Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Sejarawan - Pegiat Sejarah, Sastra, Budaya dan Literasi

Ayo Nulis untuk Abadikan Kisah, Berbagi Inspirasi dan Menembus Batas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Waktu Berdamai dengan Semesta (Seri Pencari Langit #2)

18 Oktober 2022   22:43 Diperbarui: 18 Oktober 2022   22:46 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri seri pencari langit #2

Cerpen : "Waktu Berdamai dengan Semesta"

Lelah, bukan menyerah. Walau hati gundah, tetap semangat, walau dipaksa kalah. Kita itu butuh, terus berjuang agar berubah. Tak perlu kuwatir dan resah. Semua ada yang mengatur, takdir terbaik penuh berkah.

Ngopi disenja kala. Merenung catatan sejarah kemarin. Waktu jelas tak bisa diputar balik. Agar aku bisa memperbaiki langkah langkah percuma kemarin hari. Itu tak mungkin. Karena ruang waktu kemarin sudah jadi masa lalu. Sudah terlewati dan akan buang buang waktu percuma, jika terjebak disana.

Dibilang putus asa, bisa jadi memang iya. Hidupku sudah penuh kegagalan demi kegagalan. Sepertinya aku dipaksa kalah. Menyerah. Dan jadi bahan tertawaan orang orang tak berakhlak, yang ingin aku terpuruk. Merekalah tukang ghibah yang menyembah iri dengki dan memelihara egoisme tingkat tinggi. Tak hanya omongan, mereka menempuh segala cara agar orang lain gagal. Orang seperti aku, jadi bahan hinaan, karena merekalah orang orang yang merasa sebagai makhluk paling sempurna, dan Dimata mereka, orang lain adalah sampah yang layak dihinakan. Ternyata Ngurusi mereka, bisa sinting diriku.

Kegagalanku bukan disengaja. Siapa mau gagal? Tentu tak seorangpun ingin gagal. Semua orang ingin hidupnya baik baik saja. Tak seperti aku sekarang. Disenja yang seharusnya syahdu, aku masih duduk disitu. Jauh dari orang orang yang aku kasihi. Terusir dari apa yang disebut bahagia. Menderita dengan dunia yang menganggap aku hanya pengganggu. Orang yang tak dibutuhkan ada. Hadirnya dicurigai. Keberadaannya dijadikan sansak untuk dipukuli. Dibenci. Diolok olok. Dan dijadikan bahan tertawaan para pemuja munafik tingkat dunia. Sungguh ini menderita, dan aku tak mau terus terusan begini. Tak mau!!

Kuminum seteguk kopi yang mulai mendingin. Sekarang saatnya telah tiba. Waktu berdamai dengan semesta. Aku yakin, semua ini sudah ada yang mengatur. Ada skenario besarnya. Sekalipun banyak orang mengkritik aku sesuai versinya masing masing dan ada yang memblacklist diriku dengan berbagai konspirasi gila, semua semata mata ujian agar aku jadi lebih baik. Jadi ingat jaman akik. Sebuah akik yang ciamik dan memiliki nilai tinggi, ternyata melalui tahapan proses penuh ujian. Dipotong. Ditempa, dipukul. Digerinda. Digosok. Diamplas. Dibentuk. Semua itu ada proses dalam kisaran waktu. Aku jelas tak bisa memaksa diri untuk bimsalabim, tiba tiba sebuah batu Nemu dikali jadi akik cantik yang indah berkilau. Aku memang harus belajar dari akik. Tetap sabar dan ikhlas menghadapi ujian ini, dengan ending cemerlang bak permata. Usaha ini tak akan mengingkari hasil. Dan aku ambil hikmah dari ini semua.

Bosan juga hidup compang camping bak gembel. Sudah tak ada yang mengapresiasi. Apalagi menghargai. Semua bilang tak mau menolong aku. Aku bagai penjahat yang dicurigai. Tingkah polahku diamati. Kemana aku pergi dirasani. Dibahas. Orang gagal memang tak punya tempat. Dikira pelarian yang tak jelas.

Lelah. Aku pingin tidur saatku ngantuk. Aku pingin makan saatku lapar. Biarkan cuitan orang orang yang tak ingin melihatku. Mereka tak peduli aku, kenapa aku harus bingung mengurusi mereka. Persetan dengan lambe turah. Padahal doakan saja yang baik, itu lebih mulia. Tapi dasar tak punya akhlak, mana bisa berdamai dengan kemuliaan.

Saatnya aku diam. Bekerja sebaik mungkin semampuku. Totalitas tanpa sambat keluh kesah. Tenangkan hati dan pikiran. Semua sudah ada yang atur. Jadi jalani saja dengan ikhlas. Saatnya berdamai dengan diri sendiri. Tak perlu memaksakan diri jika tak mampu. Jika diri ini tumbang, siapa mau perduli. Yakin bahwa rejeki itu tak bakalan salah alamat dan waktu terbaik itu pasti ada. Bismillah.

Oktober memang sudah masuk penghujan. Kopiku sudah habis kuteguk. Senja sudah bertukar malam. Duduk bersandar memandang malam yang berangsur gelap. Saatnya tafakur digalaksi luhur. Aku sudah lelah berjalan dibumi yang penuh intrik dan rekayasa. Saatnya aku berdoa penuh kepasrahan dibawah langit. Langit memang sudah ada. Tapi akulah sang pencari langit. Karena dibalik langit, ada banyak hikmah yang bisa dipetik. Langit tetap menghibur jiwa jiwa yang terluka. KerLiP bintang jadi penghibur hati yang berduka. Harapan selalu ada, untuk tetap semangat tanpa putus asa. Karena sekarang adalah waktu berdamai dengan Semesta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun