Kompasianival ku, Monolog Hamid Rusdi
Tahun ini, mohon maaf aku belum bisa bergabung dengan Kompasianival 2022. Sebagai Kompasianer, event Kompasianival adalah selebrasi yang layak dirayakan. Tapi kemanapun aku pergi, aku selalu membawa identitas yang membanggakan. Satu, Reenactor Ngalam. Dan dua, Penulis Kompasiana. Ibarat pedang, ini adalah dua sisi yang sama tajam. Sama berarti dan sama penting. Karya nyata kompasianer tidak hanya dengan menulis gagasan, tapi mewujudkannya dalam bentuk yang lebih nyata dan punya nilai manfaat.Â
Talkshow Spirit budaya dan kepahlawanan di malang pada hari Sabtu, 10 Desember 2022 telah memasuki chapter #4, dengan audience para budayawan senior di Malang Raya berlokasi di Mesem Caffe Tumpang.
Pada chapter #1, audience adalah siswa dari SMAN 3 Malang, sebuah sekolah favorit di Kota Malang. Kali ini saya putarkan Film karya Reenactor Ngalam dan berbagi tips menulis serta game boso walikan khas malang yang ditulis dengan game menulis terbalik dari kanan ke kiri. Kebetulan saya memang bisa menulis terbalik dari kanan ke kiri. Tulisan kode ini memang saya dalami sejak 1986, terinspirasi dari cerita Hamid Rusdi tentang surat rahasianya yang ditulis dalam bahasa kode.
Chapter #2, dengan audience para guru mata pelajaran sejarah SMP se kota Malang. Titik berat yang saya sampaikan adalah pengenalan museum Reenactor Ngalam sebagai metode pembelajaran yang layak dikunjungi para siswa. Museum ini sudah ada sejak 2017 namun bapak dan ibu guru ini belum tahu keberadaannya dimana dan perannya dalam dunia pendidikan itu apa. Sudah seharusnya para siswa SMP di Kota Malang mengenal para tokoh pahlawan di kotanya sendiri, agar cerita kepahlawanan lokal ini tetap dikenal oleh generasi penerus.
Chapter #3, audiencenya adalah para santri yang mondok di Pesantren Luhur. Mereka adalah mahasiswa yang kebetulan mondok di sana. Pesantren Luhur dan Museum Reenactor Ngalam kebetulan berlokasi di satu kelurahan. Pada masa perang kemerdekaan, Kelurahan Sumbersari adalah markas komando gerilya kota yang di pimpin oleh Kapten Soemitro. Ditempat ini, Mayor Hamid Rusdi pernah berpesan pada Kapten Sumitro agar meneruskan perjuangan, karena beliau sudah merasa lelah. Sebulan kemudian, 8 Maret 1949, mayor Hamid Rusdi gugur ditembak Belanda didaerah Wonokoyo.
Dan pada chapter #4, saya membuat monolog Hamid Rusdi dengan diiringi musik dari Mata Lima. Saya sadar, audience yang saya hadapi adalah para budayawan senior dari malang raya, tentu saya harus menyampaikan sebuah cara unik agar kepahlawanan Hamid Rusdi ini tampil dari sisi yang lain yang lebih unik dan memikat.