Mohon tunggu...
Irawan
Irawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pelahap informasi...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Keputusan MK tentang Pemilu: Serentak Mulai Tahun 2019, Bagaimana Nasib 2014?

23 Januari 2014   18:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:32 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13904774601972242764

[caption id="attachment_317735" align="aligncenter" width="597" caption="Salah satu sidang di Mahkamah KOnstitusi / Foto : VIVAnews/Ikhwan Yanuar"][/caption]

Hari ini, Kamis 23 Januari 2014, dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi (MK) yang beranggotakan delapan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua  dengan anggota terdiri atas Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim, Anwar Usman, dan Patrialis Akbar, telah memutuskan bahwa MK telah menerima gugatan Judicial Review atas Undang-Undang 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Keputusan ini bukan mengabulkan gugatan atas Undang-Undang yang sama yang diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra pada 13 Desember 2013, tetapi yang diajukan oleh Efendi Gozali pada 10 Januari 2013, beberapa bulan sebelumnya.

Majelis Hakim MK yang diketuai oleh Hamdan Zoelva ini, ternyata tidak membuat keputusan tersebut, tepatnya hanya membacakannya, karena ternyata perkara ini telah diputuskan jauh hari sebelumnya. Keputusan mengabulkan sebagian gugatan ini dibuat oleh Majelis Hakim MK lainnya pada tanggal 26 Maret 2013, oleh sembilan Hakim Konstitusi yang diketuai Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, dengan anggota adalah Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Harjono, dan Anwar Usman. Salah satu Hakim yaitu Maria Farida membuat Disserting Opinion, namun tidak mempengaruhi pelaksanaan amar keputusan.

Tepatnya bunyi amar Majelis Hakim MK, sebagaimana dilansir oleh situs Mahkamah Konstitusi,  adalah sebagai berikut;

1). Bahwa Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2). Bahwa Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1 ) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

3). Amar putusan tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya;

4). Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya

Beberapa kalangan menyambut baik keputusan ini, dan menyebutnya sebagai keputusan yang bijak, karena menghindarkan pelaksanaan Pemilu 2014 dari kekacauan konstitusional.

Namun, patut dicatat beberapa hal sebagai berikut;

1). Ternyata berhasil dibuktikan bahwa memang UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Konstitusi, sesuatu yang sangat ceroboh yang dihasilkan oleh DPR. Putusan tidak menyatakan berlaku untuk Pemilu 2014, jadi kenyataannya pelaksanaan Pemilu 2014 bisa dilakukan, tapi dengan dasar hukum yang inkonstitusional. Ini tetap bisa membuat celah bagi pihak-pihak yang berniat memanfaatkannya

2). Keputusan Majelis Hakim telah dibuat lama sebelumnya, sekitar 10 bulan yang lalu, tapi mengapa dibiarkan mengendap, tidak diumumkan? Tentu ini mengundang banyak pertanyaan. Mudah-mudahan saja ada penjelasan yang masuk akal dari Mahfud MD selaku ketua majelis hakim waktu itu.

Bagaimanapun, keputusan sudah dijatuhkan, dan sisi baiknya adalah prediksi bakal ada kekacauan pelaksanaan Pemilu 2014 bisa dihindari.

Kemungkinan nasib gugatan yang diajukan Yusril pada awal bulan ini, bakal menemui nasib yang sama, dan PBB harus bekerja lebih keras supaya bisa mengajukan Yusril sebagai Capres.

Sekali lagi, Hukum adalah logika, dan dan beberapa produk hukum logikanya tentunya tidak boleh saling bertentangan satu sama lain, apalagi terhadap yang derajatnya lebih tinggi. Jadi sudah tentu isi UU tidak boleh bertentangan dengan Konstitusi. Kesalahan pembuatan UU selayaknya memang harus dihindari, karena celah tersebut bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan belum tentu hasilnya baik juga buat rakyat.

Gugatan ini bisa menjadi pelajaran penting bagi DPR selaku lembaga legislatif pembuat produk hukum perundang-undangan agar lebih hati-hati di masa mendatang, mengingat konsekuensinya yang sungguh luar biasa bagi nasib bangsa ini.

Rakyat juga agar lebih berhati-hati lagi dalam memilih anggota DPR dalam Pemilu 2014, jangan dianggap remeh, jangan salah pilih, supaya tidak menyesal di kemudian hari jika ada kasus semacam ini lagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun