[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kompas Images/Dhoni Setiawan)"][/caption]
Di perlintasan kereta api, jalan I GustiNgurahRai, Klender, Jakarta Timur itu, sosok Ibu Sri Wiyani berdiri. Tak kenal lelah ia selalu sigap untuk membuka dan menutup portal yang ujung palangnya terdapat tali nilon, yang dihubungkan pada sebuah pos. Insting wanita berumur 58 tahun ini sangatlah kuat untuk mengetahui kapan ular besi itu melintas. Ia membuatnya mampu menjaga puluhan, ratusan, bahkan ribuan nyawa manusia sejak tahun 1983 lalu.
Ia dengan tulus menjalankan pekerjaan warisan almarhum suaminya setiap hari. Tak jarang juga ia menjalankan pekerjaannya saat hujan deras dengan mengenakan jas hujan dan payung. Tidak ada honor apalagi gaji untuknya, hanya kerelaan dari pelintas saja. Perhari pun ia hanya mampu memperoleh sekitar 10.000-20.000 rupiah bahkan pernah tidak sama sekali. Inilah ia, Wanita malaikat penjaga palang rel kereta api.
Kehidupan baru yang ia mulai sejak kepergian suaminya itu seringkali mendapat hinaan dari saudara-saudaranya, tetangga, bahkan orang-orang yang melintas di perlintasan kereta api tersebut. Namun tekadnya yang kuat untuk menjaga sesama membuatnya bertahan.
Bermula dari hatinya yang terketuk di setiap pagi hari.Ketika ia membuka pintu rumahnya yang berada di pinggir rel kereta api itu, ia selalu menemukan potongan-potongan tubuh manusia. Agar tidak jatuh korban terus menerus, hatinya yang tulus bertekad untuk menjaga setiap manusia yang melewati perlintasan rel kereta api itu.
Ya, semua berawal dari kepergian suaminya 3 tahun yang lalu. Ibu Sri yang terbiasa menjalani pekerjaannya bersama sang suami, harus mulai membiasakan diri untuk menjalankannya seorang diri. Ia berjanji kepada suaminya untuk terus menjalankan pekerjaan mulia itu. Bahkan ia rela melepas pekerjaannya sebagai buruh cuci dirumah-rumah tetangga demi melanjutkan profesi suaminya itu, walaupun dengan penghasilan yang tidak sebanding dengan jerih payahnya.
Ibu beranak lima ini masih seringkali membantu untuk membiayai kehidupan anak-anaknya serta cucu-cucunya. Kelima anaknya yang telah menikah dan memiliki anak, terbilang memiliki kondisi ekonomi yang kurang mencukupi. Tak jarang Ibu Sri memberikan hasil jerih payahnya demi menyekolahkan cucu-cucunya.
Ibu Sri selalu memandang jauh kedepan. Ia memikirkan matang-matang apa yang harus dilakukannya nanti. Bahkan soal profesinya tersebut. “Kalau nanti ibu sudah tidak ada, ibu tidak tahu apa masih ada yang mau melanjutkan pekerjaan ibu ini atau tidak. Atau setidaknya pemerintah mau turun tangan untuk memasangkan pintu rel kereta api disini,” ujar ibu separuh baya ini.
Ia tidak pernah mementingkan dirinya sendiri. Sosoknya adalah sosok mulia, yang selalu berdoa untuk mengutamakan orang lain serta keluarganya. “Ibu setiap shalat selalu berdoa, meminta kepada Penguasa Bumi ini untuk selalu menjaga keselamatan orang-orang yang lewat sini,” itulah kalimat yang dilontarkan Ibu Sri dengan mata berkaca-kaca.
Orang-orang yang melintas rel kereta api di daerah Klender tersebut, seringkali ‘bandel’. Tak jarang Ibu Sri mendapat makian dari orang-orang yang melintas karena pintu rel kereta apinya ia tutup. “Memangnya, pekerjaan ibu sehina itu yah? Padahal niat ibu menutup pintu rel itu supaya aman, takut mereka celaka. Tapi mereka memandang ibu sebelah mata. Bahkan ada yang memandang jijik kepada ibu,” ujarnya dengan senyum tipis.
Mengakhiri ceritanya, ia berpesan supaya kelak anak-anaknya nanti akan bermanfaat bagi orang lain. Karena baginya, manusia yang sempurna adalah manusia yang bahagia.Manusia yang bahagia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Dan Ibu Sri adalah termasuk orang-orang yang bahagia, karena telah bermanfaat bagi orang-orang yang melintas di perlintasan rel kereta api, Klender tersebut.[IR]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H