Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mereka di Balik Keramaian 10 Hari Akhir Ramadhan di Mekkah

26 Juli 2012   19:25 Diperbarui: 4 April 2017   17:37 5842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_196478" align="aligncenter" width="480" caption="Kepadatanm jamaah saat Ramadhan, sampai-sampai area sekeliling Kabah tak tersisa ruang kosong (foto :koleksi pribadi)"][/caption]

Ramadhan tahun lalu, Alhamdulillah saya berkesempatan menunaikan puasa di tanah suci sambil melaksanakan umroh. Saya sengaja memilih paket umroh yang 15 hari, sehingga bisa menghabiskan 10 hari terakhir bulan Ramadhan di Mekkah dan sekaligus sholat Ied di Masjidil Haram. Tepat 17 Agustus 2011 jam 6.00 pagi, kami sudah berangkat dari Cilegon menuju bandara Soetta, karena masih akan ada pembekalan dari pihak travel biro. Jam 11 tepat, pesawat yang kami tumpangi tinggal landas menuju Jeddah dan tiba di sana pukul 4 sore waktu setempat atau pukul 8 malam waktu Jakarta. Singkat cerita, rombongan kami baru tiba di hotel tenpat menginap di kota Madinah Al-Mukaromah menjelang jam 12 malam waktu setenpat, persis ketika jamaah sholat taraweh baru saja keluar dari Masjid Nabawi.

Saya sempat kaget melihat kota Madinah tengah malam tak ubahnya seperti jam 12 siang saja. Memang saat itu di Arab sedang puncak musim panas, dari berita-berita di internet yang saya kumpulkan sebelum berangkat, suhu siang hari rata-rata 500 – 520 Celcius. Jadi jadwal puasa cukup panjang. Maghrib baru pukul 7.15 malam dan Isya sekitar pukul 9. Karena sholat taraweh disana jumlahnya 23 rakaat termasuk witir dan surat yang dibaca setiap hari totalnya 1 juz, maka rangkaian sholat taraweh baru usai menjelang jam 12 malam.

[caption id="attachment_196480" align="aligncenter" width="515" caption="Sholat taraweh di Masjidil Haram (foto : koleksi pribadi)"]

1343328555994285719
1343328555994285719
[/caption]

Luberan jamaah dari berbagai negara berpadu dengan geliat perekonomian yang di bulan Ramadhan justru ramai di malam hari – terutama penjualan makanan – praktis membuat kota Madinah yang memang aslinya sudah gemerlapan, makin terang benderang saja, seolah tak pernah tidur. Jamaah umroh dari berbagai negara di seluruh dunia memang mencapai puncaknya di bulan Ramadhan. Hal ini karena umumnya umat Islam mengejar keutamaan umroh di bulan Ramadhan yang dalam hadits Rasulullah SAW dijanjikan pahalanya setara dengan pahala berhaji bahkan berhaji bersama Rasulullah Muhammad SAW.

Bukan hanya jamaah umroh dari manca negara, penduduk lokal Arab pun menyambut Ramadhan dengan sangat istimewa. Karena di Arab selama Ramadhan libur, maka kebanyakan keluarga Arab selama sebulan penuh “pindah” ke tanah suci Mekkah dan Madinah. Terutama di kota Mekkah. Hampir semua hotel berbintang sudah di-booking keluarga kaya Arab. Itu sebabnya umumnya travel biro dari Indonesia menurunkan tingkat penginapannya untuk paket umroh Ramadhan di kota Mekkah, karena tarif hotel melambung tinggi. Bahkan kebanyakan memakai penginapan seperti apartemen, untuk paket umroh jangka panjang 15 – 30 hari. Jangan berharap bisa mendapatkan hotel di ring satu seputaran Masjidil Haram. Penginapan dan apartemen sejarak 1 km pun masih padat. Beruntung apartemen tempat kami menginap hanya berjarak 500-an meter dari Masjidil Haram, itu pun cukup berjalan lurus saja.

[caption id="attachment_196482" align="aligncenter" width="484" caption="Jalan di depan Masjidil Haram yang lurus ke arah apartemen penginapan saya"]

13433287552083615717
13433287552083615717
[/caption]

Sejak masih di Madinah, saya sudah merasakan kepadatan jamaah yang luar biasa dibanding umroh di luar bulan Ramadhan. Setiap kali menjelang waktu sholat 5 waktu, kami harus sudah berada di Masjid Nabawi sekurangnya setengah jam sebelum saat adzan, jika ingin mendapatkan tempat di dalam masjid. Beruntung hotel kami hanya berjarak kurang dari 100 meter dari Masjid Nabawi, jadi tak terlalu merepotkan. 3 hari di Madinah, kami bertolak ke Mekkah.

Semula dijadwalkan kami akan berangkat usai sholat Dhuhur. Tapi mengingat hari itu tepat tanggal 20 Ramadhan yang berarti malam harinya adalah malam ke-21, maka muthowwif kami memutuskan berangkat lebih awal, targetnya sebelum jam 2 siang kami sudah harus tiba di Mekkah karena katanya menjelang malam ke-21 jalan-jalan di seputaran Masjidil Haram tertutup untuk bus besar masuk, karena arus jamaah sudah sangat membludak. Akhirnya kami berangkat jam 8 pagi, karena masih akan mampir di masjid Bir Ali untuk mengambil miqot, melaksanakan sholat sunnah umroh dan melafadzkan niat.

[caption id="attachment_196483" align="aligncenter" width="484" caption="Lalu lalang jamaah diantara gedung-gedung pencakar langit di seputaran ring satu Masjidil Haram"]

1343328833875946202
1343328833875946202
[/caption]

Benar saja, menjelang jam 2 kami tiba di sana, dan 1 km sebelum Masjidil Haram sudah ditutup. Kami terpaksa berjalan kaki di tengah terik mentari yang luar biasa menyengat, menuju ke penginapan. Sementara koper dan barang bawaan akan diurus oleh pihak travel dan diangkut sedikit demi sedikit menggunakan troley. Mengingat kondisi jamaah yang sedang berpuasa dan panasnya kota Mekkah, muthowwif kami memutuskan umroh baru akan dilaksanakan usai sholat Maghrib. Kami diminta beristirahat di penginapan dan menghemat energi, sholat Dhuhur, Ashar dan Maghrib dilakukan di kamar masing-masing, setelah makan buka puasa kami akan bergegas ke Masjidil Haram untuk memulai rangkaian umroh.

Benar juga informasi yang saya dapat sebelumnya, bahwa situasi Masjidil Haram di bulan Ramadhan bisa jauh lebih ramai ketimbang musim haji. Sebab di musim haji, jamaah yang datang mengunjungi Ka’bah hanya mereka yang melaksanakan ibadah haji. Sedangkan di bulan Ramadhan, selain jamaah dari berbagai penjuru dunia, warga sekitar kota Mekkah pun menyempatkan diri untuk sholat 5 waktu dan taraweh di Masjidil Haram. Belum lagi kedatangan warga Arab Saudi dari berbagai kota semisal Jeddah, Riyadh, dll. Mulai anak-anak, remaja, orang dewasa sampai tua renta diajak serta menghabiskan Ramadhan di Mekkah. Sulit digambarkan seperti apa kepadatannya. Mungkin tak cukup terlukiskan dengan kata-kata. Saya yang mengalami sendiri nyaris tak percaya.

[caption id="attachment_196484" align="aligncenter" width="480" caption="Areas jamaah wanita di sela-sela waktu, menunggu saat sholat tiba. Tiduran, lesehan, ngobrol, yang penting jangan meninggalkan tenpat atau anda tak akan bisa kembali karena tempat itu keburu diserobot jamaah lain"]

1343328945464988352
1343328945464988352
[/caption]

Untuk mengambil air zamzam mengisi botol-botol air minum yang kami bawa, itu saja harus antri sampai lama. Padahal kran-kran air zamzam tersedia di hampir tiap lekukan Masjidil Haram, dan masing-masing tempat pengambilan air zamzam terdiri dari banyak kran. Semula saya pikir “ah nanti sajalah, tunggu sampai agak sepi”. Ternyata, tak kunjung sepi. Sedikit berkurang antrian mungkin sekitar sejam usai sholat Subuh. Tapi menjelang Dhuhur, kran-kran air itu kembali dipadati jamaah. Meski sedang berpuasa, umumnya jamaah membawa botol-botol minuman ukuran besar atau jerigen kecil, untuk diisi dengan air zamzam dan dibawa ke penginapan, untuk dibawa pulang ke negara masing-masing. Maklumlah, selain jamaah yang dikoordinir oleh biro perjalanan yang sudah menyediakan air zamzam dalam kemasan untuk oleh-oleh, banyak pula jamaah yang berangkat secara mandiri. Mereka datang bersama keluarga atau kerabatnya khusus untuk menghabiskan bulan Ramdhan mereka di tanah suci.

[caption id="attachment_196488" align="aligncenter" width="473" caption="Jamaah tanpa penginapan, menghabiskan hari-harinya di jalanan. Pemadangan yang kontras dengan gedung hotel pencakar langit di sekitarnya"]

13433291841098013380
13433291841098013380
[/caption]

Saya kagum dengan keuletan dan kenekadan jamaah asal Turki, Pakistan, Bangladesh, dll. yang rela “menggelandang” selama Ramadhan, asal bisa beribadah di tanah suci Mekkah dan Madinah. Barang bawaan mereka digantungkan begitu saja di pagar masjid. Bahkan ada seorang Ibu tua berkursi roda, seluruh kursi rodanya penuh bergelantungan semua barang kebutuhan hidupnya. Anak lelakinya mendorong kursi si ibu. Jamaah-jamaah “bonek” (bondo nekad) ini tidur di halaman Masjid Nabawi dan Masjidil Haram, beratapkan langit dan beralas kardus bekas kemasan makanan atau buah-buahan yang biasanya dibuang oleh pemilik mini market yang bertebaran di sekitar Masjidil Haram. Kalau di Masjid Nabawi, karena pelatarannya cukup bersih, mereka tidur tanpa alas. Tas, koper dan barang bawaan bisa jadi bantal atau pembatas. Mereka melakukan MCK di toilet masjid. Maka tak perlu heran kalau untuk ke toilet antrinya bisa sampai sejam.

[caption id="attachment_196492" align="aligncenter" width="466" caption="Yang bergeletakan itu bukan cuma sampah, tapi juga orang. Ini jaraknya sekitar 200-an meter dari Masjidil Haram"]

13433293311105023234
13433293311105023234
[/caption]

Aktivitas sahur dan berbuka mereka lakukan di masjid atau di halaman masjid, Untuk buka puasa tak jadi masalah. Setiap hari kedua masjid besar itu selalu dibanjiri sumbangan buka puasa dari para dermawan, baik berupa kurma, roti, yoghurt, biskuit, dll. Saya perhatikan, jamaah bonek berkantong tipis itu umumnya mengumpulkan pembagian buka puasa sebanyak-banayknya dalam tas plastik mereka. Setiap kali ada pembagian, mereka antusias sekali. Semula saya pikir : “apa sebanyak itu habis unttuk berbuka?” Ternyata, sebagian disimpan untuk dimakan saat sahur. Yang masih punya sedikit uang, bisa membeli paket makanan siap saji di rumah makan sekitar masjid, meski seringkali seporsi dimakan bersama suami–istri. Terkadang, mereka datang sekeluarga dengan anak-anak dan orang tua yang sudah berumur. Menyaksikan mereka makan seadanya beratapkan langit, saya terharu. Begitu berat perjuangan mereka dari negaranya menuju ke tanah suci, demi mengejar pahala berlipat untuk bisa umroh di bulan Ramadhan, menjalankan sholat 5 waktu dan taraweh di kedua masjid suci itu dan terutama untuk i’tikaf di malam-malam ganjil 10 hari terakhir Ramadhan.

[caption id="attachment_196494" align="aligncenter" width="458" caption="Sampah sisa makan sahur, kebanyakan berkantong plastik kemasan ayam goreng cepat saji merk lokal"]

13433294241982159167
13433294241982159167
[/caption]

Nah, dengan kepadatan jamaah seperti itu, ditambah aktivitas berbuka dan sahur, tentu sampah adalah masalah terbesar. Para pertugas cleaning service di kedua masjid suci itu yang selama 24 jam terus membersihkan seluruh area masjid, akan lebih dibuat repot saat usai sholat Maghrib. Sebab mereka harus menyapu bersih semua bekas buka puasa jutaan jamaah, karena tak lama lagi sholat Isya dan taraweh akan dimulai. Sementara jamaah enggan beranjak karena takut tak kebagian tempat lagi bila meninggalkan tempatnya duduk.

[caption id="attachment_196495" align="aligncenter" width="470" caption="Ini dia restoran KFC ala Mekkah yang selalu diserbu ribuan pembeli sejak usai taraweh sampai sahur"]

13433295201628935903
13433295201628935903
[/caption]

Begitupun menjelang sholat subuh. Karena khusus selama 10 hari terakhir Ramadhan ada tambahan qiyamul-lail (sholat tahajjud) yang dimulai jam 1 malam dan berakhir jam 3 pagi, maka kebanyakan jamaah hanya keluar sebentar usai sholat taraweh dan sejam kemudian kembali untuk ikut sholat berjamaah qiyamul lail. Biasanya mereka membeli makanan untuk sahur. Begitu selesai qiyamul lail, mulailah jamaah yang tak tinggal di penginapan itu bersantap sahur. Jadi, sebelum Subuh, petugas cleaning service harus sudah membuat masjid bersih kembali.

[caption id="attachment_196496" align="aligncenter" width="472" caption="Sampah sisa makan sahur"]

1343329588552340849
1343329588552340849
[/caption]

Sayangnya, tugas berat para cleaning service ini tidak dipermudah dengan kebiasaan hidup bersih dan tidak membuang sampah sembarangan. Banyak jamaah dari negara-negara dunia ketiga itu seenaknya saja meninggalkan sampah bekas makanan dan minuman mereka. Tak heran jika ratusan petugas cleaning service itu terpaksa menggunakan cara-cara ekstrim untuk membersihkan masjid, khususnya usai sholat Maghrib dan jelang sholat Subuh. Caranya : mereka menyiramkan bergalon-galon air yang telah dicampur karbol ke area yang sudah terlebih dahulu mereka beri semacam police line. Siapa saja yang tak menyingkir dari situ dan tak membereskan barang bawaannya, resiko ditanggung sendiri. Setelah air karbol disiramkan, puluhan petugas menyapu sampah secara manual disusul petugas yang mengemudikan mesin pengepel mirip forklift berukuran besar. Mereka bekerja berkelompok-kelompok dalam area-area tertentu.

[caption id="attachment_196498" align="aligncenter" width="517" caption="Inilah sosok para petugas kebersihan yang selama 24 jam mengangkuti sampah demi terpeliharanya kebersihan di dalam Masjidil Haram"]

13433298831478671872
13433298831478671872
[/caption]

Jujur saja, saya menaruh apresiasi sangat besar pada petugas cleaning service yang umumnya adalah kaum imigran yang katanya bergaji kecil. Mereka selalu tampak kelelahan. Meski kerjanya secara shift, tapi dalam 1 shift kerja mereka nyaris tak pernah istirahat demi terjaganya kebersihan masjid suci. Belum lagi petugas pemungut sampah yang setiap kali mendorong troley berisi kantong sampah menggunung. Entah berapa ton sampah setiap usai buka dan sahur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun