Bicara dengan puisi #5 : Fiksilogi
Ditulis oleh : eko irawan
Puisi itu fiksi. Dibaca bicara deklamasi. Didengar untuk dicermati. Hidup sekali harus punya arti.
Baca puisi, tak perlu malu. Bukan cengeng, bukan mendayu Dayu. Puisi itu bukan potret semu. Puisi itu fiksilogi ya kamu.
Fiksi bukan khayal, fiksi bukan tak masuk akal. Fiksi itu cara nikmati syukur tanpa sangkal. Bebaskan tarian pena, bebaskan jiwa dangkal. Ingat, bukan tak normal tapi inilah kenyataan.
Jujur, nanti tersinggung. Apa adanya, tidak disanjung. Jelas, akan dipentung, digulung. Tapi diam, tak guna berbuah murung.
Punya suara tapi bisu. Haruskah bungkam dalam deklamasi semu. Puja raja memuji permata palsu. Setinggi langit dalam bait nan rancu.
Rangkailah puisi, bermakna hakiki. Pena merdeka, dalam simbul murni. Bermakna kias, lahirkan inspirasi. Puisi itu fiksilogi tinggi, tak sombong tapi sejati.
Puisi makna dalam diksi. Mulut dibungkam tapi tidak dengan hati. Indah dirasa, dipeluk bait cinta hakiki. Jangan mati, bicaralah dengan puisi.
De huize Fiksilogi, 19 Oktober 2023
Ditulis untuk Seri Bicara dengan Puisi 5
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H