Apakah Anda menyukai lagu lagu hits bernuansa opera berjudul Time To Say Goodbye yang dinyanyikan Andrea Bocelli bersama Sarah Brightman atau lagu The Prayer yang dinyanyikan Andrea Bocelli bersama Celine Dion?
Namun, apakah Anda tahu bagaimana kisah hidup Andrea Bocelli sang penyanyi tenor asal Italia dan dijuluki “The World’s Most Beloved Tenor” yang ternyata adalah seorang Tuna netra?
Selama ini saya hanya tahu nama Andrea Bocelli karena lagu hits Time To Say Goodbye dan The Prayer. Tapi saya ga pernah menyadari kalau Andrea Bocelli sang penyanyi bersuara emas bak surgawi tersebut adalah seorang Tunanetra, hingga akhirnya saya menyaksikan film The Music of Silence di MolaTV. Film The Silence of Music mengangkat kisah penyanyi tenor Andrea Bocelli yang mengalami kebutaan di usia 12 tahun namun mampu meraih kesuksesan sebagai penyanyi yang menjual lebih dari 80 juta album di seluruh dunia.
Film The Music Silence ini benar benar membuka mata saya tentang kisah mengagumkan dari perjuangan jatuh bangun sang Maestro Andrea Bocelli yang mewujudkan impiannya di tengah segala keterbatasan fisik. Bagi yang menyukai film biopik/film yang diangkat dari kisah nyata, menyaksikan film The Music of Silence ini bisa meninggalkan kesan tersendiri yang menggugah hati.
Film The Music of Silence diadaptasi berdasarkan novel memoar yang ditulis oleh Andrea Bocelli di tahun 1999 tentang kehidupan masa kecilnya hingga puncak kejayaan kariernya..
Film produksi tahun 2018 dengan sutradara Michael Radford dan beberapa bintang besar seperti Antonio Banderas, Toby Sebastian. Film ini berdasarkan kisah nyata Andrea Bocelli, meskipun karakter utama di film ini digambarkan dengan alter ego bernama Amos Bardi (Toby Sebastian).
Amos Bardi lahir dan dibesarkan di sebuah desa kecil di Tuscany. Sejak bayi ia didiagnosis glaukoma okular dengan gangguan penglihatan. Adegan menarik di awal film ini saat Bardi masa balita yang rewel saat dirawat di rumah sakit, tiba tiba bisa terdiam dan tenang saat mendengarkan alunan musik orkestra yang diputar oleh pasien di kamar sebelah.
Hal inipun membuat heran ibunda Bardi yang akhirnya membawa sang putra ke kamar sebelah. Itulah awal perkenalan Bardi dengan musik orkesta. Bardi tumbuh dengan penglihatan yang sangat terbatas. Dan sebuah kecelakaan saat bermain bola, membuat Bardi akhirnya kehilangan penglihatannya total di usia 12 tahun.
Demi menyesuaikan diri dengan kondisi baru agar sang anak bisa belajar huruf Braille, Orang tua Bardi memutuskan memasukkan sang anak ke asrama dan sekolah untuk orang buta.
Di sekolah inilah bakat menyanyi Bardi yang istimewa ditemukan oleh sang guru. Di sekolah ini pula, bakat seni Bardi makin terasah dan juga sudah menjadi pemain piano gereja. Di usia 12 tahun itu, saat ditanya oleh seorang teman apa cita citanya saat besar nanti, Bardi sudah bisa menyebutkan secara jelas bahwa ia ingin menjadi penyanyi orkestra.