Mahar politik, atau bayaran dari seorang calon peserta pemilu kepada partai politik, merupakan praktik yang terlarang oleh undang-undang, namun sering dilakukan walau secara sembunyi-sembunyi. Kenapa dikatakan terlarang, ya karena berdasarkan undang-undang ada pengaturan maksimal besarnya sumbangan seseorang terhadap suatu partai yaitu 1 miliar rupiah dan juga larangan menerima sumbangan dari sumber haram (contoh hasil korupsi/pencucian uang). Dari UU No 2 Tahun 2008 dan perubahannya UU No 2 Tahun 2011 , dapat dibaca bahwa ancaman hukumannya sangat serius, yaitu para pelakunya baik sang calon mapun pengurus partai bisa terkena pidana penjara, dan partai bisa saja dibekukan bahkan dibubarkan.
Dalam Pilkada langsung selama ini, seorang calon kepala daerah yang ingin maju biasanya memerlukan dukungan partai, entah untuk memenuhi syarat calon saja ataupun untuk menggerakkan mesin partai tersebut dalam upaya memenangkannya. Dukungan ini tentu saja seringkali tidak gratis, ada mahar politik yang harus dibayar. Jika nanti ketahuan menerima mahar politik, pengurus partai biasanya langung ngeles bahwa uang itu habis murni untuk keperluan kampanye sang calon, walau kemungkinan besar yang terjadi adalah sebagian besar uang itu lenyap entah ke mana.
Padahal mahar politik yang nilai bermiliar-milar rupiah ini tidak menjamin kemenangan sang calon. Kalo dia kalah, ya sudah memble-lah dia gigit 2 jari seperti istilah salah satu kompasianer kader pks. Pada Pilkada langsung, bukanlah parpol yang menentukan kemenangan, tapi rakyat pemilih orang per orang.
Namanya juga sembunyi-sembunyi, tentu saja praktek mahar politik ini sedapat mungkin disimpan rapat-rapat, walau kadang bocor juga keluar, namun karena tidak ada bukti ya dianggap gosip saja. Namun ada juga yang bocornya begitu kuat sampai menjadi fakta di pengadilan, a.l.;
1). Kesaksian Ilham Arief Sirajudin dalam sidang lanjutan kasus korupsi & TPPU impor daging sapi (19/09/2013). Ilham Arief adalah mantan calon gubenur yang kalah dalam pilgub Sulsel pada Januari 2013. Kesaksiannya berhubungan dengan Mahar Politik yang telah dikeluarkannya kepada PKS demi mendapat dukungan dalam pilgub tersebut, yang diurus oleh terdakwa Ahmad Fathanah. Ilham Arief bersaksi di bawah sumpah, bahwa dia telah membayar Mahar Politik sejumlah Rp 10,5 miliar, dengan perincian Rp 8 miliar kepada PKS dan Rp. 2.5 miliar kepada Partai Hanura. Transkrip lengkap kesaksian dalam persidangan dapat dilihat di sini.
2). Kasus Aswin Parinduri, mantan bakal calon bupati pilkada Mandailing Natal periode 2010 ~ 2015, yang membayar DP mahar politik sebesar Rp. 700juta dari total Rp. 1,5 miliar, kepada DPC Partai Hanura. Sayangnya Aswin kemudian gagal dinominasikan sebagai calon bupati dan uang DP tersebut hilang tak berbekas. Kasus inipun maju ke pengadilan, selengkapnya dapat diikuti di sini.
Nah, itu contoh-contoh mahar politik yang dikeluarkan bakal calon kepala daerah kepada partai politik dengan sukarela, padahal mereka tahu betul bahwa yang menentukan nanti bukanlah partai maupun anggota partai di DPRD, melainkan suara pemilih langsung.
Nanti jika Pilkada dilakukan oleh DPRD, ini berarti keinginan partai, entah dari pimpinan partai pusat maupun daerah, dan juga pilihan anggota DPRD wakil partai orang per orang, akan sangat menentukan jadi tidaknya sang calon sukses menjadi kepala daerah.
Siapa bisa menjamin mahar politik ini tidak akan makin merajalela dan makin menggila besarannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H