[caption id="attachment_189543" align="aligncenter" width="622" caption="(foto by : Ajie Nugroho; from Album K, FB Grup Kampret)"][/caption]
Menteri BUMN yang selalu penuh ide segar dan gebrakan baru, Dahlan Iskan, rupanya akhir-akhir ini sedang berupaya mengapresiasi pekerja wanita di BUMN. Entah apa alasannya, Dahlan menilai wanita dianggap sosok yang mampu meningkatkan kinerja BUMN. Peran wanita dinilai mampu menyinkronkan pemikiran-pemikiran feminin. Itu sebabnya Dahlan galau jika banyak wanita mengundurkan diri dari BUMN karena melahirkan anak. Ia menilai biasanya perempuan yang baru memiliki anak secara tidak langsung fokus untuk mengurus anaknya dan berhenti bekerja. Seperti yang dikutip Kantor Berita Antara.
Dahlan menghimbau agar BUMN menyediakan ruang perawatan bayi. Gerakan ini untuk mempertahankan kinerja perusahaan supaya perempuan yang memiliki bayi dan bekerja di BUMN bisa terus bekerja sembari mengurus anak. (Sumber : Antara-1). Selain itu, Dahlan juga mempertimbangkan agar wanita karir yang bekerja di BUMN bisa mendapat cuti hamil selama 1 hingga 2 tahun, namun tanggungan sendiri. (Sumber : Antara-2).
Bagi anda yang belum mengetahui apa makna “tanggungan sendiri”, ada baiknya saya jelaskan agar tak menimbulkan miss-perception. Cuti Diluar Tanggungan Perusahaan (CDTP) adalah cuti yang dimungkinkan diberikan kepada pekerja karena beberapa alasan khusus. Cuti semacam ini diberikan kepada pekerja dengan beberapa persyaratan khusus. Misalnya telah bekerja di perusahaan tersebut selama kurun waktu tertentu – umumnya minimal 3 sampai 5 tahun terus menerus – dengan kondite yang tidak tercela dan prestasi kerja yang baik. Pekerja diperbolehkan cuti untuk jangka waktu yang cukup panjang, tetapi selama cuti perusahaan tidak membayarkan hak-haknya (meliputi gaji dan berbgaai tunjangan, termasuk tidak membayarkan premi Jamsostek, asuransi kesehatan dan iuran/premi dana pensiun).
Tidak sembarangan cuti ini diberikan. Alasannya haruslah tepat. Misalnya seorang pekerja wanita yang harus mengikuti suaminya yang pindah tugas ke kota/wilayah lain selama jangka waktu tertentu dan dipastikan akan kembali ke kota itu setelah penugasannya selesai. Atau seorang wanita yang hamil dan oleh dokter yang berkompeten dinyatakan mengalami “lemah kandungan” sehingga selama hamil harus bed rest total, maka cuti hamil dan melahirkan yang hanya 3 bulan tak akan mampu menutupi kebutuhan istirahatnya, maka istirahat bed rest selama hamil itu bisa dikompensasi menjadi CDTP. Atau seorang pekerja yang terpaksa harus merawat orang tuanya yang sakit parah dan dirawat di RS – ini salah satu syarat, sebab jika hanya di rawat di rumah sendiri, tidak bisa diajukan CDTP – boleh meminta ijin untuk CDTP.
Atau alasan lain, misalnya karena pekerja tersebut mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan dari lembaga lain (bukan perusahaan tempatnya bekerja), dimana tempat pendidikannya berada di kota lain atau bahkan di luar negeri, dia bisa mengajukan CDTP. Termasuk juga melanjutkan pendidikan atas biaya sendiri. Umumnya, CDTP ini berlaku di BUMN dan tidak di perusahaan swasta. Dikabulkan atau tidaknya permohonan CDTP sepenuhnya menjadi hak prerogatif perusahaan. Karena itu HRD harus punya “intel” untuk menelisik kebenaran alasannya. Saya pernah merekomendasikan Direktur kami untuk menolak permohonan CDTP dari seorang pekerja, karena kebetulan saya tahu alasannya untuk melanjutkan pendidikan hanya akal-akalan untuk mencari kerja di tempat lain, disamping itu saya memiliki banyak bukti dan catatan tentang track record disiplin dan kinerja karyawan tersebut yang amburadul.
