Langkah kaki telusuri Selasar kenangan. Tapak rindu dalam genggaman. Dirangkai dalam sajak percintaan. Ini kita, aku dan engkau yang disatukan.
Tak perlu sembunyi. Rugi, mengurusi orang orang iri. Merekalah makhluk pemuja dengki. Tukang ghibah yang sakit hati.
Jalani saja. Bukan mereka yang jamin rejeki kita. Tapi mereka sok suci, seolah tiada cela. Hanya pandai mencerca, tapi sesungguhnya mereka Iri tak punya daya.
Mungkin tertawalah mereka. Terbahak melihat kita. Terjebak dalam hujan di malam Minggu di Jogja. Seolah kita tak mampu menikmati rasa.
Hujan mengajarkan syukur. Menumbuhkan benih terbaik agar tumbuh. Hujan itu menentramkan. Karena cinta membuat syahdu, sementara benci membakar. Memberi tanda hangus, tanda tak mampu.
Ini hidup kita, tak perlu diperdebatkan. Biarlah hujan memeluk kenangan. Tak perlu ceritakan, karena bukti nyata ada dihadapan.Â
Malioboro, 8 Oktober 2022
ditulis oleh Eko IrawanÂ
untuk Seri Puisi Asmaraloka 23
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H