[caption id="attachment_359699" align="aligncenter" width="373" caption="Foto: Dok. Pribadi"][/caption]
Adalah Agatha Christie (1890-1976), novelist, sang ratu cerita detektif dunia, yang melahirkan legenda detektif perfeksionis berkumis tebal yang sangat metodis, terkenal dengan celotehannya tentang cara kerja "sel-sel kelabu kecil" miliknya dalam memecahkan misteri-misteri pembunuhan, bernama Hercule Poirot. Buku tentang kisah petualangan Poirot, bersama-sama tokoh karakter ciptan Christie lainnya seperti Miss Marple, Tommy & Tuppence , sampai saat ini masih bisa didapatkan di toko-toko buku di hampir seluruh belahan dunia, dengan terjemahan sekitar 103 bahasa.
Sebenarnya karakter sang detektif hebat Hercule Poirot asal Belgia ini sudah dimatikan oleh Agatha Christie dalam novel terakhirnya tentang Poirot, yaitu Curtain : Poirot's Last Case (1975). Dan sepeninggal sang ratu novelist setahun sesudahnya, sepertinya tidak ada harapan akan ada lagi kisah petualangan baru dengan tokoh sang bintang berkumis lebat ini.
Namun ternyata tidak demikian.
Dan sekarang Hercule Poirot kembali lagi, namun dengan penulis baru bernama Sophie Hannah, dengan tetap membawa nama penulis aslinya, di bawah naungan Christie Estate. Hannah, menurut pengakuannya, adalah seorang "lifelong Agatha's adddict", dan dia membangkitkan gaya Christie dengan sangat baik dalam meniupkan napas kehidupan kembali pada salah satu tokoh detektif paling menarik yang pernah dibayangkan ini. Bisa dikatakan, mengikuti petualangan Hercule Poirot terbaru ini seperti mengikuti kisah sebagaimana yang bisa dihasilkan oleh penulis aslinya.
Untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana logisnya kebangkitan Hercule Poirot dari kematian, Hannah sengaja mengambil seting waktu dengan mundur ke belakang, saat sang detektif metodis ini masih lebih muda dan sehat penuh energi (walau tentu saja masih banyak mengeluh tentang cuaca yang mengganggunya).
Kisah dimulai ketika Hercule Poirot, yang sedang menikmati makan malam yang tenang di sebuah kedai kopi langganannya bernama Pleasant's Coffe House di kota London (tentu dengan kesibukan rutin sebelumnya yakni mengatur kembali letak sendok, garpu, gelas air, dan taplak meja yang dianggapnya tidak simetris), terganggu dengan kedatangan seorang gadis muda tamu kedai, yang masuk dengan cara yang sangat dramatis. Gadis tersebut tampak seperti ketakutan. Insting detektif Poirot mengambil alih, dan dia berhasil mendapatkan keterangan bahwa gadis bernama Jennie itu ternyata ketakutan karena merasa akan dibunuh. Namun celetohan Jennie selanjutnya sangat aneh, karena dia menyatakan bahwa dia memang pantas mati, dan setelah dia mati, maka keadilan akan ditegakkan. Tawaran bantuan Poirot ditolaknya, bahkan meminta Poirot untuk tidak mencari dan menghukum pembunuhnya nanti. Kemudian dia pergi dan menghilang.
Tak lama sesudahnya, Poirot mengetahui bahwa ternyata telah terjadi pembunuhan di sebuah hotel mewah di London, dengan korban 3 orang tamu hotel di kamar yang berbeda. Semua korban tewas keracunan, dan ditemukan berada dengan posisi tubuh yang sama di lantai hotel. Persamaannya lagi, pada mulut masing-masing korban terdapat sebuah manset monogram dengan inisial "PJI".
Apakah pembunuhan di kamar hotel tersebut berkaitan dengan gadis muda Jennie di kedai kopi? Hercule Poirot kemudian berusaha keras menyatukan kepingan teka-teki yang muncul sesudahnya.
Berbeda dengan kisah-kisah sebelumnya, kali ini bukan Kapten Arthur Hasting yang bertindak sebagai narator dan partner Poirot dalam penyelidikan kasus. Tokoh baru yang menuliskan narasi kisah ini adalah Edward Catchpool, seorang polisi penyelidik dari Scotland Yard. Catchpool kebetulan satu kos dengan Poirot, dan keterlibatannya dalam penyelidikan kasus pembunuhan 3 korban di hotel tersebut membawanya bertualang bersama Poirot. Usia muda Catchpool dan ketrampilan detektifnya yang masih dalam perkembangan membawa suasana yang kontras namun terkadang menggelitik ketika bersanding dengan kehebatan, kecerdasan, dan kepintaran sang detektif senior Hercule Poirot. Poirot sering sekali menyindir Catchpool agar lebih mendayagunakan sel-sel kelabu (sel otak) miliknya sendiri, ketimbang mengajukan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang membingungkannya.
Dan sama seperti sewaktu dengan Hasting, Poirot kadang mendapat inspirasi atau petunjuk dari celotehan dan komentar yang dilontarkan Catchpool, yang ironisnya tidak disadari pentingnya oleh Catchpool sendiri.