[caption id="attachment_168072" align="aligncenter" width="648" caption="ki-ka : aku, Marnie Davies, Siti, Ibu Armiah, 2 tetangga yg merangkap "jubir" dan paling kanan Mas Ahmad Mutasim"][/caption]
PERJALANAN KE KAMPUNG CIPENDEUY
Berangkat jam 9 dengan naik Xenia, perjalanan cukup lancar. Mas Ahmad duduk di depan samping sopir. Saya, Marnie dan Bryan duduk di jok tengah. Sedang Mas Otong bersama barang bawaan di jok belakang. Kami sempat melewati jembatan gantung ala Indiana Jones, yang sempat membuat Bryan langsung berseru baru kali itu dia melihat jembatan macam itu bukan di film. Seisi mobil tertawa mendengarnya.
Jam 12.15, kami memutuskan istirahat sejenak setelah menemukan sebuah masjid di pertigaan jalan yang cukup ramai. Mobil kami parkir di halaman Indomart di seberang jalannya, lalu kami menumpang makan bekal kami di sebuah warung. Hanya membeli kopi dan gorengan, kami bisa duduk dan makan di situ. Sayangnya, saat sebagian dari kami masih sholat, hujan turun sangat deras, sepatu saya basah kuyup di teras masjid. Karena kami mempredikasi hujan bakal lama dan kami masih harus menggotong barang bawaan sebanyak itu menuju kampung Siti, maka Mas Ahmad memutuskan membeli jas hujan ponco untuk kami berenam di Indomart. Jas hujan sekali pakai. Sekitar jam 13.25 kami melanjutkan perjalanan.
Sepanjang jalan yang kami temui hanya hutan kelapa sawit berkilo-kilo meter. Lepas dari hutan sawit, ganti hutan tanaman karet. Lewat hutan karet, kembali deretan hutan kelapa sawit. Akhirnya kami sampai di lokasi kampung Siti dan 2 kampung lainnya sekitar jam 15.20-an. Mobil terpaksa diparkir di halaman sebuah rumah, sebab menuju ke kampung Siti harus melewati jembatan dari kayu gelondongan dilanjutkan jalan kaki sekitar 2,5 km dengan kondisi jalan naik turun yang berbatu-batu tajam dan berlumpur tebal pasca hujan.
[caption id="attachment_168073" align="aligncenter" width="300" caption="2 Relawan hebat ini langsung mengambil bagian terberat dari bawaan kami"]
Kami berbagi barang bawaan. Mas Ahmad memikul bakul dan sayuran serta aneka dagangan yang beratnya minta ampun deh. Mas Otong menggendong sekarung beras 20 kg di pundaknya. Saya menggendong ransel isi macam-macam hadiah dan oleh-oleh untuk Siti, di tangan kiri membawa tas dan baju seragam Siti. Bryan dan Marnie membawa tas sekolah, alat tulis, 2 kardus kornet dan sembako lainnya. Sopir kami tinggal di lokasi parkiran agar dia bisa beristirahat.
Seperti sudah saya duga, Bryan jadi tontonan sepanjang jalan dan diteriaki anak-anak kampung sambil tertawa-tawa. Kami harus ekstra hati-hati melangkah agar tak tergelincir dan jatuh. Sepatu saya sempat terbenam 2-3 kali di lumpur dan sulit diangkat. Tak terbayang betapa beratnya Mas Ahmad dan Mas Otong dengan bawaannya. Tapi mereka tetap melangkah dengan cepat meski keringat berleleran. Semoga Allah mengganti segala kepenatan mereka.
[caption id="attachment_168074" align="aligncenter" width="384" caption="Salah satu remaja putri yang selalu menempel Ibu Armiah"]
JURU BICARA DAN PARA PENONTON DI RUMAH SITI
Setelah 30 menit jalan kaki penuh perjuangan, kami tiba di rumah Siti dan di sana sudah ada banyak tamu dari rombongan Facebook dan Kaskus. Kebetulan mereka sudah berpamitan pulang. Gantian kami yang masuk. Di dalam selain Ibu Armiah, Ibunda Siti, sudah ada banyak sekali orang duduk mengitari ruang tamu rumah Siti yang tak bisa dibilang luas. Belum lagi para ibu dan remaja putri yang berdiri berdesakan di depan pintu yang menghubungkan antara ruang tamu dan dapur.
