[caption id="attachment_185719" align="aligncenter" width="576" caption="Foto-foto koleksi pribadi"][/caption]
Uang adalah alat tukar yang sah untuk melakukan transaksi baik barang maupun jasa, dalam peradaban masyarakat modern. Dengan adanya uang, setiap orang yang membutuh barang atau jasa apapun, tak perlu lagi repot memikirkan alat tukar apa yang setara dengan barang/jasa yang dibutuhkannya, sebaliknya pemilik barang atau penyedia jasa juga tak perlu susah memikirkan pengganti apa yang tepat sebagai penukarnya.
BARTER DAN PRINSIP KESEPAKATAN
Sebelum mengenal uang, masyarakat jaman dulu melakukan barter dalam bertransaksi. Tak terbayang repotnya kalau saya ingin masak seekor ayam panggang untuk makan malam sekeluarga. Saya harus mencari pemilik seekor ayam (hidup) yang bersedia menukar ayam miliknya dengan barang yang saya tawarkan sebagai penukar. Katakanlah saya punya sekantong gandum atau sekarung tebu, belum tentu pemilik ayam membutuhkan kedua benda yang saya tawarkan. Jadi saya harus mencari, sampai ada pemilik ayam yang ikhlas menukar ayamnya dengan benda tersebut.
[caption id="attachment_185721" align="aligncenter" width="305" caption="Coin Rp. 100,- lama dari logam tebal, enak buat kerokan"]
[caption id="attachment_185723" align="aligncenter" width="326" caption="sisi sebaliknya"]
Seorang pemburu yang membawa pulang hewan buruan seekor rusa untuk ditukar dagingnya tentu beda kadar alat tukarnya dengan pemburu ulung yang membawa pulang hasil buruan seekor beruang besar yang telah dikuliti dan kulitnya bisa dipakai sebagai selimut di musim dingin, saat manusia masih hidup di gua-gua. Jadi dalam sistem barter, kesepakatan antara "penjual" dan "pembeli" atas alat tukar yang dianggap setara untuk dipertukarkan, menjadi pertimbangan utama. Seorang atau sekelompok pemburu yang akan melepas kulit beruang miliknya, tentu berhak menentukan alat tukar apa yang dianggapnya sesuai sebagai pengganti keberaniannya menaklukkan beruang. Dan mereka yang membutuhkan kulit beruang, juga menyadari bahwa mereka harus menyediakan penukar yang lebih banyak.
[caption id="attachment_185724" align="aligncenter" width="477" caption="Coin Rp. 100,- generasi berikutnya, lebih tipis"]
Dalam bahasa agama Islam, jual-beli atau muamalah mensyaratkan adanya "akad" sebagai salah satu syarat sah-nya jual beli. Si penjual ikhlas melepas barang dagangannya dengan harga tertentu, sedang pembeli pun ikhlas menebus barang yang dibutuhkannya dengan harga tersebut. Misalnya sebuah sandal jepit dijual dengan harga Rp. 10.000,- dan pembeli setuju membelinya dengan harga itu, maka sah-lah jual beli itu. Bahkan seandainya barang yang sama dijual dengan harga Rp. 15.000,- sepanjang pembeli setuju, maka tak jadi masalah. Ini terjadi misalnya ketika saya dan teman-teman harus membeli sebotol air mineral dengan harga beberapa kali lipat dari harga bandrol, ketika kami membelinya di perkampungan Baduy Dalam. Pembeli umumnya ikhlas membeli dengan harga tinggi, mengingat penjualnya pun harus menggendong barang itu dengan susah payah untuk berjualan di sana. Karena mensyaratkan adanya kesepakatan harga, maka dalam jual beli sah-sah saja adanya tawar menawar, sampai tercapai kata sepakat.
[caption id="attachment_185726" align="aligncenter" width="300" caption="Ketika Rp.500,- masih sangat bernilai, bentuknya uang kertas"]
[caption id="attachment_185727" align="aligncenter" width="300" caption="Bagian sebaliknya"]
JUAL BELI YANG “MEMAKSA” DAN MENGABAIKAN KESEPAKATAN
Kini, dalam peradaban masyarakat modern, dimana pembayaran tidak hanya dilakukan dengan uang tunai, tetapi bisa menggunakan kartu debit dan kartu kredit, seringkali harga barang yang ditawarkan tidak bisa dikonversi dengan nilai nominal mata uang yang tersedia. Sebut saja harga yang berakhiran Rp. 999,-. Umumnya super market besar atau hyper market bersaing dengan mengklaim mereka menjual barang dengan harga termurah. Bahkan berani menggaransi jika ditemukan barang yang sama di toko lain dengan harga lebih murah, mereka bersedia mengganti 2x lipat dari harga yang ditawarkan. Akibatnya, harga yang ditetapkan pun berakhiran Rp. 99,- , Rp 10,-, Rp. 5,- dll, yang penting bisa dianggap lebih murah.
Tapi benarkah super market konsisten dengan harga yang mereka tetapkan? Jika harga yang ditetapkan tidak bulat seperti nilai nominal uang yang diterbitkan Bank Indonesia, apakah konsekwensinya mereka menyediakan uang kembalian? Ternyata tidak. Dalam prakteknya, setelah barang belanjaan dijumlah, nilai akhirnya dibulatkan ke atas. Lalu, apa artinya harga termurah jika ternyata selisih harganya tak bisa dinikmati konsumen? Bukan hanya selisih harga 5, 10, 25 rupiah yang dibulatkan ke atas, seringkali kembalian yang menjadi hak konsumen pun tidak dibayarkan semestinya, terutama jika kembalian itu kurang dari seribu rupiah.
[caption id="attachment_185731" align="aligncenter" width="468" caption="Coin mata uang Yen Jepang"]
Acapkali kembalian dengan akhiran Rp 50,- dianggap tidak perlu dibayarkan. Sedangkan kembalian Rp. 100,- dan kelipatannya diganti dengan permen. Permen yang diberikan pun bukan atas pilihan konsumen. Jadi, pada dasarnya dalam kasus kembalian diganti permen, mengabaikan prinsip “kesepakatan” antara pembeli dan penjual. Pertama : pembeli tak pernah berniat membeli permen, kedua : belum tentu permen yang dijadikan sebagai “alat tukar” adalah permen yang disukai pembeli. Selain itu, benarkah harga nominal permen itu memang mewakili uang Rp. 100,-?
Yang jelas, permen-permen itu untuk selanjutnya tak punya daya beli dan tak berfungsi sebagai nilai tukar. Tak percaya? Coba kumpulkan kembalian berupa permen dari supermarket. Kalau jumlahnya sudah mencapai 10 biji atau lebih, coba tukarkan ke supermarket dengan sebatang wafer atau coklat caramel yang harganya seribuan. Dijamin kasir pasti akan menolak pembayaran itu. Padahal, sekecil apapun nominal sebuah uang, ia tetaplah punya daya beli. Masih ingat kasus Coin untuk Prita tahun 2009 lalu? Bukankah dari coin recehan Rp. 100,- - Rp. 500,- bisa terkumpul uang ratusan juta rupiah? Kini, ada pula gerakan “Coin a Chance” yang mengumpulkan uang recehan untuk dipakai membiayai sekolah anak-anak dari keluarga tak mampu yang masih berkeinginan kuat melanjutkan sekolah. Jadi, jangan remehkan daya beli sebuah uang, itu jika kita menghargai rejeki, sekecil apapun.
[caption id="attachment_185734" align="aligncenter" width="428" caption="Coin 1 Yen, ukuran aslinya sebesar kancing kemeja pria"]
[caption id="attachment_185735" align="aligncenter" width="300" caption="Coin 5 Yen "]
[caption id="attachment_185736" align="aligncenter" width="300" caption="Coin 5 yen sisi sebaliknya"]
Saya pernah berbelanja di sebuah mini market, pagi hari saat baru buka dan pegawainya baru datang. Ketika hendak membayar, kasir yang baru saja menghidupkan komputer dan membuka laci yang masih kosong, kemudian membuka tas-nya mengambil seplastik besar uang. Ada beberapa ikat uang kertas yang dipisahkan sesuai nominalnya. Ada pecahan Rp. 20.000,-an, Rp. 10.000,- dsb. Dan..., beberapa bungkus permen! Kasir lalu memasukkan uang-uang kertas itu ke laci sesuai sekat-sekat yang ada, merobek sebungkus permen dan menuangkannya ke kotak yang tersedia untuk uang receh. Ooh..., jadi rupanya pemilik mini market memang sudah membekali kasir dengan permen sebagai pengganti uang receh. Padahal, sebungkus permen itu tentu diambil dari barang dagangan, yang nota bene harganya adalah harga kulakan, tapi kemudian dihargai Rp. 100,-/biji.
Artinya, ada pengabaian hak konsumen untuk mendapatkan harga yang semestinya. Janji akan memberikan harga termurah, jadi tak sesuai karena ternyata selisih lebih murah yang hanya sekian rupiah itu tak bisa dinikmati konsumen, bahkan ada kemungkinan konsumen dirugikan karena nilai nominal kembalian permen tak setara dengan nilai uang kembalian yang sebenarnya. Semisal kembalian Rp. 375,- hanya akan diganti 3 butir permen.
[caption id="attachment_185737" align="aligncenter" width="300" caption="Coin 10 Yen"]