[caption id="attachment_320333" align="aligncenter" width="624" caption="foto : kompas.com"][/caption]
Kabar tentang pelecehan sekaligus kekerasan seksual yang menimpa seorang bocah umur 5 tahun, siswa TK Jakarta Internasional School, langsung menyulut amarah para orang tua. Kegeraman tertumpah pada pelaku, karena perlakuan mereka terhadap si Boy – sebut saja begitu – sangat kejam dan menimbulkan trauma fisik maupun psikis yang tidak ringan pada si bocah. Si Boy kerap mengigau, dalam tidurnya ia berteriak ketakutan “stop, please don't do that, go away from me!". Bahkan kini ia tak mau lagi sekolah karena takut. Perubahan perilaku lainnya, si Boy sekarang tak mau mengenakan celana karena sering mengompol. Kalau di rumah ia hanya mengenakan baju saja, sedangkan kalau hendak diajak pergi, terpaksa harus dibujuk untuk mengenakan celana. Orang tua korban menjelaskan kondisi dubur putranya membusuk karena terinfeksi kuman/bakteri dan herpes. Pantatnya membengkak dan di bagian kanan perut si Boy ditemukan luka memar. Sungguh tak terkira, kesakitan luar biasa yang harus diderita anak sekecil itu.
Semalam, TV One mewawancarai ibu si Boy. Anaknya sedemikian takutnya sehingga tak memiliki keberanian menceritakan apa yang menimpanya, meski sudah dibujuk. Semula si Boy tak percaya maminya punya power, “Bukannya power mommy hanya di rumah?” tanyanya. Sang ibu kemudian meyakinkan bahwa power yang dimilikinya juga berlaku di sekolah. Bahkan si Boy sempat mengangankan seandainya dia seperti si Anu (nama seseorang) yang badannya besar, binaragawan, seperti Hulk. Kemudian ibunya mengaku dia memiliki nomor telpon Hulk, telpon Captain America dan sejumlah super hero yang dikagumi si Boy. Barulah kemudian si Boy punya keberanian menceritakan apa yang menimpanya.
Boy pun menceritakan bagaimana pelaku memasukkan ‘the bird’ ke dalam anusnya sebegitu dalam. Bocah yang masih polos itu menggambarkan bahwa pelaku mewarnai kemaluannya dengan warna pink dan menjadi seperti ‘giraffe’. Oleh keluarga diduga pelaku mengenakan kondom. Si Boy kemudian diberikan beberapa benda – termasuk salah satunya kondom – untuk mengidentifikasi benda apa yang digunakan pelaku. Ternyata si Boy menunjuk kondom. Dia juga bercerita, meski dirinya sudah tak mau, tapi tetap dipaksa, dengan cara dipukul, diintimidasi tak boleh berisik dan dilarang menangis. Artinya dalam kondisi ketakutan si anak dilarang meluapkan emosinya, pasti suatu siksaan psikis yang sangat berat bagi anak sekecil itu.
Ketika ditanya apa warna baju pelaku, si Boy hanya menjawab “blue” dan ternyata yang berseragam biru di JIS adalah tukang kebun dan petugas kebersihan. Setelah dilaporkan pada polisi, si Boy diminta mengidentifikasi pelaku. Itupun tak mudah, sebab antara wajah asli pelaku dengan foto tak persis sama. Anak kecil belum bisa mengenali perbedaan dan persamaan di foto dan aslinya. Akhirnya si Boy diminta menunjuk mana pelakunya. Sebelumnya si Boy harus benar-benar diyakinkan bahwa para pelaku di luar jendela kaca tak akan bisa melihatnya. Yang ditunjuk semula hanya Agun dan Afrisca (wanita). Dari mulut Agun kemudian ditangkap juga Awan, karena Agun protes kenapa hanya dirinya yang ditangkap, padahal Awan ikut melakukan.
Dari hasil tes laboratorium, pada kemaluan kedua pelaku terdapat bakteri yang sama dengan yang ada di anus si Boy, namun anehnya keduanya tak menderita herpes. Karena itu diduga masih ada pelaku lain yang mengidap herpes yang ditularkan pada si Boy. Saat ini masih ada 2 terduga pelaku yang sedang menunggu hasil tes lab, keduanya tetap dipekerjakan namun dibatasi aksesnya.
[caption id="attachment_320335" align="aligncenter" width="546" caption="Arist Merdeka Siratit menunjukkan foto pelaku sodomi. Tak perlu ada perlindungan menutupi wajah predator anak (foto : kompas.com)"]
Sedangkan Afrisca, justru dilepaskan oleh Polisi dengan dalih tak cukup bukti. Padahal menurut pengakuan si Boy, Afrisca-lah yang mengintimidasinya dalam bahasa Inggris. Sebab Agun dan Awan tak cakap berbahasa Inggris sedang si Boy kesehariannya berbicara dalam bahasa Inggris. Selain mengancam, Afrisca pulalah yang mengunci pintu toilet dan menelanjanginya sebelum digilir oleh kedua pelaku laki-laki. Jadi, masih menunggu bukti apa lagi? Apakah pengakuan korban dinilai tak cukup kuat karena dia hanya seorang bocah cilik? Bukankah justru anak seumuran si Boy tak mungkin berbohong? Tak mungkin merekayasa dan menyeret pihak tak bersalah karena adanya rasa suka dan tidak suka? Kalau Afrisca tak turut melakukan aktivitas seksual, jelas pada dirinya tak akan ditemui bukti fisik dan hasil lab. Tak ikut menjadi pelaku namun aktif terlibat menyiapkan dan membantu terjadinya kejahatan, apalagi ikut mengancam, jelas sudah bisa dikategorikan ikut serta dalam kejahatan. Sekedar melihat kejahatan dan tak melaporkan, itu saja sudah salah.
Banyak yang meyayangkan tindakan Kepolisian itu, termasuk Arist Merdeka Sirait dari Komnas Perlindungan Anak. Arist bahkan menunjukkan foto wajah pelaku, yang oleh polisi selalu ditutupi. Dalam wawancara dengan TV One Rabu pagi, dengan nada geram kriminolog Reza Indragiri Amriel mengatakan semestinya polisi tak perlu menutupi wajah pelaku. Bahkan pelaku kekerasan seksual pada anak harus diberi hukuman yang luar biasa sebab kejahatan yang dilakukannya juga luar biasa. Misalnya dengan memberikan tanda khusus pada KTP-nya sehingga masyarakat waspada terhadapnya. Hal seperti ini tidak aneh di negara maju yang sudah menerapkan perlindungan anak dari pelaku paedofilia. Ada situs khusus yang memasang wajah pelaku dari berbagai sisi, yang bisa diakses siapa saja, sehingga para orang tua bisa segera waspada jika menemui orang dengan wajah yang terpampang di situs itu, mendekati anak mereka.
JIS TERKESAN TAK BERSIMPATI DAN TIDAK KOOPERATIF
Ironisnya, pihak JIS justru menunjukkan sikap yang tidak memadai. Alih-alih memberikan bantuan kepada keluarga korban, JIS justru menyalahkan orang tua korban yang muncul di media. Pengakuan ortu korban, sejak kejadian itu dilaporkan, akses ortu untuk masuk ke sekolah sangat dibatasi. Semalam kakak dari ibu si Boy sampai sedikit memelas mengatakan bahwa keluarga mereka hanya ingin persoalan ini ditangani tuntas dan pelaku dihukum. Apalagi diduga ada anak lain yang juga menjadi korban.
Dalam konpers yang digelar JIS beberapa waktu lalu, Direktur JIS, Timothy Carr memang mengatakan pihaknya akan bekerjasama dengan Depdikbud dan Kepolisian, namun sama sekali tak terucap sepatahpun permintaan maaf dari sekolah atas kejadian ini. Seolah JIS sama sekali tak ikut bertanggungjawab atas apa yang menimpa siswa meski itu terjadi selama jam sekolah dan di dalam lokasi sekolah. JIS juga sama sekali tak menawarkan bantuan trauma healing pada korban. Mustahil sekolah se”hebat” JIS tak memiliki psikolog anak.
