Mohon tunggu...
Ira Lathief
Ira Lathief Mohon Tunggu... Penulis - A Friend for Everybody, A Story Teller by Heart

Blogger、Author of 17 books、Creativepreneur, Founder @wisatakreatifjakarta @festivalkebhinekaan Personal Blog :www.iralennon.blogspot.com. IG @creative_traveler

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

A Tribute to My Mom | Ceritaku tentang Guru Terbaik dalam Memaknai Toleransi dan Cinta Kasih Tanpa Sekat

4 Maret 2020   19:52 Diperbarui: 5 Maret 2020   03:24 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Ceritaku Dibalik Khairiyah Indonesia, Festival Kebhinekaan, dan Guru Terbaikku dalam Memaknai Toleransi dan Cinta Kasih Tanpa Sekat )

Kepergian seseorang yamg kita cintai untuk selamanya terkadang mengajarkan kita bgm arti Kehidupan. Itupula yang aku alami. Sejak tahun 2004,  bulan Februari selalu memaknai arti khusus bagiku.

Sebelum bulan yang identik dengan cinta kasih ini pergi, aku ingin berbagi cerita tentang Almarhum Ibuku yang adalah guru terbaikku dalam memaknai Toleransi dan  Cinta Kasih 

Maukah mendengarkan ceritaku?

Di tahun 2004  tanggal 9 Februari,  Ibuku pergi menghadap yang kuasa. Hari kepergian almarhum ibuku meninggalkan kenangan yang sangat membekas.  Kepergian ibuku membuatku tersadar tentang bagaimana  menjalani hidup yg sesungguhnya.  

Saat ibuku pergi,  aku tetrharu menyaksikan sendiri bagaimana begitu banyak sahabat sahabatnya dari berbagai kalangan agama , etnis, dan golongan, ikut mengantarkannya hingga ke tempat peristirahatan terakhir. Saat itu aku tersadar, begitu berwarna dan bermakna hidup yang pernah dijalani  ibuku semasa hidupnya..

Mungkin, warisan pelajaran hdiup terbesar dari ibuku adalah tentang penghargaannya kepada kemanusiaan dan keberagaman . Semasa hidupnya ibuku punya begitu banyak sahabat dari berbagai kalangan agama dan etnis yang dikasihinya. Dan itu menjadi memori kuat yang paling aku ingat dari ibuku.

Aku ingat, saat aku kecil, aku sering diajak ayah dan ibuku untuk berkelilling rumah rumah tetangga yang merayakan Natal.  Ibuku juga sering menghadiahi makanan atau kue kepada sahabatnya yang merayakan natal.  Begitupun saat Imlek tiba, ibuku juga ikut bergembira dan mengucapkan kepada sahabat sahabatnya dari etnis Tionghoa yang merayakan. Padahal saat itu di tahun 80an,  imlek dilarang untuk dirayakan secara terbuka.  Sangat jarang  orang yang mau terang terangan mengucapkan selamat imlek kepada yang merayakan .

Sebaliknya, tiap jelang Lebaran, rumah kami dahulu banyak sekali dikirimi parcel parcel dan hadiah oleh sahabat sahabat baik ibuku yang bukan beragama muslim.  Sahabat sahabat ibuku itu, bahkan tetap mengirimkan parcel parcel lebaran itu ke rumahku, sampai beberapa tahun setelah ibuku meninggal.  Hal itu yang membuatku  menyadari betapa ibuku bermakna bagi para sahabatnya, bahkan saat ia telah pergi

Karena ibuku juga terbiasa dengan keberagaman, begitupun ia membiasakan aku dengan keberagaman sejak kecil. Sahabat sahabat masa kecilku adalah para tetanngga rumah ada yang beragama  Kristen, katolik dan juga berasa dari etnis tionghoa. Dan ini terus berlangsung sampai aku SMA.  Teman temanku dari berbagai agama dan etnis itu sering bermain di rumahku, dan tentu saja selalu diterima dengan ramah oleh ibuku.  Bahkan ketika aku masuk kuliah , aku mengontrak rumah  di Jatinagor dengan beberapa teman baik yang beragama Kristen.  Keberagaman adalah sesuatu yang alamiah bagiku. Dalam artian, itu bukan sesuatu yang istimewa bagiku saat itu.

Sampai suatu ketika , saat di tahun terakhir kuliah dan ngekos di Bandung, ada suatu  hal yang menggelitik saat ngobrol dengan teman kosanku. Ia bercerita senang mendapatkan pengalaman kuliah di luar kota karena bisa punya teman teman dari berbagai agama.  Saat itu pun saya begitu heran dan bertanya. "Memangnya sebelum kuliah , lo ga punya sahabat beda agama? "

Lalu ia pun curhat kalau sejak kecil ia selalu diajarkan di keluarganya untuk tidak boleh bergaul akrab dengan teman yang beragama beda.  Ia pun juga terbiasa mendengar doktrin di lingkungannya bahwa penganut agama lain identik dengan kafir.  Baru ketika ia berkuliah dan tinggal jauh dari rumahnya ia punya kesempatan untuk mengenal beragam orang dari latar belakang agama dan etnis . Dan ia merasa sangat mensyukuri hal itu.

Dari penjelasan teman saya,  membuat saya tercenung. Saya jadi tersadar bahwa faktor di keluarga dan lingkungan punya pengaruh kuat dalam membentuk pola pikir seseoramg terhadap Toleransi dan keterbukaan kepada keberagaman. Alangkah bersyukurnya saya bahwa sejak kecil, keluarga saya tidak pernah melarang saya bergaul dengan teman2 yang berbeda agama. Saya juga bersyukur tidak permah diberikan doktrin negatif apapun tentang penganut agama lain dari orang tua saya sejak kecil.  Bahkan seingat saya, tidak pernah sekalipun saya mendengar Ibu saya memberi label "kafir" kepada orang lain yang berbeda agama.

Dan di saat itulah saya menyadari, bahwa pengalaman terhadap keberagaman adalah suatu privilege/ keistimewaan dan anugrah.  Dan saya bersyukur mendapatkan contoh tentang  "merangkul keberagaman"  dari ibu saya sejak kecil.

Pengalaman hidup yang saya lalui juga memberikan saya kesempatan mengenal lebih banyak lagi "keberagaman" dalam hal agama dan keyakinan.

Di masa kuliah , saya berkesempatan mengikuti program pertukaran pemuda  internasional untuk pertama kalinya . Disitulah saya mulai mengenal lebih dekat orang dari berbagai latar agama, bahkan yang tidak punya agama sekalipun.   Dua teman sekamar saya waktu itu adalah peserta dari Kamboja seorang Budhis yang sangat taat dan selalu berdoa sangat khusyuk saat sebelum tidur dan bangun tidur. Dan satu orang lagi dari Vietnam yang negaranya menganut paham komunis dan tidak percaya dengan konsep agama.   Di program itu, saya punya banyak sahabat dari negara Singapura dan Jepang, yang kebanyakan dari mereka tidak menganut agama tertentu . Tapi mereka adalah orang orang baik di mata saya.

Saat  mulai bekerja sebagai Wartawan/ Reporter TV, saya berkesempatan  pergi ke berbagai daerah dan bertemu orang orang yang masih menganut agama leluhur seperti Sunda Wiwitan, Kejawan dll.  Lalu saat mulai bekerja sebagai Tourist Guide, saya juga bertemu banyak orang asing dari agama agama seperti Bahai,Yahudi, hingga Mormon yang sebelumya tak pernah saya kenal ada di Indonesia. 

Saya merasa kesempatan kesempatan mengenal beragam orang dari berbagai kalangan agama itu saya anggap sebagai suatu keberuntungan , yang belum tentu dialami oleh semua orang karena satu dan lain hal.

