Mohon tunggu...
anggi irawan
anggi irawan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Antropologi Malaria, Bersahabat dengan Penyakit Purba

27 Desember 2017   13:12 Diperbarui: 27 Desember 2017   13:21 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Indonesia dengan luas hampir 1,9 juta kilometer persegi menjadi negara terbesar ke 13 di Dunia. Ribuan pulau dan sangat beranekaragam sukubangsa menjadi kekayaan sekaligus tantangan di negara yang sangat majemuk ini. Dari Sabang hingga Merauke terbentang diversitas alam yang sangat mempesona. 

Pada sisi lain Indonesia mengandung ribuan penyakit endemik khas negara tropis dan negara dunia ketiga. Penyakit bersumber binatang, salah satunya penyakit ditularkan melalui nyamuk, yakni malaria penyakit "purba" yang telah hilang di negara maju puluhan tahun silam masih lestari di bumi Indonesia. Lebih dari puluhan dekade silam sudah ditemukan obat penyembuh, yakni pil kina bahkan saat negara ini belum bernama Indonesia. Faktanya, dengan berbagai pemutakhiran pengobatan tetap saja eliminasi yang berkali-kali ditargetkan senantiasa mundur. Berdasarkan kesepakatan di negara-negara Asia, khususnya kawasan Asia tenggara, kini menargetkan tahun 2030 bebas malaria. Aapakah target itu bakal selesai ataukah muncul target lagi, coba kita cermati.

Kita tidak bisa membandingkan misalnya dengan Swiss yang tidak lebih besar dari Jawa Tengah atau Inggris yang hampir sebesar Pulau Jawa. Namun, masalahnya tidak hanya berhenti pada besarnya negara kita, seperti yang sudah disinggung ratusan etnik atau suku bangsa juga menjadi faktor utama susahnya mengendalikan penyakit malaria yang kental dengan faktor lingkungan dan manusia.

Program gebrak malaria sudah selesai dan penyakit masih, target eliminasi 2015 sudah lewat. Bahkan saya bertemu seorang juru malaria desa yang memang dicanangkan pemerintah sebagai garda depan penuntasan penyakit ini juga masih sibuk bahkan tidak henti-hentinya mereka bekerja walaupun sudah puluhan tahun. Peraturan pusat hingga peraturan tingkat desa sudah di inisiasi, tetap saja hegemoni malaria masih kental.

Titik puncaknya yang coba saya amati adalah masyarakat sebenarnya tidak takut, bahkan menanggap malaria dalam tanda kutip sebagai sahabat mereka. Konsep sehat dan sakit sangat tergantung dari pemahaman dalam budaya masing-masing etnik. Dan hampir setiap komunitas yang saya kunjungi tidak ada kata sepakat bahwa malaria itu menakutkan dan berbahaya. Walaupun, setiap angket yang saya bagikan mereka hampir selalu memilih malaria sebagai penyakit berbahaya dalam jawaban mereka. Namun, faktanya dalam kehidupan sehari-hari tidak ada upaya mereka menjauhi dari penyakit ini. Program kelambunisasi tidak jalan, mereka malas tidur dengan kelambu, membersihkan vegetasi dan kubangan-kubangan air hanya tinggal wacana. 

Saya sebagai peneliti kesehatan juga selalu berhenti dengan wacana, bahwa faktor utama bukanlah alam, perubahan iklim, nyamuk penular, namun manusianya sendiri. Manusia Indonesia harus tidak hanya berlari mengejar ketertinggalan, kita harus melompat untuk mencapai sebuah pemikiran yang baru dan kesadaran yang tinggi bahwa penyakit haruslah dibasmi untuk kecerdasan dan kelangsungan generasi yang benar-benar bermanfaat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun