[caption id="attachment_206006" align="aligncenter" width="500" caption="gambar : tomandjerryonline.com"][/caption]
Tampaknya hubungan Kepolisian Republik Indonesia dengan KPK memang ibarat Tom and Jerry, tak pernah akur. Yang santer mengemuka dan menarik perhatian publik adalah kasus “cicak vs buaya” yang mencuat sekitar Oktober 2009 lalu – saat anggota DPR periode 2009-2004 belum lama dilantik – diantaranya membuahkan hasil dukungan lebih dari sejuta facebooker. Polri ibarat ditelanjangi dengan diputarnya rekaman pembicaraan telepon antara Anggodo Widjojo – kakak kandung Anggoro, buronan KPK – dengan sejumlah pihak yang banyak menyebut nama oknum Polri. Terutama Kabareskrim Mabes Polri, Susno Duadji, yang disandikan sebagai “Truno 3”. Pertarungan cicak vs buaya, ibarat berakhir dengan skor 1 – 0 untuk KPK.
Kini perseteruan itu kembali mencuat dalam kasus lain, yaitu dugaan korupsi pengadaan alat simulator kemudi uji SIM. Berbeda dengan perseteruan tahun 2009, kini pada kasus sengketa perebutan kewenangan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulator SIM ini Polri giat menggalang dukungan opini dari para pakar hukum, untuk membenarkan tindakan mereka. Seolah berlomba dengan KPK, pihak Polri berusaha mendahului dengan lebih dulu menetapkan para tersangka dan menahannya. Meski surat perintah penyidikannya jelas terbit belakangan. Secara opini di media massa, mungkin saja Polri memenangkan debat kalau konteksnya hanya sebatas legalitas formal. Namun dari opini publik yang disalurkan lewat media massa, kepercayaan masyarakat kepada Polri sudah di titik nadir, jika Polri ngotot ingin menyidik Jendral-Jendralnya yang diduga korupsi. Untuk perseteruan kali ini, bisa dibilang hasilnya seri.
[caption id="attachment_206007" align="aligncenter" width="480" caption="Rekaman pembicaraan inilah yang tahun 2009 lalu membuat citra Polri kalah telak melawan KPK dalam kasus cicak vs buaya (sumber : article.wn.com)"]
Seperti Tom yang tak pernah menyerah untuk menaklukkan Jerry, kini Polri bikin kejutan : tidak memperpanjang masa penugasan 20 penyidiknya di KPK. Artinya, 20 perwira penyidik Polri itu harus kembali ke Kepolisian dan meninggalkan semua tugasnya di KPK. Tentu saja ini sepenuhnya hak Kepolisian. Konsekwensinya : KPK secara mendadak dan bersamaan akan kehilangan 20 penyidik sekaligus! Ini tentu bukan kabar menggembirakan di tengah kiprah KPK yang seolah sedang kejar tayang menangani kasus-kasus besar akhir-akhir ini. Kasus korupsi seolah tak pernah ada habisnya di negeri ini. Satu kasus belum juga tertangani, sudah muncul kasus baru. Lalu apa jadinya jika dengan penyidik yang sekarang ada saja kinerja KPK masih keteteran, apalagi kalau 20 penyidik sekaligus ditarik?
Memang, Polri mengatakan : silakan saja kalau KPK masih membutuhkan bantuan penyidik, KPK bisa mengajukan lagi dan Polri akan memberikan penyidik terbaik yang mereka punya (katanya). Tapi bagaimana dengan kesinambungan (continuity) sebuah kasus yang selama ini sudah disidik oleh seorang penyidik tertentu? Bukankah tidak semudah itu ganti penyidik? Penyidik yang baru – apalagi kalau baru pertama kali ditugaskan ke KPK – tentu butuh waktu untuk beradaptasi dengan ritme dan budaya kerja di KPK yang tentu berbeda dengan pola kerja di Kepolisian. Penyidik baru juga perlu waktu untuk mempelajari kasus yang selama ini sudah disidik orang lain. Tentu ini bukan langkah efektif untuk penyelesaian kasus-kasus yang sedang “kejar tayang”. Apalagi kinerja KPK di bawah kepemimpinan Abraham Samad sedang disorot mengingat 3 bulan lagi tepat setahun Abraham Samad menjabat, dimana ada banyak janji yang harus direalisasikannya dalam tempo setahun. Ini pertaruhan besar bagi Abraham Samad dan KPK.
Maka, tak pelak lagi, tindakan Polri untuk tidak memperpanjang penugasan 20 penyidiknya sekaligus, bukan saja kurang tepat melainkan sangat tidak tepat! Jika selama ini ada laporan dari KPK tentang kinerja 20 penyidik itu yang dianggap kurang memuaskan atau melanggar kode etik, pantaslah Polri menariknya. Seperti kasus pengembalian Kompol Broto Seno, penyidik Polri di KPK yang ditugaskan menyidik Angelina Sondakh dan kemudian diduga memiliki hubungan istimewa dengan yang disidik. Tapi kali ini tidak ada pengembalian dari KPK. Bahkan kesannya KPK masih membutuhkan, namun Polri tidak mau memperpanjang. Seolah ada pesan yang hendak disampaikan Polri pada KPK : anda masih membutuhkan kami kan?!
[caption id="attachment_206008" align="aligncenter" width="480" caption="Dilepas tapi dipegangi ekornya. Ibarat seperti itulah kondisi KPK yang penyidiknya masih tergantung dari Kepolisian (sumber : theback-benchers.com)"]
Memang dilematis bagi KPK. Di satu sisi, KPK masih belum mampu mencetak penyidik-penyidiknya sendiri yang independen, tidak bergantung pada penyidik perbantuan dari Kepolisian dan Kejaksaan. Sehingga kesannya dalam hal sumber daya manusia, KPK posisi tawarnya masih relatif lemah. Disisi lain, ironisnya, 2 institusi itu – Kepolisian dan Kejaksaan – cukup banyak oknumnya yang bermasalah dan diduga terlibat kasus korupsi, sehingga mau tak mau KPK bersinggungan dengannya. Dari Kejaksaan ada kasus Jaksa nakal Urip Tri Gunawan dan Jaksa Dwi yang keduanya tertangkap tangan. Lalu ada Jaksa Cirrus Sinaga. Tapi untunglah, Kejaksaan menyikapi perlakuan KPK terhadap oknumnya yang terlibat korupsi dan suap, tak seperti cara Polri menyikapinya yang cenderung resisten. Sampai saat ini, tak pernah terdengar kabar Kejaksaan menarik penyidiknya sekaligus dari KPK, yang bisa berakibat mandeknya kinerja KPK untuk kasus-kasus tertentu.
Kabarnya, dari 20 penyidik yang tak lagi diperpanjang tugasnya itu, diantaranya penyidik kasus dugaan korupsi di Korlantas Polri. Nah lho! Bukankah kasus itu justru yang sedang kejar tayang? Sesungguhnya kasus-kasus yang sedang ditangani KPK akhir-akhir ini adalah kasus besar yang melibatkan tersangka yang dekat dengan pusat kekuasaan. Angelina Sondakh dan Siti Hartati Murdaya contohnya. Kasus dugaan korupsi di Korlantas Polri, sejak masih dalam taraf penggeledahan barang bukti sudah jadi kasus yang menarik perhatian, karena disinyalir 2 Jendral yang jadi tersangka itu tak “bermain” sendiri. Begitu pula kasus Bupati Buol, Amran batalipu yang penangkapannya sampai melibatkan Densus 88 segala. Jadi jelas : KPK sedang full load! Dan harus berlari dengan speed yang tinggi pula. Sedikit saja ada gangguan terhadap struktur organisasi dan pengawakan di tubuh KPK, bisa berpengaruh pada kinerja KPK.
Agaknya perlu Komisi III DPR untuk memanggil kedua institusi itu dan mempertanyakan motivasi Polri menarik 20 penyidiknya. Apakah ini sekedar gertak sambal agar KPK mengalah dan menyerahkan penyidikan atas kasus korupsi di Korlantas kepada Kepolisian? Seolah dengan cara ini Polri hendak menegaskan pada KPK : jangan macam-macam, kalian masih butuh kami! Ataukah ini bagian dari upaya pelemahan terhadap KPK? DPR sudah sejak lama sering mengambil keputusan yang tak berpihak pada KPK. Tidak turunnya persetujuan atas anggaran pembangunan gedung baru untuk kantor KPK, misalnya. Ketika publik menggalang dana untuk itu, DPR sontak bereaksi keras dan mengatakan bahwa pembahasannya tingal sedikit lagi, minggu depan sudah ada keputusan. Tapi sudah berlalu 2 bulan, sampai kini tak kunjung ada keputusan. Apakah langkah Polri tak memperpanjang masa tugas 20 penyidiknya ini juga bagian dari pelemahan kinerja KPK? Akankah diikuti dengan penyidik-penyidik lain yang mungkin akan habis masa tugasnya di KPK dalam waktu dekat? Publik hanya bisa menunggu dan berharap KPK bisa menanggulangi masalah ini.
Bambang Widodo Umar, pengamat Kepolisian, menyarankan agar KPK tak perlu lagi bergantung pada Kepolisian dalam memenuhi kebutuhan penyidik. KPK bisa meminta penyidik dari TNI. Tampaknya terobosan baru ini perlu dipertimbangkan, agar dominasi penyidik Polri di KPK tidak terlalu besar. Namun yang lebih penting lagi, KPK seyogyanya segera mempersiapkan, mendidik dan melatih penyidik independen – bukan berasal dari Kepolisian maupun Kejaksaan – agar tak bergantung pada instansi lain. Masalahnya : mendidik dan melatih penyidik handal dan membekalinya dengan berbagai disiplin ilmu yang terpadu, tentu butuh biaya tidak sedikit. Dan kalau sudah terkait anggaran, palunya ada di tangan Komisi III DPR. Maukah mereka bersikap kooperatif mendukung KPK, melengkapinya dengan sarana, prasarana dan sumber daya manusia yang handal? Saya kok tidak yakin, berkaca dari pengalaman silang sengakrut KPK vs DPR selama ini. Tampaknya, benang kusut yang membelit kinerja KPK ini masih akan terus diulur. Semoga KPK masih punya cukup banyak energi untuk bertahan melawan gerakan-gerakan yang tidak pro pemberantasan korupsi. Itu doa rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H