Peristiwa Pilkada DKI di tahun 2016 yang syarat dengan ujaran kebencian berbau SARA  menjadi momentum titik balik bagi saya. Saya sangat prihatin dengan fenomena di masyarakat yang begitu mudah melabeli orang lain dengan KAFIR ,  juga mengolok olok etnis Cina.  Ujaran ini bahkan juga didengungkan di khotbah mesjid dan pengajian pengajian.

Saat itu saya sempat terpikir dan bertanya tanya dalam hati,  "Orang orang yang sering melabeli orang lain kafir , apakah mereka punya sahabat sahabat yang berbeda agama ? Mereka yang dengan mudahnya menebarkan ujaran kebencian kepada etnis Cina,   punyakah ia sahabat dari etnis tersebut?"

Lalu saya teringat dengan sahabat sahabat almarhum ibu saya yg begitu beragam latar belakangnya.   Ada Tante Maria ,seorang Nasrani yang paling sering menjenguk dan menunggui ibu saya saat terbaring di rumah sakit. Ada Om Har atau Om Alex yang beretnis Tionghoa,  yang tetap bersahabat baik dengan keluarga saya hingga belasan tahun setelah ibu saya meninggal.   Saya juga masih ingat,  ketika peristiwa kerusuhan 98 di Jakarta, ibuku ikut menangis pilu saat mengetahui rumah sahabatnya yg seorang Tionghoa menjadi target amuk massa.

Pikiran saya pun melayang kepada almarhumah ibu saya . Rasanya  tidak mungkin tudingan KAFIR, Cina, dsb itu meluncur dari mulut ibu saya karena sepanjang hidupnya ia punya banyak sahabat dari kalangan beragam agama dan etnis.

Saat itu saya juga merasa prihatin dengan menguatnya fenomena ekslusivitas keagamaan di sekitar saya. Apalagi ketika membaca sebuah hasil penelitian yang menyebutkan bahwa Jakarta termasuk satu dari 10 kota yang paling tidak toleran di Indonesia.,  yang membuat saya begitu terusik dan ingin berbuat sesuatu untuk warga Jakarta. Tapi lalu saya berfikir, apa yang bisa saya lakukan ??

Sebagai seorang Pemandu Wisata/ Tourist Guide yang terbiasa mengunjungi berbagai rumah ibadah karena tuntutan pekerjaan. , maka di awal tahun 2017  saya lalu berinisiatif membuat suatu kegiatan kunjungan Tur yang dinamakan Wisata Bhineka (wisata ke berbagai rumah ibadah) yang bertujuan utk membangun Toleransi dan menambah wawasan tentang kebhinekaan indonesia.  Kegiatan Wisata Bhineka ini menjadi agenda rutin yang dikoordinir oleh komunitas Wisata Kreatif Jakarta. 

 Dari mengadakan Wisata Bhineka secara rutin ini, saya mengamati bahwa begitu banyak orang yang seumur hidupnya belum pernah mengunjungi rumah ibadah agama lain, atau banyak orang yang punya persepsi negative terhadap penganut agama lain karena memang mereka tidak punya teman baik dari agama yang berbeda. Apalagi skr banyak org tua yg menyekolahkan anakmya di sekolah dengan basis keagamaan yg ekslusif sejak TK hingga SMA,  sehingga seorang anak tumbuh hingga besar di lingkungan yang seragam saja.

Berangkat dari Wisata Bhineka, ada keinginan kuat untuk membuat suatu kegiatan lebih besar lagi yang memberikan ruang ruang dan kesempatan untuk berbagai penganut agama dan keyakinan utk saling mengenal lebih baik, melalui pendekatan yang menyenangkan.

Hal Itulah yang lalu  mendasari di awal tahun 2018  untuk menginisiasi Festival Kebhinekaan  dan membentuk yayasan Khairiyah Indonesia.  Khairiyah sendiri adalah nama belakang saya yang dalam bahasa Arab berarti Goodness/ Kebaikan.

Festival Kebhinekaan  sendiri bertujuan untuk Memperkuat Toleransi Lintas Agama melalui ragam kegiatan yang rileks seperti  Wisata Bhineka, Pemutaran Film, Pameran Seni, Diskusi Tentang Agama Agama dll, untuk meemberikan ruang dan kesempatan kepada berbagai penganut agama dan keyakinan untuk saling mengenal lebih baik.  Ada idiom,  tak kenal maka tak sayang.  Maka Festival Kebhinekaan ingin memberikan kesempatan kepada publik terutama generasi muda untuk mengenal lebih dekat saudara saudara setanah air yg berbeda iman/agama/keyakinan.

Saat ini Festival Kebhinekaan sudah berjalan  di tahun ke  tiga dan diadakan tiap bulan Februari, yang juga selalu identik dengan bulan cinta kasih dan juga bulan dimana ibuku pergi menghadap Sang Maha Cinta.

Dalam perjalanannya  yang singkat, di th 2018, Khairiyah Indonesia pernah mendapatkan kepercayaan berupa Grant / Hibah dari Indonesia Untuk Kemanusiaan, dengan mengkoordinir ratusan pelajar dan guru di Jakarta mengikuti Wisata Bhineka.  Waktu demi waktu semakin mengarahkan saya kepada bidang edukasi dan advokasi tentang isu isu Toleransi dan kebebasan beragama. Saya juga bersyukur  mendapatkan banyak kesempatan untuk bertemu beragam pemuka agama dari berbagai bangsa..

Jika ada yang bertanya ,  kenapa beberapa tahun belakangan saya mau bersusah susah menekuni kegiatan dalam bidang yang berhubungan dengan Lintas Keagamaan seperti ini, padahal profesi sehari hari saya adalah seorang Tourist Guide ?

Memang kalo dipikir pikir lagi,  dari dahulu tidak pernah sedikitpun terbersit di benak saya untuk bersinggungan dengan bidang kemanusiaan yg satu ini. Tapi jalan hidup memang sungguh misteri. Dan saya memaknai bidang yang saya lalukan ini sebagai "panggilan hidup" yang berkaitan erat dengan almarhum ibu saya.

Sebagian orang sungguh beruntung masih bisa memiliki Ibu kandung hingga usia menua.  Tapi tidak denganku. Almarhum ibu saya meninggal ketika saya berusia 23 tahun, saat saya baru akan di wisuda. Belum banyak hal yang bisa saya hadiahkan untuknya ketika ia masih hidup.  Belum banyak hal yang bisa saya lakukan untuk menyenangkan dirinya saat ia masih hidup.  Tapi saya pernah mendapatkan suatu nasihat, jika ingin membalas jasa orang tua yang sudah meninggal, lakukanlah hal hal yang ia senangi saat hidupnya. Dan yang saya tahu, ibu saya sangat  menghargai  keberagaman agama sepanjang hidupnya.

Secara personal, saya memaknai jalan yang saya tekuni melalui Khairiyah Indonesia dan Festival Kebhinekaan saat ini sebagai ikhitiar untuk meneruskan nilai nilai kebaikan tentang penghargaan kepada keberagaman dan kemanusiaan, yang dicontohkan dan ditunjukkan oleh Ibu saya semasa hidupnya. Dan saya akan selamanya berterima kasih kepada Ibu saya yang telah menjadi Guru Kehidupan terbaik tentang  memaknai Toleransi dan Cinta Kasih yang melintasi sekat sekat.

Saya tahu tak akan bisa saya membalas jasa seorang ibu.  Tapi saya berharap nun jauh di atas sana, ia senang dan tersenyum melihat jalan yang saya pilih saat ini. 

Dan semoga kiranya Allah dan semesta alam merestui ikhtiar ini.                                                

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun