(Ceritaku Dibalik Khairiyah Indonesia, Festival Kebhinekaan, dan Guru Terbaikku dalam Memaknai Toleransi dan Cinta Kasih Tanpa Sekat )
Kepergian seseorang yamg kita cintai untuk selamanya terkadang mengajarkan kita bgm arti Kehidupan. Itupula yang aku alami. Sejak tahun 2004, bulan Februari selalu memaknai arti khusus bagiku.
Sebelum bulan yang identik dengan cinta kasih ini pergi, aku ingin berbagi cerita tentang Almarhum Ibuku yang adalah guru terbaikku dalam memaknai Toleransi dan Cinta Kasih
Maukah mendengarkan ceritaku?
Di tahun 2004 tanggal 9 Februari, Ibuku pergi menghadap yang kuasa. Hari kepergian almarhum ibuku meninggalkan kenangan yang sangat membekas. Kepergian ibuku membuatku tersadar tentang bagaimana menjalani hidup yg sesungguhnya.
Saat ibuku pergi, aku tetrharu menyaksikan sendiri bagaimana begitu banyak sahabat sahabatnya dari berbagai kalangan agama , etnis, dan golongan, ikut mengantarkannya hingga ke tempat peristirahatan terakhir. Saat itu aku tersadar, begitu berwarna dan bermakna hidup yang pernah dijalani ibuku semasa hidupnya..
Mungkin, warisan pelajaran hdiup terbesar dari ibuku adalah tentang penghargaannya kepada kemanusiaan dan keberagaman . Semasa hidupnya ibuku punya begitu banyak sahabat dari berbagai kalangan agama dan etnis yang dikasihinya. Dan itu menjadi memori kuat yang paling aku ingat dari ibuku.
Aku ingat, saat aku kecil, aku sering diajak ayah dan ibuku untuk berkelilling rumah rumah tetangga yang merayakan Natal. Ibuku juga sering menghadiahi makanan atau kue kepada sahabatnya yang merayakan natal. Begitupun saat Imlek tiba, ibuku juga ikut bergembira dan mengucapkan kepada sahabat sahabatnya dari etnis Tionghoa yang merayakan. Padahal saat itu di tahun 80an, imlek dilarang untuk dirayakan secara terbuka. Sangat jarang orang yang mau terang terangan mengucapkan selamat imlek kepada yang merayakan .
Sebaliknya, tiap jelang Lebaran, rumah kami dahulu banyak sekali dikirimi parcel parcel dan hadiah oleh sahabat sahabat baik ibuku yang bukan beragama muslim. Sahabat sahabat ibuku itu, bahkan tetap mengirimkan parcel parcel lebaran itu ke rumahku, sampai beberapa tahun setelah ibuku meninggal. Hal itu yang membuatku menyadari betapa ibuku bermakna bagi para sahabatnya, bahkan saat ia telah pergi
Karena ibuku juga terbiasa dengan keberagaman, begitupun ia membiasakan aku dengan keberagaman sejak kecil. Sahabat sahabat masa kecilku adalah para tetanngga rumah ada yang beragama Kristen, katolik dan juga berasa dari etnis tionghoa. Dan ini terus berlangsung sampai aku SMA. Teman temanku dari berbagai agama dan etnis itu sering bermain di rumahku, dan tentu saja selalu diterima dengan ramah oleh ibuku. Bahkan ketika aku masuk kuliah , aku mengontrak rumah di Jatinagor dengan beberapa teman baik yang beragama Kristen. Keberagaman adalah sesuatu yang alamiah bagiku. Dalam artian, itu bukan sesuatu yang istimewa bagiku saat itu.
Sampai suatu ketika , saat di tahun terakhir kuliah dan ngekos di Bandung, ada suatu hal yang menggelitik saat ngobrol dengan teman kosanku. Ia bercerita senang mendapatkan pengalaman kuliah di luar kota karena bisa punya teman teman dari berbagai agama. Saat itu pun saya begitu heran dan bertanya. "Memangnya sebelum kuliah , lo ga punya sahabat beda agama? "