Pada masa paceklik ini, aku bersama suami, anak dan beberapa wanita dari Bani Sa'ad bin Bakar, pergi meninggalkan kampung. Tujuan kami sama, mencari anak atau bayi untuk disusui.
Inilah pekerjaan kami, menyusui anak atau bayi orang-orang kaya di kota. Berharap mendapat imbalan yang cukup memadai dari bapak si bayi yang akan kami susui.
Menyusukan anak pada orang-orang di desa merupakan tradisi di kalangan tokoh Bangsa Arab. Dengan menyusukan anak di desa diharapkan anak akan terhindar dari polusi pergaulan kota dan untuk menghirup udara segar pedesaan. Selain itu anak atau bayi yang diasuh di desa akan terbiasa berbahasa Arab dengan bagus dan terhindar dari kesalahan dalam berbahasa Arab.
Aku sadar, saat paceklik ini, tak banyak air susu yang keluar, bahkan bayiku sendiri tiap malam menangis karena kelaparan. Apa mau dikata, menyusui bayi/anak orang-orang kaya di kota adalah pekerjaan kami.
Sesampainya di Mekkah, kami berpencar. Mencari bayi yang akan kami bawa pulang. Di antara bayi yang akan disusui, ada seorang bayi yang ayahnya sudah meninggal. Tak satu pun dari kami mau mengambil bayi tersebut. Apa yang akan kami dapat dari seorang bayi yatim? Begitu pikir kami.
Sampai hari menjelang petang, aku tak kunjung memperoleh bayi yang akan kami bawa pulang. Sementara semua wanita dalam rombongan masing-masing telah mendapat satu anak untuk disusui.
Melihat hal tersebut, aku menemui suamiku.
"Suamiku, aku tak mau pulang dalam keadaan tangan kosong."
"Lantas, apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan mendatangi bayi yatim itu."
"Jangan! Kau tak akan mendapat apa-apa kalau menyusui dia."