Mohon tunggu...
Irawan Ardhi
Irawan Ardhi Mohon Tunggu... -

Menulis berarti bekerja untuk keabadian ( Pramoedya Ananta Toer )

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

47 Detik yang Menggetarkan

4 April 2014   22:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:04 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu Jumat 4 April 2014

Matahari sudah menyengat meski waktu masih pagi. Pukul 07.27 WIB kulirik jam tanganku. Entah apa yang menggerakkanku namun sorot mataku tiba - tiba beralih keujung jembatan Kaligarang. Sesosok bocah kecil dengan koran setumpuk terus ada di dadanya. Di dada seorang bocah kecil bertopi “INDONESIA”.

Tubuhnya kecil cenderung kerempeng. Wajahnya dekil. Kutaksir usianya tak lebih dari 6 tahun. Paparan matahari jelas nampak dari kulitnya yang gelap kecoklatan. Keringat yang mengucur memberikan sebuah arti bagaimana dia harus bekerja. Kakinya nan lincah tak beralas kaki menari dari ujung jembatan Kaligarang ke lampu merah perempatan yang sesak itu. Terus begitu berulang tak nampak lelah meski terik terus menyengat langit kota Semarang. Menyengat siapa saja yang beraktivitas di langit kota ini.

“.. 1000 pak .. 1000 pak ..” katanya nyaring menawarkan dagangannya.

Tak beruntung memang karena tak banyak pengendara tertarik atas apa yang dia tawarkan. Raut kecewa nampak jelas di mukanya yang kecil, namun segera pudar ketika seplastik es teh diminumnya. Belum sempat menyeka keringat di wajahnya, lampu merah telah menyala membawa sebuah kewajiban yang melekat padanya untuk kembali menawarkan koran yang dibawanya.

Tiba dihadapanku si kecil itu sambil menyodorkan satu eksemplar koran lokal yang lusuh itu. Berharap padaku untuk membelinya. Selembar Rp. 2000 sisa yang ada di kantong tak lama berpindah tangan dari kantongku ke tangan mungilnya.

“ .. ini Pak kembaliannya..” seraya memberikan Rp. 1000 sambil menatap wajahku.

“.. sudah ga usah, anggap saja saya beli dua.. “ kataku.

“ .. jangan Pak, ini 1000 milik Bapak .. terima kasih “ katanya tegas sambil memaksaku menerimanya.

Segera beringsut bocah kecil itu. Berlari kencang berpacu dengan nyala lampu pengatur jalan. Sebuah dialog 47 detik namun entah mengapa membuatku begitu sentimentil. Terpaku.

Ada nilai – nilai kehidupan yang tersembunyi disana. Sebuah nilai kejujuran. Nilai kerendahan hati. Nilai keikhlasan. Menerima apa yang berhak, menolak apa yang tidak berhak. Nilai keberpihakan pada ketulusan nurani. Bahwa tak layak menerima apa yang bukan hakmu. Sebuah pelajaran singkat yang begitu menggetarkan hati. Dan aku harus belajar banyak darimu teman kecilku.

Salam ketulusan !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun