[caption id="attachment_281665" align="aligncenter" width="543" caption="Iklan mobil murah di Facebook (screenshoot koleksi pribadi)"] [/caption]
Issu seputar mobil murah kian hari kian ramai dan tentu saja makin “seksi”. Sejak dibuka pameran otomotif di JIEXPO tanggal 19 September lalu, baru dibuka 2 hari saja, salah satu ATPM sudah mengklaim mampu menjual 500 unit mobil murah. Dua hari setelahnya, salah satu televisi swasta memberitakan penjualan mobil murah di ajang tersebut – semua merk – telah mencapai 22.000 unit yang dipesan. Sungguh pencapaian kuantitatif yang luar biasa untuk sebuah produk yang termasuk kebutuhan tertier bahkan berkategori mewah, di sebuah negara yang kondisi ekonominya tidak sedang bagus dan warga kelas menengahnya masih sibuk bergelut dengan problematika memenuhi kebutuhan sehari-hari, mengupayakan pendidikan anak-anak mereka dan bermasalah dengan pengobatan berbiaya mahal.
Mobil murah, kata “murah” di belakangnya terkesan ngeledekdi tengah mahalnya beragam komoditi yang justru menyangkut kebutuhan primer dan sekunder. Apa yang masih bisa dikatakan murah dari harga bahan pangan? Awal tahun ini dibuka dengan melonjaknya harga daging sapi sampai sekitar 50% dari harga semula. Kini, melonjaknya harga daging sapi diikuti merangkaknya harga daging ayam 2 – 3 minggu terakhir akibat hukum pasar demand vs supply. Orang yang semula bisa membeli daging sapi, kini beralih pada daging ayam. Tak heran harga jika daging ayam pun naik. Belum lagi mahalnya kedelai akibat melemahnya kurs rupiah terhadap dollar Amerika, sementara bahan baku tahu dan tempe – makanan pokok kedua mayoritas rakyat Indonesia – adalah kedelai impor yang harus ditebus dengan mata uang dollar Amerika. Belum lagi produk pertanian lain yang sangat labil harganya dan cenderung mudah sekali melonjak, semisal bawang merah dan putih serta cabai. Maka, “murah”nya harga mobil seolah meledek keluh kesah masyarakat kebanyakan yang masih berkutat soal mahalnya harga pengisi perut.
[caption id="attachment_281666" align="aligncenter" width="432" caption="3 komoditas pangan pemasok protein yang dibutuhkan rakyat tapi harganya mahal (foto : koleksi pribadi)"]
Benarkah mobil itu murah? Seberapa murahnya? Ternyata memang benar “murah” dibanding harga mobil keluarga yang jadi favorit kelas menengah atas (middle up) yang masih di kisaran 150an –200 jutaan. Mobil yang diklaim ramah lingkungan ini dibandrol harga separuh dari itu. Bahkan, kata salah satu pengunjung pameran yang ditanya media, cukup dengan uang muka Rp. 5 juta saja sudah bisa memesan mobil yang populer dengan sebutan LCGC ini. Di media sosial pun mulai bermunculan iklan mobil murah yang dijual dengan angsuran tak sampai 2 juta per bulan. Ini mengingatkan kita pada fenomena motor murah satu dekade yang lalu.
Sekitar tahun 2000-an, Indonesia diserbu mocin alias motor buatan China yang tiba-tiba saja jadi idola baru masyarakat kelas menengah dan menengah bawah (middle low). Promosi mocin sangat gencar. Pemasarannya pun massive, hampir di semua kota ada dealer mocin, termasuk kota-kota kecil yang mayoritas masyarakatnya golongan menengah dan menengah bawah. Dalam tempo 2–3 tahun mocin merajai pasar motor di Indonesia, sebelum akhirnya mojep (motor buatan Jepang) ikut banting harga dengan mengeluarkan varian baru yang ekonomis dan “murah”, beda tipis dengan harga mocin. Metode pembayaran pun dibuat semakin mudah dan murah. Didukung oleh menjamurnya lembaga pembiayaan, cukup dengan punya uang Rp. 500.000,00 untuk uang muka sekaligus setoran awal, siapapun bisa membawa pulang motor.
Sejak itulah trend menghadiahi anak remaja – bahkan ABG – dengan membelikan motor, menjadi lifestyle baru masyarakat kelas menengah. Banyak orang tua yang membelikan motor anak mereka yang baru lulus SMP bahkan SD, karena memiliki motor sendiri dianggap lebih praktis, efisien dan ekonomis ketimbang berlangganan kendaraan antar jemput sekolah atau naik kendaraan umum. Di beberapa wilayah, profesi tukang ojek pun semakin kehilangan pelanggannya, angkot semakin sepi penumpang. Sementara pada masyarakat kelas menengah bawah, mereka yang bergaji UMK pun masih bisa mengangsur motor dari uang lembur atau uang shift, lalu kalau tiba saat mudik lebaran, motor itupun jadi sarana transportasi ke kampung halaman. Fenomena mudik bermotor ini baru menggejala sekitar tahun 2004an, ketika motor menjadi milik hampir “semua orang”. Jalanan di kota-kota besar pun sehari-hari dipadati motor. Akankah kelak fenomena ini terulang : serupa tapi tak sama, dengan maraknya mobil murah?!
[caption id="attachment_281668" align="aligncenter" width="431" caption="Mendingan mana memberikan insentif bagi petani lokal ataukah membebaskan pajak barang mewah bagi mobil yang hanya menguntungkan ATPM"]
Apa sebenarnya yang membuat mobil ini jadi sedemikian murah? Ternyata, karena ditiadakannya sejumlah bea dan pajak. Mulai dari pembebasan bea masuk suku cadang sampai pembebasan pajak barang mewah (PPn BM). Kalau begini ceritanya, siapa yang tak bisa bikin suatu produk jadi murah? Tapi kebijakan ini jadi semakin aneh dan bertolak belakang dengan gencarnya Pemerintah berupaya mengejar target pendapatan negara dari sektor pajak. Belum sebulan yang lalu ramai diberitakan bahwa ponsel pintar akan segera dikenakan PPn BM karena dianggap termasuk barang mewah – meski faktanya mulai mahasiswa yang anak kos, SPG sampai buruh yang upahnya UMK pun bisa beli ponsel pintar. Pengenaan PPn BM pada ponsel pintar ini tentu akan membuat harga ponsel pintar melonjak drastis. Okelah kalau tujuannya untuk meningkatkan pendapatan negara dan peruntukannya untuk pembangunan juga. Tapi kenapa di sisi lain, mobil yang jelas termasuk barang mewah, justru dibebaskan pajak-pajaknya? Aneh bin ajaib bukan?!
Berapa potensi kerugian negara dalam setahun akibat hilangnya pendapatan dari sektor pajak otomotif? Belum lagi, jika mobil murah ini menggerus pangsa pasar mobil kelas 150 – 200 jutaan, sama seperti ketika mocin menggerus pasar mojep. Maka makin besarlah potensi kerugian negara. Jika pada ponsel pintar saja Pemerintah seakan “ogah rugi” dan akan membebankan PPn BM, impaskah itu dengan penghapusan pajak bagi mobil murah? Ponsel pintar yang “pasaran” alias yang banyak dibeli masyarakat harganya berkisar 1,5 – 2 jutaan, sedangkan mobil murah yang sekarang ramai dipasarkan harganya berkisar 75 – 100 jutaan. Ini artinya 50x lipat dari harga ponsel pintar. Kalau dalam tempo 5 hari pameran saja ada 22.000 unit mobil murah yang terjual, setidaknya perlu ada 1,1 juta unit ponsel pintar yang terjual untuk menutup potensi hilangnya PPn BM. Itu sekedar asumsi sederhana kalau prosentase PPn BM-nya terhadap harga pokok barang dianggap sama.
[caption id="attachment_281671" align="aligncenter" width="312" caption="Iklan billboard raksasa ini sekarang sudah ada di kota selain Jakarta"]
Jadi, apa sebenarnya yang melatari pertimbangan para pengambil keputusan sebelum merilis kebijakan yang sangat berpihak dan menguntungkan ATPM ini? Bukankah laris manisnya mobil murah keuntungannya dinikmati ATPM? Sedangkan negara justru “merugi” karena harus merelakan pendapatan dari PPn BM melayang? Bonny Hargens, pengamat politik dari UI mengingatkan : ketika Pemerintah begitu ngotot mendukung kebijakan bail out bank Century –sampai menskenariokan kondisi “berdampak sistemik” – itu terjadi tahun 2008, setahun jelang Pemilu dan Pilpres 2009. Pasca Pilpres, rakyat baru tahu bahwa kebijakan itu merugikan negara Rp. 6,7 trilyun. Kini, 2013, setahun jelang tahun politik 2014, tampak nyata Pemerintah ngotot bin ngeyel membela mati-matian kebijakan mobil murah. Sama dan sebangun konstruksinya, bukan?! Tak ada makan siang gratis. Kalau keuntungan ATPM itu tak dinikmati negara, maka siapakah yang akan kebagian?
Kini, kebijakan itu mulai ramai dibincangkan dan dipertanyakan. Beberapa politisi di Senayan mulai menyoal ada kepentingan politik apa di balik kebijakan mobil murah. Dan, para politisi dari partai pendukung Pemerintah pun jadi tampak konyol dengan pembelaan mati-matian yang sebenarnya lemah argumentasinya. Belum ada satupun argumen yang bisa menunjukkan bahwa negara diuntungkan dengan kebijakan ini, baik untung secara materiil maupun immateriil. Apalagi sanggahan bahwa mobil murah tak bakal membuat macet jalanan, sama sekali tak didukung penjelasan logis. Belajar dari menjamurnya motor sejak era motor murah pasca era mocin, tampaknya sanggahan itu akan tidak terbukti kebenarannya.
Kalau semula hanya Jokowi yang keberatan dengan mobil murah, lalu disusul koleganya sesama Gubernur dari PDIP : Ganjar Pranowo, yang menolak mobil murah merambah Jawa Tengah, kini Walikota Bandung, Ridwan Kamil bahkan Soekarwo, Gubernur Jawa Timur terpilih yang didukung Demokrat pun ikut menolak mobil murah. Alasan Ridwan Kamil : dirinya justru sedang mengajak warga Bandung untuk naik angkutan umum ketimbang naik mobil pribadi. Keberatan Pakde Karwo pun tak jauh-jauh dari kekhawatiran bakal makin macetnya jalanan di tengah sulitnya mengembangkan infrastruktur jalan. Tak heran, Jawa Timur adalah propinsi padat penduduk dan beberapa kota di sana sedang bertumbuh menjadi kota dengan jumlah penduduk middle up yang lumayan banyak. Selain Surabaya yang sudah jadi kota metropolis, ada Sidoarjo, Mojokerto, Malang, Jember, Kediri, Gresik dan Lamongan, kota-kota pusat industri dan pendidikan.
[caption id="attachment_281672" align="aligncenter" width="485" caption="CEOO Nissan Motor Company saat diwawancarai khusus oleh Dalton Tanonaka di acara khusus peluncuran Datsun"]
Tak salah jika kebijakan ini mengundang banyak tanya. Apalagi sejak awal 2012 ketika BBM tak jadi naik, Pemerintah sudah gembar gembor soal kebijakan penghematan energi tak terbarukan dan sempat ada wacana menggunakan BBG. Hanya saja saat itu terkendala pengadaan konverter – yang kabarnya saat itu akan segera diproduksi massal dan dipasarkan kepada para pemilik mobil pribadi. Lho, kok sekarang malah menggencarkan pemakaian mobil pribadi meski – katanya – tidak boleh memakai BBM bersubsidi, tetap saja mobil murah ini akan menambah konsumsi BBM (energi tak terbarukan) bukan? Yakinkah Pemerintah mampu melarang pemilik mobil murah membeli BBM subsidi? Sedangkan mobil mewah yang banyak berkeliaran di kota-kota besar saja masih sering kepergok minum premium di SPBU, apalagi yang pakai mobil murah. Nanti dalihnya begini : kami cuma mampu beli mobil murah, masa disuruh beli bensin mahal? Ini jadi ibarat demam membeli ponsel pintar tapi tak mampu beli pulsa yang memadai untuk biaya langganan internetnya. Akibatnya, ponsel pintar pun cuma bisa sms dan nelpon murah ke sesama operator. Jangan-jangan nanti jatah BBM subsidi habis karena bocor ke tanki-tanki mobil murah.
Ini kebijakan transaksional, kata beberapa politisi. Hmm.., bisa jadi..., kita hanya perlu menunggu sampai usai hiruk pikuk tahun politik 2014. Yang jelas, saat ini yang bertepuk tangan adalah ATPM. Promosi gencar sudah mereka siapkan. Nissan Motor Company bahkan membeli slot siaran di Metro TV. Dimulai dari liputan para petinggi Nissan Motor Co,Ltd. yang sowan kepada SBY, lalu peluncuran produk Datsun yang akan dibandrol pada harga di bawah Rp. 100 juta, wawancara dengan CEO Nissan tentang target mereka untuk merebut 60% pangsa pasar mobil di Indonesia, sampai Head of Datsun Business Unit yang memaparkan detil produk unggulan mereka yang katanya didesain khusus untuk kelas menengah Indonesia. Cukup masuk akal menghabiskan biaya besar untuk promosi, mengingat optimisme mereka yang begitu besar akan prospek penjualannya.
[caption id="attachment_281674" align="aligncenter" width="552" caption="head of Datsun Business Unit menjelaskan produk unggulannya seharga di bawah 100 juta rupiah"]
Sementara, negara ini dapat apa sih?! Di tengah kebutuhan mayoritas rakyat akan bahan pangan murah, bahan pangan produk lokal agar tak mudah berfluktuasi harganya jika masih menggantungkan pada impor, belum lagi kebutuhan akan pendidikan murah, perawatan kesehatan murah, layakkah kebijakan mobil murah jadi prioritas utama? Apalagi kalau harus mengorbankan target perolehan pajak. Manakah yang perlu didahulukan : membangun industri otomotif/penunjang otomotif lokal ataukah membangun kembali pertanian dan industri pangan lokal agar negeri ini kembali swa sembada pangan dan punya ketahanan pangan? Benar juga kata John Calvin Thomas, seorang kolumnis Amerika : “Seorang negarawan memikirkan generasi yang akan datang, seorang politisi memikirkan pemilu yang akan datang.” Malangnya, negeri ini dipimpin dan dikuasai oleh para politisi dan kita krisis negarawan. Sehingga, kebijakan-kebijakan yang diambil hanyalah kebijakan populis bahkan transaksional. Mereka hanya berpikir bagaimana bisa survive di Pemilu berikutnya. Tak peduli rakyat kecil yang jumlahnya mayoritas tak bisa survive karena harga kebutuhan pangan yang terus melambung.
[caption id="attachment_281676" align="aligncenter" width="555" caption="Mobil murah yang katanya dirancang khusus untuk kelas menengah Indonesia, pasar terbesar kedua di dunia setelah India"]
Catatan :
tulisan ini dibuat atas permintaan beberapa rekan Kompasianer sebagai versi Bahasa Indonesia dari tulisan sebelumnya, namun ada sedikit tambahan pembahasan. Tulisan sebelumnya : Markonah, Mobil Murah lan Kedele Murah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H