Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menteri Mundur? Biasa Aja Lagi!

11 Desember 2012   10:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:50 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_221013" align="aligncenter" width="600" caption="Hebohnya peliputan mundurnya AAM (foto : antaranews.com)"][/caption]

“Seorang perawat Rumah Sakit King Edward VII, London, tempat Kate Middleton dirawat, yang menerima telepon dari dua penyiar radio Australia meninggal dunia, Jumat (7/12/2012) pagi waktu setempat. Diduga perawat bernama Jacintha Saldanha (46) itu bunuh diri. Itu cuplikan paragraf pertama sebuah berita di laman internasional.kompas.com. Malang benar Jacintha, sebelumnya ia jadi korban telepon “penipuan” yang dilakukan oleh 2 penyiar radio Australia, yang mengaku sebagai Ratu Elizabeth II dan Pangeran Charles. Jachinta yang polos percaya begitu saja, lalu menyambungkan telepon itu ke ruang perawatan Kate dan memberikan laporan medis kondisi terkini Kate. Telepon itu sendiri sebenarnya dimaksudkan hanya untuk lucu-lucuan – mungkin semacam acara “salah sambung” di sebuah stasiun radio di Jakarta, atau “ups salah” di sebuah TV swasta – dan kedua penyiar sudah meminta maaf. Hanya saja, Jachinta yang sudah bekerja 4 tahun di RS tersebut, merasa sangat bersalah membocorkan kondisi kesehatan Kate, sehingga memicunya  untuk bunuh diri.

Wow! Sebegitu besar rasa bersalahnya sampai memotivasinya untuk bunuh diri karena telah melanggar etika profesi yang seharusnya menjaga kerahasiaan laporan medis pasien yang dirawatnya. Tindakan bunuh diri Jachinta jelas bukan sesuatu yang bisa dibenarkan dari sudut pandang agama, hanya saja yang patut diacungi jempol adalah konsistensi Jachinta untuk menjunjung tinggi etika profesinya.

Di beberapa negara – Jepang, Korea Selatan, Jerman – sudah jamak seorang pejabat mengundurkan diri hanya karena dirinya diissukan terlibat dalam sebuah skandal. Entah itu skandal keuangan (menerima suap, menyuap atau memakai uang negara untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya) ataupun skandal seksual. Beberapa waktu lalu Direktur CIA mengundurkan diri karena ia telah berselingkuh. Memang aspek politiknya sangat kental dlam kasus ini. Sebelumnya, ada seorang pengawal pribadi Presiden Obama yang bunuh diri karena anggoat Secret Service ini ketahuan telah berselingkuh.

Apapun penyebabnya dan bagaimana pun cara yang dipakai untuk menunjukkan penyesalan serta rasa malu karena telah mengkhianati amanah atau tanggung jawab yang diemban, menunjukkan bahwa mereka sangat setia memegang teguh etika profesi dan menjunjung tinggi kepercayaan yang diberikan kepadanya. Ketika mereka merasa akibat perbuatannya telah menodai kepercayaan masyarakat dan issu yang berkembang bisa mempengaruhi kinerjanya, maka mereka tanpa banyak bicara, tanpa mengundang polemik di media massa, tanpa berusaha membela diri, justru memilih meninggalkan pekerjaan/jabatannya. Bukan untuk lari dari tanggung jawab, bukan! Tapi untuk fokus menyelesaikan masalah yang membelitnya : menjalani proses hukum bila memang harus melalui proses pembuktian secara hukum. Sedangkan kalau kasusnya menyangkut moral, dengan mundurnya pejabat terkait, maka institusinya terlepas dari issu perbuatan tak terpuji.

[caption id="attachment_221014" align="aligncenter" width="465" caption="Kita TIDAK mengenal BUDAYA MUNDUR (foto : republika.co.id)"]

13552208111950394765
13552208111950394765
[/caption]

Lalu bagaimana dengan di Indonesia yang katanya berbudaya adiluhung, punya sopan santun dan tata krama tinggi? Ternyata..., KITA TIDAK MENGENAL BUDAYA MUNDUR! Wacana ini pertama kali ramai dibincangkan sekitar tahun 1994 ketika Soedomo terbukti telah memberikan kattabelletje kepada Eddi Tanzil untuk mendapatkan kredit dari Bapindo, yang kemudian merugikan negara 1,3 triliun, yang sampai sekarang tak jelas kelanjutan perkaranya. Jangan lupa, nilai Rp. 1,3 triliun itu ketika kurs dolar Amerika masih stabil di angkar Rp 2.400,- dan harga beras kualitas baik hanya Rp. 600,- per kilogram.

Saat itu yang paling keras menuntut Soedomo mundur sebagai Ketua DPA adalah Amien Rais melalui kolom-kolomnya di harian Republika. Ketua DPA seharusnya dijabat oleh seseorang yang “agung” dan tak memiliki cela memasukkan maling untuk menggarong bank milik pemerintah. Dan itulah jawabannya : “kita tidak mengenal budaya mundur!”. Di jaman Orde Baru, siapapun pejabat hanya mundur jika Soeharto yang memintanya mundur. Selama Soeharto tak meminta mundur, maka tak perlu risau dengan desakan mundur.

[caption id="attachment_221016" align="aligncenter" width="420" caption="Soeharto pun akhirnya mundur (foto : flickr.com)"]

13552209291710664709
13552209291710664709
[/caption]

Reformasi kemudian membuktikan bahwa desakan publik telah mampu membuat Soeharto “menyatakan mundur” pada 21 Mei 1998. Momen bersejarah : puncak piramida kekuasaan telah mundur. Gerakan reformasi telah mengajarkan bahwa mundur itu bukan sesuatu yang tidak mungkin. Ketika seseorang sudah tak lagi dipercaya, sudah tak lagi dikehendaki, sudah dicibir dan tak lagi punya wibawa untuk memastikan kebijakannya dijalankan, maka mundur adalah jalan terbaik.

Sayangnya..., 14 tahun lebih reformasi berjalan, “mundur” tak kunjung jadi budaya. Pejabat publik yang di-issu-kan bermasalah, kebanyakan masih beretorika untuk mencari pembenar bahwa dirinya tak perlu mundur. Yang jadi Menteri beralasan bahwa mereka dipilih oleh Presiden, jadi hanya Presiden yang  berhak memintanya mundur. Yang duduk di parlemen berdalih dipilih oleh pemilih partainya di dapilnya. Selama parpolnya tak meminta mundur, maka mereka tak perlu mundur.

Tahun lalu, ketika para Menteri Kabinet sedang ketar ketir apakah dirinya termasuk yang dilengser dalam moment reshuffle atau selamat, seorang Menteri justru mengajukan pengunduran diri dari kabinet. Dialah Suharsono Monoarfa, Menpera kala itu. Alasannya : belakangan ini issu perceraiannya telah menjadi konsumsi publik, sehingga ia merasa tidak pantas lagi menjadi pejabat negara. Dari sisi kinerja, Suharsono Monoarfa tidaklah termasuk Menteri yang rapornya merah. Dari sisi hukum, perceraian Pak Menteri dan pernikahannya yang kedua tidaklah melanggar hukum. Ia tidak seperti Aceng Fikri yang sengaja menyembunyikan pernikahannya untuk kemudian sesuka hati menceraikan istri mudanya. Media massa hanya memberi porsi pemberitaan sedikit saja ata pengunduran diri Pak Menteri, publik pun nyaris tak mengapresiasi langkah ini.

[caption id="attachment_221017" align="aligncenter" width="220" caption="Suharsono Monoarfa pengunduran dirinya sepi pemberitaan dan tak ada apresiasi apalagi pujian (foto : id.wikipedia.org)"]

13552209732010372093
13552209732010372093
[/caption]

Kini, hampir 14 bulan kemudian, seorang Menteri yang sudah 1,5 tahun namanya banyak disebut dan dikaitkan dengan proyek-proyek berlumur korupsi (Wisma Atletr dan Hambalang) akhirnya memilih mengundurkan diri setelah KPK mencekalnya dan ia merasa tak mungkin lagi optimal menjalankan tugas-tugas Kementrian. Luar biasa sekali reaksi media massa. Semua memberitakan besar-besaran, diliput semua hal yang terkait dengan aktifitas Pak Menteri, disiarkan berulang-ulang, dibuatlah wawancara opini dari kolega sesama Menteri Kabinet, dari kalangan politisi di parlemen dan dari khalayak. Bahkan esoknya, wartawan berbagai media terus nongkrong di depan rumah dinas sang mantan Menteri, meliput suasana boyongan barang-barang pribadi, di-shoot bagaimana Pak mantan Menteri menggendong putri bungsunya, disiarkan bagaimana Pak mantan Menteri dan keluarganya meninggalkan rumah dinas menuju kediaman pribadi.

Lalu mendadak semua lupa pada PR-PR dan tunggakan tugas yang ditinggalkan si mantan Menteri. Lupa bagaimana prestasi olahraga kita makin merosot selama era kepemimpinannya, sebagai bukti lemahnya pembinaan. Lupa bahwa tenggat waktu yang diberikan FIFA untuk menyelesaikan kisruh PSSI hanya tinggal 3 hari ketika Pak Menteri mengundurkan diri dan belum ada langkah penyelesaian. Mendadak saja, sang Menteri panen puja dan puji, dielu-elukan  karena beliau mundur. Beberapa pejabat dan mantan pejabat datang ke rumahnya memberikan dukungan moril. Lho?! Tersangka korupsi didukung beramai-ramai? Hanya karena mundur setelah dijadikan tersangka? Bukankah sang Menteri sempat berkelit juga pada awalnya? Bukankah ia pernah menyangkal bahwa dirinya hanya melanjutkan kebijakan pendahulunya? Bukankah ia pernah mengaku tak tahu menahu ketika bersaksi di persidangan dan menimpakan semua kesalahan pada anak buahnya, Wafid Muharam?

Memang mantan Menteri yang satu ini adalah mantan juru bicara yang handal dan memiliki perusahaan konsultan politik, konsultan pencitraan yang dikelola 3 bersodara. Jadi tak perlu heran kalau mereka memang akrab dengan media dan pandai menyetir media. Bahkan, Presiden SBY pun secara halus dan tersamar – sesuai dengan karakternya yang santun – menyampaikan pembelaan dan perlindungannya lewat pidato bersayap bahwa “negara wajib menyelamatkan mereka yang tidak punya niat untuk melakukan korupsi, tapi bisa salah di dalam mengemban tugasnya”.

Seolah Presiden hendak mengatakan bahwa Menterinya itu tak sengaja melakukan korupsi. Ia hanya terjebak karena ketidaktahuannya, karena tidak paham dengan prosedur. Karena itu, sebaiknya maafkan saja mereka. Untung saja Bang Samad tak kalah pintar. Ia membalas retorika Presiden dengan ucapan : “Jadi pejabat itu harus cerdas!”.

[caption id="attachment_221018" align="aligncenter" width="565" caption="Kedua adik pak Menteri pun ikut mengadakan jumpa pers yang sudah dipersiapkan dengan baik teksnya dan diliput begitu banyak wartawan (foto : m.tribunnews.com)"]

1355221059846080096
1355221059846080096
[/caption]

Jadi, marilah mulai sekarang kita dorong budaya mundur karena malu. Jangan menjadikan peristiwa mundurnya seorang pejabat publik sebagai peristiwa luar biasa yang perlu dihujani puja dan puji. Boleh saja kita mengapresiasi itikadnya untuk mundur dari jabatan, tapi tak perlu berlebihan memuji orang nya. Seharusnya, dengan moment ini kita justru m endorong pejabat publik lainnya yang namanya sudah ramai dibincangkan di persidangan dan ditulis media massa terkait issu korupsi, agar segera mengikuti jejak koleganya. Jangan lupa, Pak Menteri Muhaimin Iskandar masih bisa tertawa lebar di kursi Menterinya meski sudah lebih setahun namanya diseret-seret terkait kasus suap di Kemenakertrans. Padahal, Menteri yang satu ini juga minim prestasi. Bahkan dalam kasus TKW yang dihukum pancung di Arab Saudi, Pak Menteri nyaris tak muncul ke hadapan publik kecuali ketika sudah lewat 2 minggu.

So.., mulai sekarang, ada Menteri mundur, itu biasa! Ada anggota DPR mundur, itu biasa! Yang luar biasa : kalau sudah digossipkan macam-macam masih juga tak tahu malu mempertahankan kursi jabatannya! Mari kita bangun etika politik yang bermoral. Sebab, ketika kepercayaan publik sudah menipis, wibawa akan tergerus. Kalau wibawa sudah tak ada, bagaimana akan memimpin dengan efektif? Lihat saja kinerja Menteri yang diissukan terlibat korupsi, pasti tidak bagus.

Maka, marilah kita sama-sama menjadi masyarakat yang tak mabuk pencitraan melalui media massa. Jangan kita mudah dininabobokan hanya karena Menteri mundur, kita lupa mengawal kasus hukumnya. Hanya karena ada Menteri yang naik ojek, menyapu taman Monas, mengepel toilet bandara, lalu kita lupa mengukur pencapaian yang semestinya dalam mengelola kementrian yang jadi tanggung jawabnya. Selama kita mudah “gumun” pada tindakan sesaat seperti itu, selamanya dari Pemilu ke Pemilu kita hanya memilih sosok yang pandai mencitrakan dirinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun