Tentunya dasar utamanya adalah pertimbangan bisnis, mereka rela menginvestasikan dananya untuk membeli klik palsu dengan imbalan ketenaran, membuat dirinya tampak baik dan terpercaya. Bagi beberapa selebritis, semakin banyak klik pada akun media sosial mereka, semakin tinggi nilai publisitasnya, dan biasanya selalu disebut-sebut dalam pemberitaan. Bagi para pelaku bisnis, sama saja, memiliki banyak klik bisa membuat bisnisnya lebih bonafid dan menguntungkan, misalnya pelaku bisnis membeli like status di Facebook karena mereka takut bahwa ketika orang pergi ke halaman Facebook mereka dan hanya melihat 12 atau 15 "like", mereka akan kehilangan pelanggan potensial.
Salah satu kota penghasil klik palsu yang paling besar adalah Dhaka, Bangladesh, Asia Tenggara, sebuah kota dengan penduduk sekitar 7 juta orang, merupakan hub internasional untuk "click farms", sebuah bisnis yang menjual klik di media sosial untuk fans, likes, followers, views, dan masih banyak lagi lainnya.
CEO Unique IT World , sebuah perusahaan promosi berbasis media sosial di Dhaka, mengatakan bahwa dia telah membayar para pekerja untuk melakukan manual klikpada halaman media sosial klien, sehingga sulit bagi Facebook, Google dan lain-lain untuk menangkap mereka. "Akun tersebut tidak palsu, mereka asli," kata si CEO.
Sebuah pengecekan baru-baru ini di Facebook menunjukkan Dhaka adalah kota paling populer bagi banyak orang, termasuk bintang sepak bola Leo Messi, yang memiliki 51 juta like status; halaman Security Facebook sendiri, yang memiliki 7,7 juta like status; dan halaman Facebook Google, yang memiliki 15,2 juta like status. Padahal ya penduduknya kan cuma sekitar 7 juta jiwa saja.
Tidak hanya orang dan pelaku bisnis saja, bahkan institusi pemerintah AS seperti State Department, ternyata juga melakukan pembelian like status di Facebook, yang akunnya mempunyai lebih 400.000 likes dan ternyata paling populer di Kairo. Tahun 2013 lalu, sejumlah pengeluaran sebesar USD 630 ribu dikritik oleh inspektur jendralnya karena digunakan untuk meningkatkan jumlah klik, dan akhirnya pengeluaran lebih lanjut dihentikan. Pernah dalam salah satu halamannya, fans melejit dari sekitar 10 ribu menjadi 2,5 juta akun.
Penelusuran ini bahkan menyebut nama Indonesia, sebuah negara yang terobsesi dengan media sosial yang merupakan salah satu negara dengan jumlah terbesar di dunia untuk pengguna Facebook dan Twitter, di mana diam-diam "click farm" juga berkembang.
Dilaporkan bahwa seseorang berinisial AH (40), menawarkan 1.000 pengikut Twitter sebesar US$ 10 dan 1 juta untuk US$ 600. Dia memiliki server sendiri, dan membayar US$ 1 per bulan per alamat Protokol internet, yang dia gunakan untuk menghasilkan ribuan akun media sosial. Akun tersebut, ia berkata, "memungkinkan kita untuk membuat banyak pengikut palsu."
Dalam sebuah wawancara di sebuah kafe pusat kota Jakarta, AH - memakai topi Nike, celana jeans biru dan T-shirt putih - mengatakan bahwa jaringan sosial yang besar dapat meningkatkan "profil publik" suatu bisnis. "Hari ini, kita hidup di dunia persaingan yang ketat yang memaksa orang untuk bersaing dengan banyak trik," katanya.
Sayangnya tidak disebutkan siapa saja klien AH ini.
Dan perilaku penjual klik palsu ini dapat lepas dari jerat hukum. Para pejabat dan aparat hukum yang berwenang masih tidak memandang penting fenomenan klik palus di internet. Tidak jelas apakah hal tersebut bisa dianggap sebagai penipuan, sehingga pemberantasannya masih bergantung pada media sosial itu sendiri yang memandangnya sebagai pelanggaran terhadap term and condition mereka.
Tentu saja banyak yang tidak menyukai fenomena klik palsu ini.