Sudah mengharu biru. Harmoni imitasi yang palsu. Dipaksa terus serasa rancu. Pura pura bahagia, tapi semu.
Ini tak biasa. Bukan pantai berpasir putih. Karena Langit biru dipeluk hitam. Erupsi Mahameru meluluhlantakan. Melukis ombak dalam debur kelam.
Sudah terjadi. Sekarang Diingkari? Tertawalah seluruh langit bumi. Yang putih, sudah jadi hitam. Yang biru sudah jadi mendung. Mau ditangisi? Malulah pada bejatmu sendiri.Â
Karena Sudah dipeluk hitam. Bukan tak percaya tobat. Karena maaf sudah kadaluarsa. Sekarang ini doamu sendiri yang dikabulkan. Bukankah dulu, kau ingin ada yang kapok. Kau bilang Sudah tak butuh diriku, kok sekarang minta kembali. Sudah hitam kok minta putih.Â
Pasir putih yang jadi hitam. Tetap hitam. Indahnya biru juga sudah tenggelam. Karma enak enakmu dulu, bikin sekarang runyam. Menyesal? Tak manfaat. Karena kau nuntut salah alamat.
Dulu siapa yang kau puji? Yang katanya hebat. Super dahsyat. Katanya putih, ahli ibadah. Ahli amal setinggi langit. Sementara aku adalah bangsat. Tukang ngelindur, yang mimpinya dibalas setimpal. Biar kapok dan menyesal.
Karma ini menghitam. Kelam. Tak bisa jadi putih. Akankah diteruskan dalam sakit hati dan dendam?Â
Pantai Bambang, Pasirian Lumajang, 24 Juli 2022 ditulis oleh Eko Irawan untuk Seri Hari Hari Puisiku #52
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H