Rabu kemarin, 24-09-2014, FPI (Front Pembela Islam) menggelar demo di depan DPRD Jakarta dengan kekuatan massa sebanyak 300 orang. Kali ini sasaran mereka adalah Wagub DKI Jakarta Ahok, yang sebentar lagi akan dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi.
Kalau dilihat dari isi tuntutannya, dan orasi-orasinya terlihat jelas ada sentimen ras dan keagamaan di sana, bahwa FPI menolak Ahok sebagai pucuk pimpinan DKI Jakarta karena dia non muslim.
"Apa perlu kita dudukin Balkot kita usir Ahok. Ahok ini nggak pantas pimpin Jakarta karena mayoritas umat Islam. Ahok juga arogan. Kita minta anggota dewan tidak lantik Ahok. Kita mau gandengan dengan DPRD DKI," ucap Ketua FPI DKI Habib Selon di ruang rapat lantai 10 Gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu (24/9/2014), seperti dilansir Liputan6.
Ada juga tuntutan lainnya seperti adanya SK atau peraturan daerah (perda) jabatan gubernur dan wakil gubernur yang beragama non Islam. Selain itu FPI menuntut DPRD DKI Jakarta untuk menjunjung tinggi ayat-ayat suci di atas ayat-ayat konstitusi.
Walau banyak dicemooh masyarakat, misalnya seperti terlihat pada pemberitaan media massa, dan juga beberapa tulisan di Kompasiana, namun tidak dipungkiri ada juga, lho pendukungnya demo FPI ini. Ada yang karena merasa sepaham, sama-sama aliran garis keras, yang biasanya mengeluarkan ayat Al-Quran sebagai pembenaran (ada contohnya di Kompasiana juga). Ada juga yang membela mungkin karena pepatah "musuhnya musuh kami adalah teman kami", yaitu mereka yang memang benci akut pada pasangan Jokowi-Ahok dari sejak pilgub DKI Jakarta sampai usai pilpres kemarin itu. Kejatuhan Ahok akan sangat menggembirakan kelompok ini.
Tapi sebenarnya tindakan FPI ini melanggar hukum pidana, dan sangsinya cukup berat.
Coba kita lihat apa saja hukum-hukum yang berlaku yang telah dilanggar oleh FPI dengan demo dan tuntutan-tuntutannya, sbb:
1). UUD 1945 (Amandemen) Bab I Bentuk dan Kedaulatan, pasal 1 ayat 3; "Negara Indonesia adalah negara hukum". Ini berarti aturan yang berlaku adalah aturan hukum, dengan konstitusi merupakan aturan hukum tertinggi dalam negara hukum.
2). UUD 1945 (Amandemen) Bab XA Hak Asasi Manusia, pasal 28d ayat 3; "Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan". Ini berarti tidak dibolehkan menghalang-halangi seseorang menduduki posisi di pemerintahan hanya karena masalah agama, suku, dan ras.
3). UUD 1945 (Amandemen) Bab XA Hak Asasi Manusia, pasal 28d ayat 3; "Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan atas perlakuan yang diskriminatif itu".
4). UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, BAB V Perbuatan yang Dilarang, pasal 28 ayat 2; "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan
untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)".