Lebih konyol lagi, ternyata JIS belum memiliki ijin pendirian dan ijin operasional dari Direktorat Jendral Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal (Ditjen PAUDNI) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Alasannya sederhana : mereka tidak tahu! Sebuah alasan yang tak masuk akal, mengingat JIS bukan sebuah TK sederhana di teras rumah yang didirikan sekelompok ibu-ibu rumah tangga di kampung yang tak tahu prosedur birokrasi. Ditjen PAUDNI memberikan batas waktu seminggu untuk mengurus perijinan.
[caption id="attachment_320336" align="aligncenter" width="546" caption="Pengamanan bagi orang luar super ketat. Tapi di dalam kejahatan terhadap anak bisa terjadi tanpa diketahui dan tidak ditanggulangi (foto : kompas.com)"]
Lebih kurang ajar lagi, meski sekolah TK bertaraf internasional itu belum berijin, mereka berani menolak kehadiran utusan dari Ditjen PAUDNI. Rombongan yang datang pada Rabu pagi sekitar pukul 9 itu ditolak masuk oleh petugas security, dengan alasan Kepala Sekolah sedang meeting dan mereka tak bisa meng-cancel meeting. Rombongan yang terdiri dari Kepala Bagian Hukum Ditjen PAUDNI dan stafnya datang dengan membawa surat pengantar resmi dari Kemendikbud. Begitupun mereka tak dipersilakan masuk, hanya disuruh menunggu di dalam mobil yang diparkir di depan JIS, sementara petugas keamanan membawa surat pengantar tersebut. Kendati surat pengantar sudah ditunjukkan ke pihak JIS, rombongan tetap tidak diperbolehkan masuk. Pihak keamanan JIS menyarankan mereka boleh datang kembali setelah jam makan siang.
Tim dari Ditjen PAUDNI itu datang untuk mendapatkan keterangan yang akan menjadi bahan pembahasan Ditjen PAUDNI dengan pihak JIS sore harinya sekitar pukul 3. Tim itu diutus untuk mengklarifikasi, termasuk ke TKP dan meminta keterangan atas kejadian yang menimpa si Boy. Akhirnya tim itu membatalkan niatnya memantau meski ditawarkan datang lagi setelah makan siang. Tindakan tim dari Ditjen PAUDNI ini menurut pandangan penulis sudah sangat tepat. Agar tak ada kesan JIS bisa seenaknya sendiri mengatur Kemendikbud. Bukankah Kemendikbud berhak menurunkan tim untuk melakukan sidak kapan saja? Namanya juga sidak – inspeksi mendadak – jadi tak perlu memberitahukan lebih dulu. Kalaupun tak ada Kepala Sekolah, bukankah ada Wakasek dan Manager HRD? Meninjau lokasi kan tak harus disertai Kepsek? Secara teknis, kedatangan tim dari Ditjen PAUDNI selepas jam makan siang (sekitar jam 1 siang?) juga kurang efektif, sebab waktunya terlalu mendesak dengan jadwal pertemuan jam 3 sore. Belum lagi waktu tempuh dari JIS ke kantor Kemendikbud. Jadi jelas tim tak akan bisa melakukan pemantauan optimal, mendapatkan data yang cukup dan mengolah informasi. Jelas ini cara halus JIS untuk menolak sekolahnya dipantau. Mungkin JIS tak ingin ada banyak kekurangannya yang diketahui Kemendikbud.
Mendirikan sekolah di negara lain tentunya harus patuh aturan hukum di negara tersebut. Sekolah bukanlah gedung Kedutaan Besar yang memiliki kekebalan teritorial yang tak bisa ditembus oleh negara setempat. Bagaimana kalau JIS menyembunyikan pelaku kriminal di lingkungan sekolahnya? Apakah aparat berwenang di Republik ini tak diijinkan masuk? Saat ini sudah jelas ada korban yang menderita, sudah ada pelaku yang mengaku dan terbukti secara medis, lalu kenapa JIS masih bisa jumawa dan arogan? Apakah jika korbannya anak expatriate, JIS juga akan bersikap serupa? Ataukah justru JIS mengijinkan pejabat Kedutaan Besar dari negara ortu si anak masuk dan mengintervensi sekolah? Ah..., andaikan si Boy anak warga negara Amerika, misalnya...
Mendikbud dan jajarannya harus tegas! Tak perlu lagi JIS diberi kesempatan mengurus ijin, sebab sudah beroperasi bertahun-tahun tanpa ijin. Bukankah SMA Jaya Sakti di Surabaya, yang siswanya berasal dari masyarakat dengan perekonomian menengah bawah, hanya karena belum memperpanjang ijin maka seluruh siswa kelas 3 (21 orang) tak diberi kesempatan mengikuti UN? Bahkan Diknas menyalahkan ortu siswa yang tak mengecek dengan teliti kelayakan serta status sekolah, tanpa menawarkan solusi apapun bagi ke-21 siswa yang kepalang tanggung menjadi siswa di sekolah tersebut. Sampai-sampai Kepala Sekolahnya harus memelas, mengaku sudah mengurus izin operasional sekolah pimpinannya, namun sejauh ini hasilnya nihil. Kenapa Depdikbud bisa tegas sekali – bahkan tak punya pertimbangan kemanusiaan sedikitpun – pada sekolah anak-anak bangsanya sendiri? Bukankah kondisi demikian harusnya lebih ditoleransi, karena akan berakibat pada masa depan siswa yang gagal mendapatkan ijazah sementara mereka telah mengenyam pendidikan SMA selama 3 tahun?!
[caption id="attachment_320342" align="aligncenter" width="342" caption="SMA Jaya Sakti yang akan disegel (foto : www.beritatrans9.com)"]
Arogansi JIS adalah wujud arogansi asing yang merasa berhak mengatur dirinya sendiri tanpa mengindahkan aturan di negara setempat. Tak ada dalam kamus mereka “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. Mereka merasa punya kekebalan teritorial, punya kuasa menentukan kapan dan siapa yang boleh mendatangi. Bahkan para orang tua siswa yang telah membayar mahal untuk menyekolahkan anak mereka disitu, tak juga dijamin haknya untuk bebas masuk ke sekolah kendati jelas anak mereka teraniaya. Bandingkan dengan sekolah negeri atau sekolah swasta bukan asing. Mungkin salah (sebagian) kita juga, yang selalu menganggap hal-hal berbau asing itu hebat. Yang berlabel internasional itu bergengsi. Yang dikelola oleh bule asing itu pasti menjunjung tinggi HAM. Padahal?! Sudah terlanjur bermental inlander.
Semua aparatur pemerintahan di Indonesia berhak masuk ke gedung manapun selama itu relevan dan dalam lingkup tugasnya. Hanya Kedutaan Besar saja yang memiliki kekebalan teritorial. JIS?! Sekolah illegal kok berani kurang ajar dan tak sopan pada tim resmi Kemendikbud. Cukuplah JIS jadi pelajaran. Kita sudah sedemikian direndahkan pihak asing. Komunikasi Presiden kita saja disadap. Sekarang, institusi pendidikan pun di-kepret oleh sekolah asing yang nota bene cari duit di Indonesia. Jangan mimpi bisa melindungi siswa WNI yang bersekolah di negara lain, kalau melindungi anak yang bersekolah di tanah air saja tak bisa.
CATATAN :
Pelaku kejahatan seksual dan predator anak hanya diancam hukuman ringan, sekitar 5-15 tahun penjara, sementara dampak traumatisnya pada anak bisa seumur hidup. Saat ini sedang digagas Petisi untuk mengupayakan Revisi UU No. 23 tahun 2002. Mari dukung Petisi tersebut dengan menandatanganinya DISINI.
Terima kasih.
[caption id="attachment_320345" align="aligncenter" width="389" caption="Siswa SMA Jaya Sakti sampai harus berdemo saking kepinginnya diijinkan ikut UN (foto : matahati.co)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H