Kami disambut oleh seorang lelaki muda – saya taksir umurnya pertengahan 30-an – yang selama pembicaraan tampak mendominasi forum. Ada juga Pak Heri, lelaki paruh baya yang memang sudah dikenal baik oleh Mas Ahmad saat dia datang untuk survey. Pak Heri ini tetangga yang tinggal persis di sebelah rumah Siti dan sering menjenguk keluarga Siti. Beliau pengrajin anyaman bambu yang tekun dengan profesinya, meski kreatifitas hasil karyanya dihargai sangat murah. Istri Pak Heri sudah 4 tahun lumpuh. Saya akan angkat kisah Pak Heri ini di tulisan lain.
Hanya sebentar Pak Heri menemui kami, lalu ia undur diri. Kini pria muda itulah yang lebih banyak jadi “juru bicara” Ibu Armiah. Saya sebut juru bicara, sebab ia bukannya jadi penterjemah, tapi ia menjawab semua pertanyaan saya yang saya tujukan pada Ibu Armiah, sebelum Ibu Armiah sempat membuka mulut. Ini membuat kami kecewa.
[caption id="attachment_168075" align="alignleft" width="300" caption="Penyerahan 2 dos kornet Super Qurban masing-masing isi @ 9 kaleng"]
Saya sengaja memperlambat tempo bicara saya tapi mengeraskan volume untuk mengatasi suara gaduh yang mengelilingi rumah Siti. Maksud saya, supaya Bu Armiah punya cukup waktu untuk mencerna ucapan saya. Sebab ia sebenarnya paham bahasa Indonesia, hanya saja sulit untuk menjawab dalam bahasa Indonesia. Marnie yang duduk di samping saya dan Mas Otong yang posisinya di samping Mas Ahmad, sesungguhnya sudah siap jadi penterjemah. Tapi itulah, apapun yang saya tanyakan, tetangganya itulah yang menjawab. Juga seorang remaja putri – yang menurut Mas Ahmad dia sudah pernah kerja di Jakarta – yang duduk di sebelah Bu Armiah, diapun selalu mendahului Bu Armiah menjawab pertanyaan saya.
Ketika saya tanya berapa jumlah bantuan yang sudah diterima Ibu Armiah yang di transfer melalui rekening Pak Tono, lelaki muda dan remaja putri inilah yang dengan lantang menjawab “lima juta!”. Begitupun ketika saya tanya apa saja bantuan dari pihak stasiun TV. Ketika pertanyaan penting saya ajukan : apakh Bu Armiah punya beban hutang? Dengan malu ia menjawab “punya”. Lalu saya jelaskan bahwa kami ingin ke depan Bu Armiah melangkah dengan tenang tanpa terbebani hutang, sehingga hasil berjualan sayuran sepenuhnya bisa untuk biaya hidup. Saya terus terang berapa hutangnya.
[caption id="attachment_168076" align="alignleft" width="300" caption="Siti menimang-nimang kornet dan memutar-mutar kalengnya"]
Semula Bu Armian menjawab “tiga ratus” (Rp. 300.000,-). Tapi ketika saya minta sekali lagi ia mengingat-ingat jumlah hutangnya, kedua orang itu berbicara dalam bahasa setempat dan Bu Armiah menjawab “tiga ratus enam puluh”. Saya minta Mas Ahmad memberikan Rp. 400.000,- dalam pecahan 50 ribuan. Sebab saya pikir hutangnya terpecah-pecah di banyak pihak. Ternyata, begitu uang Rp. 400.000,- saya berikan padanya, sebagian besar uang itu langsung diberikan pada lelaki muda yang dihadapannya yang sejak tadi menjadi juru bicaranya. Rupanya dia “kreditor” terbesar Bu Armiah.
Sayang sekali, ketika saya tanya apa Bu Armiah bisa naik sepeda onthel, ternyata ia tidak bisa sama sekali. Aduh, kami jadi tepok jidat deh! Mana mungkin kulakan ke pasar jalan kaki? Padahal kami sudah mendesain sepeda onthel yang dilengkapi kerangjang di depan dan kiri-kanan belakang, untuk ransportasinya ke pasar. Kalau naik ojek berap ongkosnya? Sekali lagi yang menjawab adalah si “jubir”. Katanya Rp. 20.000,- sekali jalan, jadi Rp. 40.000,- PP. Walah, mana mungkin bisa untung? Dagang sayuran di kampung kan untungnya tipis, bisa-bisa malah tombok untuk bayar ojek.
[caption id="attachment_168077" align="alignleft" width="300" caption="Siti mencoba sepatu barunya. Sepatu baru pertama yang dimilikinya"]
Saya sampaikan ke Bu Armiah, sebenarnya rencana kami membinanya berjualan sayuran. Jika dalam 1-3 bulan berjualan sayuran ternyata bisa berjalan baik, akan kami tambah modalnya agar ia bisa nambah berjualan ikan. Kalau terus bergulir, 3 bulan kemudian mungkin akan kami bukakan warung kelontong di depan rumahnya. Memang kami sengaja tidak menyalurkan seluruh bantuan donatur dalam bentuk tunai sekaligus. Kemarin kami hanya memberikan Rp. 500.000,- untuk modal berjualan sayuran sebulan ke depan. Sebab semua kebutuhan hidup sudah kami penuhi untuk 2 bulan ke depan. Pun juga sudah banyak bantuan tunai yang diberikan langsung oleh pihak lain. Kami takut pemanfaatannya kurang maksimal. Apalagi setelah melihat kepolosan, keluguan dan – maaf – “kebodohan” Bu Armiah, yang sangat rawan dimanfaatkan pihak lain yang jeli membidik peluang Bu Armiah yang kaya mendadak.
[caption id="attachment_168079" align="aligncenter" width="384" caption="horee,aku punya seragam baru,bisa ganti baju neh, seragamku sudah lusuh. Jilbabnya juga ada 3 neh, bisa buat ganti jilbab sekarang yg cuma satu2nya. Terimakasih dermawan Kompasianers"]
KECERIAAN SITI
Siti sendiri ternyata tetaplah seorang bocah cilik yang polos. Saat kami tiba di sana ia digendong pengunjung lain. Saat kami menunjukkan padanya oleh-oleh kami, Siti seperti terpana. Saya membimbingnya membuka bingkisan pertama : alat-alat sekolah. Siti langsung terbelalak melihat serutan pensil, sepertinya itu benda aneh baginya. Saya mengajarinya cara menyerut pensil. Siti juga menimang-nimang kotak crayon dengan sorot mata berbinar-binar. Juga buku-buku tulis dan buku gambar dengan cover lucu-lucu. Entah seperti apa buku tulis milik Siti satu-satunya.
Saat saya memintanya membuka bungkusan kado berisi sepatu, Siti girang bukan kepalang. Ia langsung mencobanya dan membawanya berjalan di ruangan itu. Selanjutnya giliran bingkisan baju seragam, kembali Siti terbelalak melihat 3 stel seragam baru. Kalau tas sekolah, rupanya ada tamu tadi pagi yang sudah membawa tas sekolah. Tapi yang membawa peralatan sekolah komplit, sepatu dan seragam memang baru kami. Terharu rasanya melihat sorot bahagia di mata Siti. Mungkin baginya ini seperti mimpi, menerima bingkisan kado sebanyak itu. Berkali-kali saya peluk dia, saya pangku dan saya ciumi. Yang lain pun berebutan berfoto dengan Siti.
[caption id="attachment_168080" align="aligncenter" width="384" caption="Duuuh, alat-alat tulis ini bagus-bagus dan lucu2 ya, aku sampe bingung. Jadi tambah semangat sekolah neh. Terimakasih para donatur sudah membuatku tersenyum ceria"]
Lucunya, saat saya berikan 2 kotak berisi agar-agar dan jelly beraneka warna dan bentuk, Siti langsung membagikannya ke anak-akan kecil yang ada di ruangan itu. Setelah semua kebagian, ia berlari keluar dan membagikan pada teman-temannya yang mengintip dari luar rumah. Masya Allah, saat ia mendapat kelebihan makanan, Siti justru mendahulukan membagi pada teman-temannya, sampai ia sendiri lupa belum mengambil, kalau saja Ibunya tak menyisihkan sepotong untuk Siti. Begitupun setoples cemilan anak-anak, langsung dibuka Siti dan diberikannya pada anak kecil di sampingnya. Siti..., sungguh mulia hatimu, Nak!
Saat memberikan bantuan 2 dos kornet Super Qurban, Mas Otong harus mengajari Ibu Armiah bagaimana cara membuka kalengnya. Setelah semua bantuan diberikan dan sekali lagi berpesan bahwa kami akan memanau perkembangannya berdagang sayuran, sekaligus menekankan bahwa sebakul besar sayuran yang kami bawa ini adalah modal awal untuk memulai berjualan besok, akhirnya kami berpamitan pulang.
[caption id="attachment_168081" align="alignleft" width="300" caption="Siti mengenakan kaos baru dan tas dari Rumah Zakat. Kini Siti jadi siswa program Beasiswa Ceria"]
Tak lupa kami mampir sebentar ke rumah Pak Heri di samping rumah Siti, untuk menjenguk istrinya yang sakit lumpuh 4 tahun. Di kamar yang gelap karena tak ada lampu, kami mendapati istri Pak Heri duduk berselonjor di kasur tipis yang di gelar di lantai. Kami juga melihat benda-benda kerajinan bambu kreasi Pak Heri. Pihak Rumah Zakat akan mengundang Pak Heri ke Cilegon selama seminggu untuk memberikan pelatihan ketrampilan bagi anak-anak binaan Rumah Zakat. Kami sempat memberikan bantuan Rp. 1.000.000,- untuk Pak Heri, untuk bantuan biaya berobat istrinya dan modalnya membuat kerajinan. Kisah Pak Heri akan saya tulis tersendiri.
Dalam perjalanan pulang, saya dan Mas Ahmad serta Mas Otong mendiskusikan apa yang kami lihat, dengar dan rasakan selama di rumah Siti. Terus terang kami kecewa dengan kehadiran para “juru bicara” yang mendominasi pembicaraan. Mereka tidak bertindak sebagai penterjemah – yang tidak kami perlukan sebab Marnie dan Mas Otong bisa bahasa Sunda – tetapi justru mendahului Ibu Armiah menjawab. Sepertinya mereka yang lebih tahu kondisi bantuan yang diterima Ibu Armiah, berapanya dan dari pihak mana. Padahal, menurut Mas Ahmad, ketika ia dan Pak Zainuddin survey hari Jumat dan Sabtu, lelaki muda itu sama sekali tak terlihat. Bahkan tidak juga saat waktu-waktu sholat jamaah di masjid. Lucunya, justru lelaki jubir inilah yang berpesan pada kami : “Sering-sering ya ke sini, jangan kapok-kapok”. Aduh!
[caption id="attachment_168082" align="alignleft" width="300" caption="Bryan Davies dan istrinya, Marnie. Terpana melihat rumah-rumah di sana"]
Yang justru kami ketahui sebagai orang yang dekat dengan keluarga Siti adalah Pak Heri dan guru mengaji Siti. Rumah Pak Heri persis di samping rumah Siti dan rumah guru mengajinya di depan rumah Pak Heri. Mereka berdua inilah yang justru tahu keseharian Siti dan Ibunya. Tapi ketika rombongan dari “kota” mulai datang berbondong-bondong dan jelas membawa bantuan, justru orang yang tak biasa dekat tiba-tiba seolah jadi tuan rumah, penerima tamu dan sekaligus humas merangkap juru bicara. Pak Heri dan guru mengaji Siti justru tak tampak ingin menonjolkan diri. Saya sempat menyalami guru mengaji dan istrinya di beranda rumah mereka.
Akhirnya kami berencana untuk datang lagi saat euphoria pemberi bantuan sudah tak lagi membludak seperti sekarang. Paling juga fenomena ini akan berlangsung sebulanan. Selanjutnya kami akan mengundang Ibu Armiah dan Siti ke Cilegon, meski cuma menginap semalam. Di tempat yang jauh dari pengaruh orang lain, kami lebih bisa melakukan pendekatan pada Ibunda Siti. Kami juga agak kuatir dengan masa depan dagangan Ibu Armiah. Dengan kondisi tak punya kemampuan apapun, tak bisa naik sepeda onthel apalagi motor, bisa-bisa kelangsungannya berwirausaha justru bangkrut terkikis ongkos ojek. Kalau dibukakan warung sembako, khawatir malah dihutangi warga.