[caption id="attachment_189545" align="aligncenter" width="460" caption="(sumber foto : vemale.com)"]
Nah, kembali ke topik : cuti hamil 1 – 2 tahun bagi wanita karir di BUMN dengan tanggungan sendiri. Benarkah seserius itu sudah diperlukan? Kalau ia, sudah tepatkah diimplementasikan di negara kita yang mentalitas pekerjanya masih jauh dari negara lain yang memberikan previlege serupa? Mari kita kaji satu persatu.
Pengalaman saya bekerja di BUMN selama 17 tahun kurang 2 bulan dan sebagian besar saya habiskan di Divisi HRD, sepengetahuan saya sangat jarang karyawati yang mengundurkan diri usai melahirkan. Bahwa kemudian kinerja mereka menurun selama periode anaknya usia 0 -2 tahun, memang banyak yang begitu, sebab pada kurun waktu itu si bayi sering sakit dan biasanya ibunya kerap mengajukan cuti, bahkan sampai melebihi hak cuti tahunan yang hanya 12 hari. Bagi sebagian orang, bekerja di BUMN masih jauh lebih enak ketimbang di swasta, itu sebabnya tak mudah memutuskan berhenti hanya dengan alasan punya bayi.
Sebenarnya, cuti hamil yang dijamin oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan selama 3 bulan itu mencakup cuti hamil dan melahirkan. Yaitu 1,5 bulan sebelum waktu melahirkan sesuai prediksi dokter dan 1,5 bulan pasca tanggal kelahiran. DI BUMN tempat saya bekerja dulu, aturan ini benar-benar dipatuhi. Tapi saya tahu di banyak perusahaan aturan ini diterapkan suka-suka. Banyak pekerja wanita yang baru mengambil cuti seminggu sebelum melahirkan atau bahkan 3 hari sebelum tanggal kelahiran. Alasannya supaya lebih lama mengurus bayinya. Padahal, filosofi dari cuti hamil dan melahirkan adalah memberikan istirahat yang cukup bagi wanita yang hamil tua. Bukankah wanita yang hamil 8 bulan sudah sangat kepayahan untuk dipaksa bekerja? Sayangnya, maksud baik ini justru di-salah kaprah-kan oleh kaum wanita sendiri.
Lalu bagaimana dengan usulan Pak DI untuk memberikan cuti hamil antara 1 – 2 tahun, meski dengan tanggungan sendiri? Apakah cukup efektif? Lalu bagaimana kalau setelah menjalani CDTP selama 2 tahun, kemudian kembali bekerja dan setahun kemudian hamil lagi anak berikutnya? Kalau hal ini terulang sampai anak ke-3, apakah pemberian CDTP ini bukannya malah menjadi kemanjaan dan justru tidak memicu kinerja?
[caption id="attachment_189546" align="aligncenter" width="600" caption="(sumber foto : beritaonline.web.id)"]
Sebagai pembanding, saya akan berikan gambaran di Jepang. Sistem perundangan di Jepang sangat melindungi hak-hak wanita bekerja. Sejak April 1986 ada UU Kesetaraan Hak antara Pria dan Wanita dalam bekerja (Equal Employment Opportunity Law). Kebanyakan perusahaan Jepang merekrut pekerja wanita dalam suatu sistem yang terpisah dan menugaskan mereka sebagai asisten bagi pekerja pria. Sebab banyak pekerja wanita yang kemudian keluar/ berhenti bekerja selama beberapa tahun karena alasan menikah atau karena beberpa sebab lain.
Sebenarnya wanita bekerja di Jepang mendapat berbagai macam previlege yang tidak didapat pekerja pria. Begitu dinyatakan hamil oleh dokter, seorang pekerja wanita berhak atas ”diskon” jam kerja tanpa pengurangan upah sedikitpun. Diskon yang saya maksud : mereka boleh berangkat dari rumah selepas rush hour, karena naik kereta pada saat rush hour memang membahayakan bagi wanita hamil. Jadi kalau rush hour berakhir jam 9.00 sementara perjalanan dari rumah ke kantor butuh waktu 2 jam, maka wanita tersebut boleh tiba di kantor setelah jam 11.00. Pulangnya pun bisa 2 jam lebih awal agar tak terjebak rush hour petang harinya.
Cuti hamilnya sampai 6 bulan. Bahkan kalau sang bayi membutuhkan perawatan khusus, si Ibu bisa cuti sampai bayinya berumur setahun. Wanita yang memiliki anak usia balita, bisa mendapatkan berbagai macam hak cuti lainnya. Juga hak cuti untuk mendampingi anaknya memulai masuk sekolah pada saat si anak berusia 6 tahun. Bahkan di Jepang pun dikenal istilah cuti untuk merawat orang tua yang sudah lansia dan menderita sakit. Semuanya itu diberikan tanpa mengurangi gaji dan tunjangan lainnya. Wah, enak sekali ya jadi wanita bekerja di Jepang. Tapi kenapa mereka enggan memanfaatkannya dan justru memilih resign?
Pada salah satu kesempatan kuliah tamu di sekolah saya, diundang praktisi HRD dari perbankan. Seorang teman saya bertanya : di negara lain umumnya pekerja bank didominasi wanita, kenapa di Jepang tidak? Manager HRD itu menjawab : umumnya wanita Jepang ”malu hati” dengan sendirinya kalau dimanjakan begitu. Mereka ”sungkan” menerima banyak hak istimewa, sementara kontribusinya tak lebih banyak dibanding pekerja pria. Tak ada yang menyuruh mereka keluar, tapi para wanita itu sendiri yang memilih mengundurkan diri, karena tahu diri bakal sering tidak masuk. Bahkan walaupun pihak perusahaan bersedia menerimanya kembali bekerja setelah melahirkan, mereka lebih memilih kembali bekerja setelah anak-anaknya bisa mandiri. Meski konsekwensinya hanya mendapatkan pekerjaan paruh waktu (part time) atau jadi pekerja kontrak saja.
[caption id="attachment_189547" align="aligncenter" width="650" caption="(sumber foto : www.kehamilansehat.net)"]
Jadi selain faktor budaya dalam keluarga Jepang yang menempatkan ”wanita kodratnya melayani keluarga”, juga ada budaya ”malu” menerima hak lebih banyak kalau sekiranya tak bisa memberikan kontribusi lebih banyak. Jumlah wanita bekerja terbanyak ditempati oleh kelompok usia 25 -29 tahun, yang pada tahun 1975 hanya 42,6%, pada tahun 2003 telah meningkat menjadi 73,4%. Ini prosentase tertinggi dalam tingkat partisipasi wanita bekerja di semua kelompok umur. Bila dicermati, pada usia tersebut, seorang wanita telah menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat sarjana dan umumnya mereka belum memasuki usia pernikahan bagi wanita Jepang modern.
Prosentase tersebut terus mengalami penurunan pada wanita kelompok usia 30 tahun ke atas dan grafiknya baru meningkat lagi pada kelompok usia 40 – 44 tahun (70,3%) dan kelompok usia 45 – 49 tahun (72,5%). Apabila rata-rata wanita Jepang modern baru memasuki gerbang rumah tangga pada usia 30 tahun, maka pada usia 45 tahunan anak-anak mereka sudah memasuki usia remaja dan sudah relatif mandiri, sehingga si ibu merasa aman untuk meninggalkan rumahnya dan kembali bekerja. Bahkan prosentase jumlah wanita paruh baya (di atas 50 tahun) yang bekerja jumlahnya mencapai 58,9%. Jumlah ini hampir sama dibanding prosentase rata-rata wanita bekerja di usia 30 – 39 tahun yang hanya berkisar 60%-an saja.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa stereotype peran ibu sebagai “pengatur rumah tangga” dan tempatnya di dalam rumah, masih belum sepenuhnya pupus dalam norma keluarga Jepang modern. Meskipun banyak wanita Jepang sudah mengenyam pendidikan modern sampai tingkat pendidikan tinggi, namun berdasarkan data “Employment Status Survey” yang dikeluarkan oleh Ministry of Public Management. Home Affairs. Post and Telecommunications, menunjukkan komposisi wanita bekerja yang lulusan sarjana dan pasca sarjana hanya 12,3%. Hal ini jauh lebih kecil dibanding wanita lulusan sekolah diploma atau sekolah keahlian lainnya, yaitu 26,9%. Bahkan akan lebih kecil lagi bila dibandingkan dengan wanita bekerja lulusan SMA dan sederajat yang jumlahnya mencapai 48,4%. Bandingkan dengan komposisi pekerja pria yang lulusan sarjana dan pasca sarjana angkanya mencapai 31,5% - hampir 3 kali lipat prosentase pekerja wanita untuk tingkat pendidikan yang sama.
Dari fakta ini bisa disimpulkan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan wanita Jepang, tidak menjadi jaminan bahwa mereka akan menekuni karirnya di dunia kerja. Sebab umumnya mereka yang menyelesaikan studinya sampai jenjang sarjana dan pasca sarjana, maka tak lama kemudian mereka akan memasuki gebang pernikahan, yang menuntut mereka menjadi ibu rumah tangga. Sedangkan wanita lulusan SMA masih punya peluang lebih panjang untuk bekerja sebelum mereka menikah.
[caption id="attachment_189548" align="aligncenter" width="470" caption="(foto by : Arif Subagor; sumber : FB Grup Kampret)"]
Jika aturan semacam di Jepang diberlakukan di Indonesia – artinya wanita hamil dan melahirkan serta merawat anak mendapat begitu banyak previlege – apakah ada jaminan aturan itu tak diakali dan justru disalahgunakan? Misalnya, selama kurun waktu itu justru cari kerja sambilan dan niat untuk memberikan cuti agar fokus mengurus anak justru terabaikan. Masalahnya, mentalitas bangsa kita masih belum seperti bangsa Jepang yang tingkat rasa “malu”nya tinggi. Rasa malu itulah yang kemudian membuat mereka tahu diri untuk mundur meski diberi keistimewaan.
Ketimbang memberikan cuti sampai 1 -2 tahun, meski sifatnya CDTP, untuk saat ini saya lebih memilih mengusulkan agar BUMN membuka kesempatan bagi wanita usia di atas 35 tahun untuk kembali bekerja, melalui jalur rekrutmen. Jadi mereka yang memilih mengundurkan diri pasca melahirkan, silakan saja. Biarkan mereka fokus dan konsentrasi dulu mengurus anaknya. Bahkan kalau mau hamil lagi pun tak masalah. Kelak jika anak-anaknya sudah sekolah dan mereka tak merencanakan punya anak lagi, baru kembali melamar kerja. Selama bisa lulus tes kompetensi dan pengalaman kerja mereka di waktu lalu dinilai cukup menunjang, kenapa tidak? Menerima pekerja wanita melalui sistem rekrutmen yang fair, lebih tidak menimbulkan kecemburuan di kalangan pekerja, ketimbang memberikan hak istimewa cuti sampai 1 – 2 tahun. Semoga Pak Dahlan mempertimbangkan banyak faktor sebelum menjalankan gagasannya, termasuk masalah mentalitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H