[caption caption="Penulis berbincang santai dengan Kawan Pemerhati Desa di Takalar"][/caption]Tulisan ini diinspirasi oleh fenomena yang diceritakan oleh salah seorang kepala desa teman saya di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan, tempat kelahiran saya. Beliau menceritakan bahwa BUMDes di desanya belum berjalan karena bingung usaha apa yang cocok dan bisa produktif, padahal sudah ada modal yang disisihkan dari dana Anggaran Dana Desa (ADD), menurut kawan saya ini, hal ini umumnya dialami pula oleh kepala desa yang lain di Kabupaten Takalar.
BUMDes atau Badan Usaha Milik Desa, yang saya tahu telah muncul sinyal kelahirannya sejak di undangkannya UU No. 22 Tahun 2002 kemudian dipertegas kembali dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Selanjutnya semakin nyata kemunculannya sejak diundangkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan lebih spesifik lagi diatur melalui Peraturan Menteri Desa, Pembagunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2015.
Sejatinya, BUMDes adalah lembaga ekonomi yang dikelola oleh pemerintah desa dan masyarakatnya dengan memanfaatkan potensi ekonomi prospektif dan produktif sesuai dengan kondisi lokal desa masing-masing. Tujuannya agar keberadaan BUMDes bisa memberikan kontribusi bagi pendapatan asli desa.
Sebagaimana disebutkan dalam Permendesa Nomor 4 Tahun 2015 bahwa Badan Usaha Milik Desa, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
Oleh karena itu sangat terang benderang bahwa inti tujuan dari lembaga ini untuk kesejahteraan desa dan masyarakatnya. Bahkan di dalam Permendesa tersebut disebutkan dengan sangat gamblang bahwa BUMDes ini dapat memiliki unit-unit usaha yang berbadan hukum seperti Perseroan Terbatas yang sebagian besar modalnya dimiliki oleh BUMDes. Demikian pula, unit usaha dapat berupa Lembaga Keuangan Mikro dengan andil BUMDes sebesar 60%.
Jika dilihat dasar-dasar pembentukan BUMDes tersebut, secara normatif lembaga ini bukanlah sekedar lembaga ekonomi biasa tetapi sesungguhnya menjadi lembaga ekonomi potensial di tingkat desa dengan tujuan yang sangat mulia, diibaratkan sebagai sebuah badan usaha yang dikelola oleh "negara kecil" di daerah. Namun apa yang membuat kawan saya tersebut "pusing"?, bukankah aturan pembentukannya jelas, panduan operasionalnya juga sudah ada, termasuk bidang usaha garapannya juga tertuang dengan terang benderang dalam buku panduan BUMDes yang telah disiapkan.
Berdasarkan penelusuran yang saya lakukan, ternyata belum semua daerah di Sulawesi Selatan menyahuti pembentukan BUMDes di tiap-tiap Desa. Dari data yang tersedia di Website SiBUMDesa Provinsi Sulawesi Selatan ( http://bumdes.bpmsulsel.com ) jumlah BUMDes yang sudah dibentuk baru sebanyak 335 desa dari total jumlah desa di Sulawesi Selatan sebanyak 2.132 desa, yang berati baru sekira 15,71% desa yang sudah membentuk BUMDes. Bahkan, berdasarkan data yang ada dari sebanyak 335 buah BUMDes yang sudah ada, hanya sebagian kecil yang sudah memiliki omzet yaitu sebanyak 121 BUMDes atau baru sekira 36,11% dari jumlah BUMDes yang sudah dibentuk dengan total Omzet sebesar Rp 8.088.747.382.
Jumlah ini tentu masih sangat minim jika dibandingkan dengan potensi desa yang ada di Sulawesi Selatan, bahkan masih ada Kabupaten yang sama sekali belum membentuk BUMDes, termasuk Kabupaten Takalar, tempat pak desa kawan saya tersebut memegang amanah.
Bagi saya, dengan latar belakang akademis, ditambah sedikit pengetahuan di bidang pengembangan kewirausahaan mencoba melihatnya dari aspek teoritis konseptual dengan fokus utama pada ide dan kreatifitas pemerintah desa itu sendiri. Memulai bisnis memang "bukanlah perkara yang mudah", itu kata sebagian orang, tetapi bagi sebagian yang lain menganggap "bisnis itu bukan untuk dipikirkan tetapi dilakukan".
Kedua anggapan tersebut mungkin ada benarnya tetapi saya lebih sesuai dengan pandangan bahwa memulai bisnis tetap membutuhkan perencanaan karena bisnis yang dilakukan tanpa perencanaan tidak akan memberikan hasil yang maksimal. Oleh karena itu, di tahap awal yang harus dilakukan adalah membuat pemetaan terhadap potensi desa yang bisa dikelola dan bernilai ekonomi di pasar.
Dalam konteks ini yang perlu dipikirkan adalah "Bagaimana memproduksi barang yang bisa dijual" bukan "memikirkan bagaimana menjual barang yang bisa diproduksi". Saya yakin kendala utama yang dihadapi oleh pak desa kawan saya itu karena beliau hanya memikirkan bagaimana akan memasarkan barang atau jasa yang akan dihasilkan atau dikelola oleh BUMDes.