Mohon tunggu...
Ira Lathief
Ira Lathief Mohon Tunggu... Penulis - A Friend for Everybody, A Story Teller by Heart

Blogger、Author of 17 books、Creativepreneur, Founder @wisatakreatifjakarta @festivalkebhinekaan Personal Blog :www.iralennon.blogspot.com. IG @creative_traveler

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

A Tribute to My Mom | Ceritaku tentang Guru Terbaik dalam Memaknai Toleransi dan Cinta Kasih Tanpa Sekat

4 Maret 2020   19:52 Diperbarui: 5 Maret 2020   03:24 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lalu ia pun curhat kalau sejak kecil ia selalu diajarkan di keluarganya untuk tidak boleh bergaul akrab dengan teman yang beragama beda.  Ia pun juga terbiasa mendengar doktrin di lingkungannya bahwa penganut agama lain identik dengan kafir.  Baru ketika ia berkuliah dan tinggal jauh dari rumahnya ia punya kesempatan untuk mengenal beragam orang dari latar belakang agama dan etnis . Dan ia merasa sangat mensyukuri hal itu.

Dari penjelasan teman saya,  membuat saya tercenung. Saya jadi tersadar bahwa faktor di keluarga dan lingkungan punya pengaruh kuat dalam membentuk pola pikir seseoramg terhadap Toleransi dan keterbukaan kepada keberagaman. Alangkah bersyukurnya saya bahwa sejak kecil, keluarga saya tidak pernah melarang saya bergaul dengan teman2 yang berbeda agama. Saya juga bersyukur tidak permah diberikan doktrin negatif apapun tentang penganut agama lain dari orang tua saya sejak kecil.  Bahkan seingat saya, tidak pernah sekalipun saya mendengar Ibu saya memberi label "kafir" kepada orang lain yang berbeda agama.

Dan di saat itulah saya menyadari, bahwa pengalaman terhadap keberagaman adalah suatu privilege/ keistimewaan dan anugrah.  Dan saya bersyukur mendapatkan contoh tentang  "merangkul keberagaman"  dari ibu saya sejak kecil.

Pengalaman hidup yang saya lalui juga memberikan saya kesempatan mengenal lebih banyak lagi "keberagaman" dalam hal agama dan keyakinan.

Di masa kuliah , saya berkesempatan mengikuti program pertukaran pemuda  internasional untuk pertama kalinya . Disitulah saya mulai mengenal lebih dekat orang dari berbagai latar agama, bahkan yang tidak punya agama sekalipun.   Dua teman sekamar saya waktu itu adalah peserta dari Kamboja seorang Budhis yang sangat taat dan selalu berdoa sangat khusyuk saat sebelum tidur dan bangun tidur. Dan satu orang lagi dari Vietnam yang negaranya menganut paham komunis dan tidak percaya dengan konsep agama.   Di program itu, saya punya banyak sahabat dari negara Singapura dan Jepang, yang kebanyakan dari mereka tidak menganut agama tertentu . Tapi mereka adalah orang orang baik di mata saya.

Saat  mulai bekerja sebagai Wartawan/ Reporter TV, saya berkesempatan  pergi ke berbagai daerah dan bertemu orang orang yang masih menganut agama leluhur seperti Sunda Wiwitan, Kejawan dll.  Lalu saat mulai bekerja sebagai Tourist Guide, saya juga bertemu banyak orang asing dari agama agama seperti Bahai,Yahudi, hingga Mormon yang sebelumya tak pernah saya kenal ada di Indonesia. 

Saya merasa kesempatan kesempatan mengenal beragam orang dari berbagai kalangan agama itu saya anggap sebagai suatu keberuntungan , yang belum tentu dialami oleh semua orang karena satu dan lain hal.

Peristiwa Pilkada DKI di tahun 2016 yang syarat dengan ujaran kebencian berbau SARA  menjadi momentum titik balik bagi saya. Saya sangat prihatin dengan fenomena di masyarakat yang begitu mudah melabeli orang lain dengan KAFIR ,  juga mengolok olok etnis Cina.  Ujaran ini bahkan juga didengungkan di khotbah mesjid dan pengajian pengajian.

Saat itu saya sempat terpikir dan bertanya tanya dalam hati,  "Orang orang yang sering melabeli orang lain kafir , apakah mereka punya sahabat sahabat yang berbeda agama ? Mereka yang dengan mudahnya menebarkan ujaran kebencian kepada etnis Cina,   punyakah ia sahabat dari etnis tersebut?"

Lalu saya teringat dengan sahabat sahabat almarhum ibu saya yg begitu beragam latar belakangnya.   Ada Tante Maria ,seorang Nasrani yang paling sering menjenguk dan menunggui ibu saya saat terbaring di rumah sakit. Ada Om Har atau Om Alex yang beretnis Tionghoa,  yang tetap bersahabat baik dengan keluarga saya hingga belasan tahun setelah ibu saya meninggal.   Saya juga masih ingat,  ketika peristiwa kerusuhan 98 di Jakarta, ibuku ikut menangis pilu saat mengetahui rumah sahabatnya yg seorang Tionghoa menjadi target amuk massa.

Pikiran saya pun melayang kepada almarhumah ibu saya . Rasanya  tidak mungkin tudingan KAFIR, Cina, dsb itu meluncur dari mulut ibu saya karena sepanjang hidupnya ia punya banyak sahabat dari kalangan beragam agama dan etnis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun