[caption id="attachment_222418" align="aligncenter" width="450" caption="Jokowi saat peluncuran Kartu Jakarta Sehat (foto : antarafoto.com)"][/caption]
Ketika akan meluncurkan program Kartu Jakarta Sehat (KJS), Jokowi sempat berbicara di depan umum dan diliput media TV. Saat ditanya untuk siapa saja kartu itu, Jokowi menjawab “siapa saja boleh, yang mampu, yang kaya juga boleh, kalau tidak malu!”. Bagian terakhir kalimat itu ditekankan Jokowi sambil tersenyum yang disambut dengan derai tawa semua yang hadir.
MALU, apa definisi pastinya? Apa ukuran/kadarnya? Bukankah tak ada timbangan, meteran atau pengukur derajat malu? Juga tak ada pengkelasan malu berdasarkan strata sosial, ekonomi dan tingkat pendidikan. Kalau begitu, siapa/apa yang bisa mendefinisikan malu dan mengukurnya? Tak lain adalah hati nurani masing-masing. Karena itu ukuran kadar malu sangatlah relatif.
Malu tidak saja berarti karena ketahuan berbuat salah. Tidak sekedar karena aib yang coba ditutupi lalu dibuka di depan orang lain. Malu bahkan bisa bermula dari hal-hal kecil seperti penampilan diri. Sering kita dengar – atau bahkan mungkin pernah kita lakukan – membujuk anak balita yang belum selesai berpakaian, masih pakai celana dalam sudah lari hendak bermain bersama temannya. Atau anak balita yang susah dibujuk untuk berpakaian. Lalu orang tuanya berkata “Eh.., adik, ayo pakai baju dulu, malu lho dilihat temanmu!” Artinya, orang dewasa kerap mengajarkan anak balita rasa malu karena belum berpakaian pantas sudah hendak bermain ke luar rumah. Tapi kalau kita lihat belakangan ini, banyak wanita dewasa sengaja mempertontonkan bagian tubuhnya yang biasa tertutup (menurut norma yang berlaku setidaknya sampai tahun ’80-an), mereka tidak merasa malu tuh. Wanita dewasa ber-hot pants pendek sampai nyaris menyentuh batas selangkangan dan bagian atas hanya mengenakan kaos yang ukurannya 2 nomor lebih kecil dari ukuran tubuhnya dan modelnya serupa kaos singlet anak-anak, juga tidak malu. Nah, inilah bukti bahwa malu memang relatif, selalu bergeser dan berubah sesuai norma yang dianggap umum oleh sekelompok orang.
[caption id="attachment_222419" align="aligncenter" width="598" caption="Warga seperti inilah yang seharusnya memanfaatkan dana KJS (berita.plasa.msn.com)"]
Karena itu, perilaku korupsi dan meminta “pelumas” mungkin dianggap tidak memalukan bagi sekelompok komunitas tertentu. Kalaupun kelak terbongkar, mereka tak merasa perlu kepala harus tertunduk. Mereka tetap bisa tengadah sambil tersenyum. Bagi sekelompok lainnya, mungkin perilaku berganti-ganti pasangan atau bersenggama dengan orang yang bukan apa-apanya, juga bukan sesuatu yang memalukan, bahkan layak diabadikan dalam video. Sekali lagi : karena malu bukanlah ukuran yang definitif. Karena malu “hakim”nya hanya hati nurani.
Maka, ketika saya baca berita di Kompas.com yang judulnya : “Pakai Mobil Mewah Cek Kulit Wajah pun Minta Gratis”, saya hanya bisa mengelus dada. Saya ingat kata-kata Jokowi : Kalau tidak malu! Beritanya saya kutip utuh 2-3 paragraf : Sebuah sedan mewah memasuki RS Budhi Asih, Jalan Dewi Sartika, Cawang, Jakarta Timur. Seorang wanita berkaca mata gelap turun dan memasuki ruangan lantai 1 rumah sakit umum daerah di Jakarta Timur itu. Kepada petugas keamanan, ia menanyakan, tempat pelayanan pengobatan gratis. Berbekal KTP, kartu keluarga, dan surat rujukan dari puskesmas, perempuan tersebut bermaksud memanfaatkan jasa pengobatan gratis yang diprogramkan Jokowi-Basuki. "Pak, saya ingin konsultasi saja ke poli penyakit kulit. Soalnya saya takut kosmetik yang saya pakai tidak cocok, takut kulit wajah saya rusak," kata wanita itu kepada Kepala Humas RS Budhi Asih, Hamonangan Sirait.
[caption id="attachment_222420" align="aligncenter" width="620" caption="Suasana di ruang pendaftaran pasien di RSUD Budhi Asih, Cawang, Jakarta Timur, Senin (17/12/2012). Sejak diluncurkannya program pengobatan gratis dengan Kartu Jakarta Sehat, jumlah pasien di rumah sakit di Jakarta mengalami lonjakan signifikan. (foto dan keterangan dikutip dari : megapolitan.kompas.com)"]
Saya tak tahu apakah program KJS tidak membatasi jenis penyakit tertentu yang tidak dijamin oleh program tersebut. Dulu, ketika masih bekerja di sebuah BUMN, saya ingat betul ragam penyakit yang tidak akan ditanggung pengobatannya oleh perusahaan. Diantaranya : kulit kosmetologi, penyalagunaan narkoba, infertilitas dan upaya bunuh diri. Di beberapa perusahaan yang kaya, infertilitas bisa ditanggung jika usia pernikahan sudah mencapai 5 tahun dengan syarat pengobatan dilakukan di RS dalam negeri.
Kenapa penyakit kulit kosmetologi tidak ditanggung? Karena itu hakikatnya bukan penyakit. Beda dengan penyakit kulit yang diakibatkan virus, bakteri, atau faktor lain selain kosmetik. Begitu pula kalau saya melakukan operasi plastik karena ingin tampak cantik atau merekayasa bentuk tubuh saya agar lebih sexy, maka perusahaan tak akan menanggung. Beda dengan operasi plastik rekonstruksi akibat kebakaran atau kecelakaan lainnya.
Nah, ibu dari kelas menengah atas tadi ingin melakukan perawatan kulit wajah karena khawatir kosmetik yang dipakainya tak cocok dan berakibat kehalusan kulitnya rusak. Mungkin si ibu baru ganti merk kosmetik. Tentu ini bukan penyakit, hanya sekedar perawatan kulit yang seharusnya bisa dilakukan di klinik-klinik kecantikan yang memiliki dokter spesialis kulit. Berikut kelanjutan beritanya, saya kutip di sini :
Warga kelas menengah ke atas yang memanfaatkan program tersebut biasanya enggan memanfaatkan jasa rawat inap. Itu dikarenakan pasien program gratis yang dirujuk ke rumah sakit hanya boleh menempati instalasi rawat inap kelas III, kecuali ada keadaan memaksa yang menyebabkan pasien bisa naik ”grade” ke kelas di atasnya. "Orang seperti ibu itu kan pasti enggak mau atau malu kalau dirawat di ruang kelas III. Jadi pasti pilihnya rawat jalan," kata Hamonangan.
Nah, artinya dia masih punya malu. Hanya saja, dia malu kalau dirawat di ruangan yang kurang memadai bagi kelas sosialnya dan bisa menjatuhkan gengsinya. Tapi ia tidak malu menyerobot hak warga tak mampu. Ia tak malu meminta digratiskan meski mobilnya keren.
Lalu, apakah program KJS salah sasaran? Tentu saja tidak. Karena niat semula program itu untuk menolong warga miskin yang kesulitan berobat, agar mereka bisa segera berobat jika sakit. Penyakit warga miskin pun rasanya tak ada yang karena salah kosmetik. Boro-boro pakai kosmetik, pakai pakaian yang pantas saja belum tentu terbeli. Lalu apakah perlu ada aturan yang melarang warga “mampu” memanfaatkan program KJS? Kalau iya, nanti akan memicu perdebatan panjang, seberapa ukuran “mampu”. Tapi kalau mengacu seorang ibu yang datang ke RS naik sedan mewah, penampilannya dilengkapi kaca mata gelap penahan silau, sulit diterima akal kalau ibu itu bisa dikategorikan “tidak mampu”.
[caption id="attachment_222421" align="aligncenter" width="453" caption="Antrian pembagian BLT kadang terselip orang mampu ikut antri (foto : antarafoto.com)"]
Kejadian seperti ini selalu berulang setiap kali ada program subsidi. Awal April lalu, saat negara gonjang-ganjing karena issu Pemerintah akan mencabut subsidi BBM mengingat konsumsi BBM bersubsidi jauh melebihi kuota, banyak berita di TV dan media cetak soal mobil mewah sebangsa Alphard, Lexus, Mercy yang tak malu minum premium, meski harus rebutan dengan pengendara motor roda dua dan angkot sekalipun.
Waktu masih ada BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang dibagikan tiap 3 bulan sekali dengan nilai Rp. 100.000,-/bulan, yang antri pun tak melulu orang miskin yang sangat membutuhkan uang seratus ribu perak. Banyak juga yang datang dengan naik motor, sambil menunggu antrian dipanggil ia asyik memencet keypad HP-nya. Rencananya kalau uang BLT cair, segera ke toko HP untuk tukar tambah HP lama dengan yang model baru.
Kesalahan bukan pada programnya! Kesalahan ada pada hati nurani yang sudah tak lagi bisa merasa. Tak lagi bisa merasa bahwa dirinya diberi kelebihan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah untuk mencari dan mendapatkan rizki yang lebih banyak ketimbang mereka yang kurang beruntung. Tak lagi bisa merasa syukur atas kelebihan dan kemudahan yang Tuhan anugerahkan. Tak lagi bisa berempati pada penderitaan warga miskin yang lebih membutuhkan dana itu. Tak lagi bisa berpikir dengan logika bahwa kalau orang mampu seperti dirinya ikut memanfaatkan program KJS, maka dana yang sudah dialokasikan akan cepat habis bahkan ketika warga miskin yang benar-benar membutuhkan belum sempat berobat. Terakhir..., tak lagi bisa merasa malu.
[caption id="attachment_222422" align="aligncenter" width="422" caption="Pengemis di ibukota masih muda dan sehat (poskota.co.id)"]
Di jalan-jalan, banyak orang berbadan sehat sengaja berpakaian lusuh dan menadahkan tangan di perempatan dan lampu merah, mengharap lontaran uang receh atau lembaran seribuan. Saya sering melihat disela-sela menunggu lampu merah, mereka asyik bercanda dan mengobrol sambil ber-HP-ria. Sekelompok pengemis yang mangkal di jembatan penyeberangan depan mall kota saya, juga tak pernah lupa merokok saat “jam kerja”nya. Kalau jam istirahat siang, ia turun dari lokasi kerjanya, mampir ke warung, memilih makanan seperti halnya orang yang istirahat kerja lainnya, tak lupa menyeruput segelas kopi panas dan..., membeli sebungkus rokok untuk kembali di bawa “bertugas” menadahkan tangan meminta-minta. Mereka tak lagi malu pada tubuhnya yang sehat, pada pikirannya yang waras, bahkan cerdik! Karena terkadang mereka bisa mengelabui orang sedemikian rupa sampai mirip orang cacat. Sementara, banyak orang yang benar-benar cacat justru rela bekerja apa saja, mengakali kekurangan fisiknya, agar tak sampai meminta-minta. Malu! Bukan malu karena cacat, bukan! Karena kecacatan itu pemberian Tuhan. Tapi malu meminta-minta.
Ibu berkacamata gelap naik sedan hendak konsultasi perawatan kecantikan grtais itu hakikatnya sama dengan pengemis muda sehat wal’afiat yang ber-HP-ria atau mampu beli rokok. Yang beda hanya kelas sosialnya yang sekatnya dibuat oleh masayarakat sendiri. Sejatinya, budaya malu memang sudah banyak terkikis di sebagin masyarakat kita. Tak peduli apa latar belakang pendidikannya, kelas sosial ekonominya, yang jelas hati nuraninya sama : mati! Merekalah warga miskin yang sebenarnya. Mereka tak membutuhkan subsidi KJS atau BLT. Mereka hanya butuh pencerahan, agar bisa berempati dan kembali punya rasa malu. Semoga masih banyak diantara kita yang tetap memelihara rasa malu, termasuk malu menyerobot hak orang lain, malu memiskinkan diri sendiri hanya demi program gratisan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H