Bila satu keluarga bisa satu harga, kenapa pilih yang banyak harga?
Melindungi diri dan keluarga dengan asuransi kesehatan sepertinya sudah menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan untuk keluarga moderen saat ini. Mobilitas yang tinggi, aktivitas yang padat membuat kita selalu bertaruh dengan keadaan.
Penyakit dan berbagai persoalan di bidang kesehatan menjadi hal yang sangat mungkin dialami. Akibatnya, kebutuhan untuk berobat dan mendapatkan layanan kesehatan ini bisa saja datang pada waktu yang tak diharapkan.
Saya dan keluarga pernah mengalaminya. Pertengahan April lalu, kami sekeluarga –saya, suami, Bintang, dan Azizah—terpaksa harus ‘terdampar seharian di salah satu rumah sakit swasta di Depok. Saat itu saya dan suami berurusan dengan tiga jenis layanan kesehatan dalam satu waktu.
Mulanya tujuan kami datang ke rumah sakit untuk memeriksa mata saya dan suami. Si Sulung Bintang dan si Bungsu Azizah juga ikut lantaran tak ada yang menjaga di rumah. Kami menjadwalkan untuk mengganti kacamata yang sudah tak nyaman lagi dipakai. Biasanya untuk urusan kesehatan ini kami sekeluarga menggunakan asuransi dari kantor suami. Namun, sejak adanya kewajiban seluruh pegawai swasta beralih ke asuransi pemerintah, kami pun mencoba menjadi warga negara yang taat.
Semula sempat terpikir untuk melapisi perlindungan kesehatan keluarga kami dengan asuransi pribadi. Namun dengan berbagai pertimbangan, akhirnya niat itu urung dilakukan. Salah satu alasannya untuk menghindari cost tambahan untuk membayar premi bulanan. Selain itu, karena belum ada persoalan kesehatan yang mendesak, kami merasa mengandalkan asuransi kesehatan dari pemerintah saja sudah cukup.
Kenyataannya, yang hari itu kami merasakan pengalaman yang di luar perkiraan. Sehari sebelum ke Rumah Sakit kami terlebih dahulu harus ke puskesmas untuk meminta rujukan. Esoknya di rumah sakit, kami menjalani dua lapis pengurusan administrasi, pertama dengan staf penerima rujukan puskesmas di Rumah Sakit dan kedua berurusan dengan administrasi rumah sakit.
Meski begitu, kami mencoba menjadi warga yang baik. Prosedur itu kami anggap biasa dan jalani dengan senang. Lalu setelah urusan administrasi kami menunggu antrian dokter yang baru buka di siang hari. Lumayan lama untuk kami yang sudah datang ke rumah sakit sejak pukul 9 pagi.
Nah, selama proses menanti inilah, tiba-tiba suami saya merasakan telinganya tambah sakit. Sebelum berangkat, suami memang sudah mengeluhkan ada hal yang tak pas dengan pendengarannya. Awalnya kami belum terlalu menganggap serius. Ternyata selama menunggu, telinga suami semakin sakit. Mumpung sedang berada di rumah sakit, kami akhirnya memutuskan untuk langsung memeriksakan ke dokter.
Ketika keputusan menggunakan biaya pribadi ini muncul, timbul keinginan kami untuk sekaligus memeriksakan kesehatan saya. Kebetulan saat itu saya memang sering mengalami nyeri di perut. Karena khawatir ada apa-apa dengan bekas operasi caesar saya yang belum berumur setahun, kami pun memutuskan hari itu sekaligus dimanfaatkan untuk memeriksa kesehatan saya.