka dan memberikan berbagai penilaian, silahkan saja. Tak ada paksaan untuk menyukai seri tulisan ini, termasuk seri seri puisi yang hingga hari ini sudah ada lebih dari 1000 judul puisi tayang di Kompasiana. Soal curhat tentang dunia puisi akan saya tulis di artikel yang lain.

Berteman itu intinya membangun frekuensi yang sama. Masih ingat jaman radio, jika salah frekuensi tak bakalan nyaman di dengarkan. Walau tidak berteman secara pribadi, tapi memiliki frekuensi yang sama, apa yang kita sajikan dalam tulisan tulisan kita pasti diapresiasi dengan baik tanpa prasangka.

Satu frekuensi menciptakan suasana enjoy yang mampu saling isi dan lengkapi tanpa terbebani. Dikritik malah berterima kasih tanpa merasa tersinggung. Mereka merasa tak digurui dan bisa legowo menerima ilmu dan hal hal baru.

Seekor kodok tak akan bersahabat dengan ular. Seekor kijang tak akan jadi sahabat baik seekor macan. Satu frekuensi menciptakan sinergi hingga tercipta titik temu yang mempertemukan banyak perbedaan. Efisiensi sebuah project tercipta dari satu frekuensi yang sama. Dari diskusi Mblarah malah banyak diketemukan solusi cemerlang. Tidak percaya ? Coba aja sendiri.

Her Story about Mblarah

Mari nikmati hari demi hari dengan berkarya. Jika berguna, Alhamdulillah. Jika dianggap tidak bermanfaat, maka penilaian tersebut tetap jadi motivasi diri agar menghasilkan karya yang lebih baik. Jadilah jiwa merdeka yang mampu memanusiakan manusia. Teruslah menginspirasi dengan memberikan bukti yang nyata dan ada bukti otentiknya. Her Story about Mblarah bukan omong doang, tapi mengemas hal hal kecil yang tidak dianggap, tapi sejatinya merupakan permata berharga yang bersinar.

"Tulisan akan bermakna, saat dibaca."

De Huize Mblarah, 4 Desember 2024
Ditulis untuk Seri Diskusi Mblarah 8

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun