Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Seandainya Partai Demokrat Jadi Memboikot Media Massa

19 Februari 2012   10:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:28 1020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1329650128897558447

[caption id="attachment_172080" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi-Partai Demokrat/Admin (KOMPAS.com/RUMAH TANGGA KEPRESIDENAN/ABROR)"][/caption]

Pada acara AKI Malam di TV One Sabtu kemarin, Ruhut Sitompul ditanya oleh host acara tentang kebenaran kabar Partai Demokrat berencana memboikot media massa. Ruhut membantah kabar tersebut dan menganggap itu hanya ungkapan kekecewaan kader secara pribadi, yang merasa media massa menyudutkan partainya. Ruhut menghimbau rekan separtainya agar jangan mengatas-namakan partai, sekaligus meminta kepada media agar jangan terlalu menyudutkan Demokrat.

Saya jadi berandai-andai. Jika benar Partai Demokrat memang berniat untuk memboikot media massa, boikot macam apa yang bisa dilakukan Demokrat? Yang bisa dilakukan hanyalah melarang seluruh kader partainya menghadiri undangan stasiun TV apapun, menolak diwawancarai media baik langsung maupun via telepon, intinya gerakan tutup mulut kepada pers. Yang paling ekstrim adalah melarang peliputan kegiatan yang diadakan Partai Demokrat.

Tapi PD tak mungkin bisa melarang pers melakukan peliputan berita di DPR, di istana dan bahkan di Cikeas sekalipun. Sebab rumah kediaman SBY di Cikeas bukanlah markas/kantor PD, meski SBY sering mengadakan jumpa pers dan rapat terkait PD di kediaman pribadinya. Pun juga demikian, sumber berita tentang apa saja yang terjadi di tubuh PD tidak hanya bisa didapatkan wartawan dari kader PD saja. Masih banyak sumber lain yang bisa digali pencari warta.

Kalau diamati, memang hampir sebulan terakhir ini PD dibuat babak belur oleh pemberitaan pers. Jika dirunut ke belakang, semua itu juga bersumber dari kader PD sendiri. Semula tersiar kabar pertemuan SBY dengan beberapa orang anggota Dewan Pembina PD di Cikeas saat libur Imlek. Lalu disusul pemanggilan Anas dan Ibas – Ketua Umum dan Sekjen PD – oleh SBY selaku Ketua Dewan Pembina. Pasca kejadian itu, meruak rumor bakal dicopotnya Anas dari jabatan Ketum. Apalagi kemudian disusul dengan rapat Selasa malam di Cikeas, yang oleh Syarif Hasan, salah satu Dewan Pembina, dikabarkan akan membicarakan nasib Anas.

Kabar seputar kontroversi pencopotan Anas terus menggelinding bak bola salju dan terlihatlah ketidak-kompakan di internal PD. Pro-kontra mempertahankan Anas di posisi Ketum bukan hanya terjadi di jajaran pengurus DPP versus Dewan Pembina, tetapi bahkan antara sesama pengurus DPP dan sesama Dewan Pembina saling silang pendapat. Bagi media massa, ini dagangan yang laris manis untuk dijual. Kehadiran pengamat politik yang memberikan bumbu sana-sini, membuat issu ini makin “kriuukk” untuk dikunyah. Sedangkan bagi PD seolah sedang dibedah isi dapurnya.

Penetapan Angelina Sondakh sebagai tersangka baru kasus suap Wisma Atlit 3 Pebruari lalu, makin memanaskan suasana. Desakan para deklarator PD agar Anas mundur, alotnya penonaktifan Angie dari kepengurusan DPP PD, dirilisnya survey tentang anjloknya dukungan publik kepada PD, semuanya membuat wajah Demokrat makin babak belur. Setiap hari insan pers menemukan dagangan baru tanpa harus mencari. Egoisme dan individualisme para kader Demokrat yang semua seolah ingin tampil di ruang publik, ingin menyuarakan pendapatnya, membuat PD makin tak satu suara menghadapi hantaman dari luar. Seolah antar kader cakar-cakaran sendiri di rumahnya.

Kemalangan makin bertubi-tubi menimpa Demokrat pasca kesaksian Angie di persidangan Nazaruddin, Rabu lalu. Kesaksian yang dianggap bohong itu membuat PD seolah memang sedang berusaha menutupi aib yang sangat besar. Apalagi sehari pasca kesaksian Angie, justru muncul kesaksian dari ibu Ismiati, mantan Ketua DPC PD Boalemo yang mengaku menerima uang Rp. 30 juta dan $ 7.000 USD plus 1 unit BB type Gemini dari tim sukses Anas saat Kongres PD di Bandung.

Pengakuan ini makin menguatkan pengakuan ibu Diana dari Minahasa yang mengaku dirinya bersama 11 DPC lainnya menerima masing-masing sebesar Rp. 100 juta. Disusul lagi pengakuan Dani Sriyanto, Sekretaris DPD PD Jawa Tengah yang mengaku sempat ditawari 2 buah amplop berisi $ 10.000 USD yang kemudian ditolaknya. Pengakuan kader dari Jawa Tengah ini menarik, sebab ketika awal mula ada desakan agar Anas mundur, DPD PD Jawa Tengah justru pasang badan membela Anas. Kini justru Sekretaris DPD-nya menantang Komisi Pengawas untuk memanggilnya dan mengaku dirinya mempunyai banyak data tentang money politics saat Kongres.

Di sinilah tampak bahwa posisi Demokrat sangat tidak imbang dalam pertarungan melawan media. PD ibarat seorang petinju yang sudah kehabisan energy untuk bertahan, tapi terus saja dihantam dari kiri-kanan. Sudah tersudut, tapi wasit tak kunjung meniup peluit menyelamatkannya. Sebab pertarungan ini memang tanpa wasit. Sementara penonton yang memang sudah muak dengan perilaku para politisi parpol, justru makin bertepuk tangan melihat posisi PD makin tersudut.

Jadi sebenarnya, dalam kondisi seperti ini media tidak butuh Demokrat. Media hanya perlu menampung dan menyuarakan testimonial dari mantan peserta Kongres. Justru menghadapi serangan begini, Demokrat lah yang butuh kerja sama media massa. Sebab, jika testimonial itu disiarkan media tanpa ada klarifikasi dan pembelaan diri dari Demokrat, maka pengakuan itu makin menemukan pembenaran. Jika PD memutuskan memboikot media massa dan melarang semua kadernya tampil di media, maka hantaman-hantaman itu makin tak terbalaskan.

Kesaksian Angie yang selalu mengatakan “TIDAK tahu”, “TIDAK pernah”, “TIDAK ada”, disusul 2 hari kemudian kesaksian Mahyudin, Ketua Komisi X DPR dari Fraksi Demokrat, yang selalu berkata “TIDAK ingat”, “LUPA” sambil memberikan surat keterangan dokter bahwa dirinya setahun yang lalu menderita stroke dan kehilangan sebagian memori ingatannya, berita semacam ini bisa diperoleh media langsung dari persidangan, dari pengacara Nazar dan dibumbui pengamat hukum. Tanpa perlu mengundang kader Demokrat sebagai nara sumber pun, berita itu tetap dapat dijual.

Justru dengan absennya kader-kader Demokrat dari layar kaca, sedikit banyak akan mengurangi kebingungan publik. Sebab pernyataan para kader Demokrat selain berbeda satu sama lain, juga sering berubah-ubah. Soal rotasi Angie dari Komisi X (Bidang Olahraga dan Pendidikan) ke Komisi III (bidang Hukum), lalu ke Komisi VIII (Bidang Agama), akhirnya kembali lagi ke Komisi X, misalnya. Kalau media mengandalkan nara sumber dari anggota FPD di DPR, informasi itu justru simpang siur. Sebab mereka berkelit menutupi kekeliruannya yang konyol. Sebaliknya, dengan mendapatkan copy daftar hadir Komisi III yang mencantumkan nama Angie ada di situ, wartawan justru menyuguhkan informasi yang valid.

Sebenarnya yang perlu dilakukan Partai Demokrat adalah membenahi soliditas internalnya dan memberdayakan fungsi public relation partai. Dulu di awal mula mencuatnya kasus Nazar, PD sempat mengirim pesan kepada media massa agar tidak mengutip Ruhut Sitompulsebagai jubir resmi partai, yang dinilai hanya makin memperburuk citra partai. Mereka meminta media menghubungi Andi Nurpati sebagai Ketua Divisi Komunikasi Publik atau Hinca Panjaitan sebagai Sekretaris Divisi. Ironisnya, Hinca kini justru disibukkan dengan urusan kisruh PSSi sedang Andi Nurpati justru bersembunyi dari wartawan karena ia sendiri bagian dari masalah di tubuh PD. Akhirnya, yang tersisa justru hanya Ruhut yang selalu welcome dengan pers.

Jika nanti PD benar-benar memboikot media, sebaiknya insan pers berkata “EGP, emang gue pikirin!”. Justru pers bisa menjadikan ini momentum untuk memburu para mantan pengurus PD di daerah-daerah yang dulu menjadi peserta Kongres, untuk memberikan kesaksian. Pers pasti punya cara untuk itu. Memburu nara sumber dan melakukan peliputan investigative bukan hal yang sulit bagi wartawan. Justru jika pers bisa menjalankan fungsi itu, akan lebih menarik bagi publik, ibarat The Washington Post memburu saksi-saksi dalam skandal Water Gate di masa Presiden Nixon, yang akhirnya membuahkan hasil “All The President’s Men” itu.

Satu hal perlu dicatat PD, meski mereka bisa memboikot media formal, tapi PD tak akan mampu membendung jurnalisme warga dan jejaring sosial. Selamat bekerja insan pers. Jangan terlalu merisaukan gertakan Partai Demokrat. Sebab Demokrat lah yang butuh pers untuk memberikan hak jawabnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun