Hidup itu memilih. Karena berapa langkah lagi, pertigaan terakhir. Harus putuskan, tanpa debat lagi.
Pilihan pertama, mundur. Kembali ketitik awal. Apa masih bisa? Mulut bisa bilang mau. Tapi hati yang paling dalam, pasti jawab tidak. Karena sakit hati ini, sudah meradang.
Bertahan demi apa? Jika hanya saling menyakiti. Rugi jika hidup hanya pura pura. Seolah bahagia, tapi memendam derita. Manusia waras pasti tak mau menderita. Kecuali sudah gila.
Pertigaan terakhir. Saatnya memilih. Karena hidup berjalan maju, bukan mundur. Jika harus mundur, itu buang waktu. Buang umur. Dan sangat egois, karena semua butuh kejelasan, tanpa drama.
Pilihan selanjutnya, berpisah untuk lebih baik. Jalan takdir ini, konsekuensi logis. Karma menghunjam. Hukum langit sudah diinjak injak. Demi nafsu binatang.
Aku bisa lupa. Bisa pikun. Tapi tidak dengan malaikat. Langit bumi jadi saksi. Diteruskan, hanya mempersulit diri. Sudah jelas, dikaburkan. Sungguh manusia bodoh yang merugi.Â
Takdir indah ada dijalan masing masing. Terima kasih untuk yang telah berlalu. Mari menua dalam jalan keindahan. Tak harus bersama. Tak harus berdua. Karena cinta itu rasa suci, bukan rekayasa ditaburi dendam dan benci.
Malang, 5 Agustus 2022
Ditulis oleh Eko IrawanÂ
Untuk Seri Puisi Hari ini #13