Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Sejarawan - Pegiat Sejarah, Sastra, Budaya dan Literasi

Ayo Nulis untuk Abadikan Kisah, Berbagi Inspirasi dan Menembus Batas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pilkada Nietzsche dan Pohon (Seri Diskusi Mblarah #1)

28 November 2024   14:10 Diperbarui: 28 November 2024   14:12 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri Eko Irawan untuk Seri Diskusi Mblarah #1 foto diolah dengan lumii dan snapsheed November 2024

Pilkada, Nietzsche dan Pohon
(Seri Diskusi Mblarah #1)
Ditulis oleh eko irawan

Jagongan sambil ngopi malam itu serasa tanpa ending. "Mblarah" dalam kosa kata bahasa Jawa yang memaknai diskusi tanpa ending dan kesimpulan, adalah penilaian tentang giat informal malam itu. Rabu, 27 November 2024 adalah hari pilkada Serentak di Seluruh Indonesia. Semua sibuk menentukan masa depan kota, kabupaten dan provinsi akan dipimpin oleh siapa.

Tinta Biru di Kelingking

Jangan golput, tetaplah gunakan hak pilih mu sesuai hati nurani untuk hadir di TPS dimana dirimu terdaftar. Tinta biru di kelingking adalah simbul kamu sudah berpartisipasi dalam pesta demokrasi di negeri ini. Sebuah kegiatan bernama pesta, tapi tidak ada menu makanan yang disuguhkan untuk mereka yang telah hadir. Tugas dalam pesta ini, memilih calon yang ada dikartu suara.

Ini sudah jadi sistem yang dibangun untuk menegakkan demokrasi dalam bernegara dan berbangsa. Kali ini sudah lebih baik dan efisien. Aturannya sudah ditetapkan dan dijadikan undang undang. Kalah menang adalah hasil akhir dari sebuah pesta demokrasi. Itu berasal dari akumulasi pilihan dari warga negara yang memberikan hak pilihnya.

Itulah jadi trading topik di medsos hari itu dan sampai malam mendengarkan penghitungan suara. Diskusi ngopi pun mbahas bab pilkada. Apapun hasilnya, inilah potret demokrasi bangsa ini. Terima kasih yang telah datang berpartisipasi dan merekam kehadirannya dengan tinta biru di kelingking.

Nietzsche dan Pohon

Hujan mulai mengguyur di bulan November. Suasana syahdu mewarna malam. Kita diskusi Mblarah sambil menikmati kopi dan suguhan gorengan. Diskusi malam ini sambil sayup sayup mendengarkan kata sah... Sah... sah... Dari pengeras suara panitia KPPS.

Pohon besar diseberang warung serasa jadi cerita up to date tentang Nietzsche dan Pohon. Kok pohon ?
Nietzsche pernah berkata :

" pohon yang ingin mencapai langit harus mencapai bumi yang paling dalam. Akarnya harus sampai ke neraka, jauh di lubuk hati; barulah cabang-cabangnya, puncaknya, dapat mencapai surga. Pohon itu harus menyentuh keduanya: neraka dan surga, baik tinggi dan dalamnya."

Seperti itulah gambaran tentang Kekuasaan yang diraih yang disinonimkan sebagai surga, harus melalui sebuah proses yang berakar kuat dan mampu menyentuh hingga ke bumi para pemilih, dengan berbagai upaya perjuangan meraih suara yang disinonimkan sebagai neraka. Yang bisa menyatukan surga dan neraka itulah yang meraih kemenangan. Itulah kesimpulan mblarah diskusi kali itu.

Sejarah memang tidak akan mencatat nama nama orang yang lagi ngopi malam itu, termasuk mereka yang telah mencelup tanda tinta biru di kelingkingnya. Namun berbanggalah mereka yang telah berpartisipasi dalam pemilu, karena tanpa peran mereka, suara siapa yang akan mengangkat beliau yang terpilih menjadi sang pemenang ?

Sejarah memang tak mencatat, siapa guru yang mengajari Nietzsche menulis dan membaca. Siapa pula yang ingat, sosok yang mencuci pakaian Hitler. Sejarah juga tak mencatat nama orang orang yang mati saat pembangunan Piramida agung di Mesir atau tembok raksasa Cina. Saat Borobudur dibangun juga tidak tercatat siapa yang memasak untuk para tukangnya.

Ternyata Sejarah dibangun oleh orang-orang yang namanya tidak ada dalam sejarah. Lantas kemana mereka pergi? Kata seorang bijak, mereka ada dalam setiap gelak tawa dan kesedihan kita. Mereka  menjadi tanah yang subur sehingga pohon-pohon tumbuh dan memberikan udara segar untuk kita hirup. Seperti pohon besar yang harus menghasilkan buah yang segar dan daun yang mensuplai oksigen untuk kehidupan di bumi. Akar akar pohon tersebut tidak terlihat, padahal pohon tanpa akar akan tumbang.

Diskusi Mblarah malam itu tetap jadi bahan yang memberi pencerahan, minimal jadi bahan renungan bahwa warga di akar pohon yang tidak dikenal ini, tetap punya peran besar mengantar sang pemenang dalam sejarah demokrasi di negara ini. Keren bukan ? Dan mari berdoa bersama, agar mereka yang terpilih tetap memberikan oksigen untuk kesejahteraan warga, baik yang memilih dia atau tidak. Harus tetap amanah sesuai janji janji mereka sendiri saat berkampanye.

De Huize Sustaination, 28 November 2024
Ditulis untuk Seri Diskusi Mblarah 1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun