Setelah itu Mahdi turun ke bawah dengan disambut tepuk tangan, "terima kasih banyak ya Mahdi, keren banget si kamu" ucap terima kasihku sambil memujinya, "Iya, sama-sama, Bu" jawab Mahdi tersenyum dan tersipu malu.
Aku jadi berpikir bahwa anak-anak ini telah belajar pada alam, memanjat pohon, berjalan tanpa alas kaki ada yang dari pesisir ke sekolah yang jaraknya 1 jam. Mereka benar-benar belajar pada alam, tantangan alam ditaklukannya dengan kaki kuat tanpa alas atau dengan alas seadanya, kesederhanaannya membuat alam tetap kaya, sesulit apapun jalan yang harus mereka tempuh mereka tidak mengeluh, alam mengajarkannya untuk tangguh.
Setelah selesai latihan, anak-anak berbaris di lapangan dari kelas 1 hingga kelas 9 MTS, lapangan yang sudah tidak digunakan selama kurang leih 2 tahun ditumbuhi dengan rumput ilalang yang tumbuh disekitarnya. Lumayan kewalahan juga untuk membariskan anak-anak dengan rapih, wajar saja sudah 2 tahun anak-anak tidak berbaris.
Pak Endang dan Pak Hendi menyerahkan kepada kami untuk menjadi pembina, tim Sobat Mengajar. Helmi menjadi Pembina, aku dan Rereh berdiri di samping Helmi. Upacara pun berjalan dengan sangat khidmat.
Seketika terlintas raut wajah guru---guru SD ku, "ohh begini ya rasanya menjadi guru" ucapku dalam hati. Aku dan Rereh  berdiri di samping kepala sekolah, sambil memperhatikan murid-murid agar mengikuti upacara dengan baik. Sekarang peran guru benar-benar terjadi padaku, meskipun aku masih menjadi mahasiswa, tapi menurutku guru itu bukan hanya profesi tapi kewajiban, apalagi di tempat yang benar-benar membutuhkan.
Beberapa menit berlalu, matahari semakin naik setinggi ujung tombak, susunan upacara sudah selesai dibacakan, kami menginstruksikan agar anak-anak masuk ke kelasnya masing-masing dengan tertib.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H