[caption id="attachment_289265" align="aligncenter" width="702" caption="foto : Kompas.com"][/caption]
Dulu ada yang menasehati saya agar pandai-pandai memilih, membedakan dan menentukan mana yang jadi KEBUTUHAN dan mana yang sebenarnya hanya KEINGINAN. “Kalau besok pagi kamu harus mengikuti ujian, maka yang kamu butuhkan malam ini adalah istirahat yang cukup setelah kamu belajar, agar besok kamu bisa bangun lebih awal, masih bisa bersiap-siap dan tubuhmu segar. Tapi kalau malam nanti ada pertandingan bola di tivi yang disiarkan sampai jam 2 dini hari, lalu kamu pengen nonton, akhirnya besoknya kamu bangun kesiangan, mata masih ngantuk dan konsentrasi gak fokus. Istirahat cukup itu kebutuhan, nonton bola itu keinginan”. Begitu kurang lebih nasehat yang masih saya ingat sampai sekarang.
Saya beberapa kali pernah dengar keteladanan dari Bung Hatta. Suatu kali beliau melihat iklan sebuah sepatu bermerk di surat kabar. Bung Hatta menggunting iklan itu dan menyimpannya, beliau ingin sesekali bisa punya sepatu bagus dan mahal. Padahal, waktu itu beliau seorang Wakil Presiden. Bulan demi bulan, Bung Hatta menyisihkan gajinya demi bisa membeli sepatu dalam iklan itu. Uang itu disimpan disela-sela lembaran bukunya. Tapi, tiap kali uang mulai terkumpul, selalu saja ada orang yang datang padanya, meminta bantuan. Bung Hatta menimbang : orang yang datang lebih perlu dibantu, dia sangat butuh uang. Sedang keinginannya untuk membeli sepatu bagus masih bisa ditunda. Begitu terus, sampai akhir hayatnya, sepatu dalam guntingan iklan itu tak pernah terbeli. Bung Hatta, seorang DOKTOR, berpendidikan luar negeri di saat mayoritas bangsa ini hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 2 SD bahkan masih banyak yang buta huruf. Seseorang yang seandainya mau hidup mewah, bisa saja bekerja secara profesional di luar negeri. Tapi beliau telah memberikan teladan bagaimana memilah kebutuhan dan keinginan, kendati itu kebutuhan orang lain, beliau memilih mengesampingkan keinginannya.
======================================
Betapa terkejutnya saya, ketika membaca berita di Tempo.co, yang berjudul Ini Tuntutan Komponen Hidup Layak Buruh 2014. Supaya tak salah kutip, berikut akan saya copy-paste beberapa paragraf yang menjadi inti berita tersebut.
Copas #1 : “Di sektor sandang ada penambahan 10 komponen yang ditetapkan buruh sebagai komponen kelayakan. Penambahan tersebut antara lain kepemilikan jaket kulit sintetis (satu potong per tahun), baju tidur setara katun (enam potong per tahun), sandal semidinas kulit (dua pasang per tahun), tas kerja ukuran sedang (satu buah per tahun), sapu tangan (enam buah per tahun), dompet kulit (satu buah per tahun), jam tangan, jam dinding, payung, dan topi (masing-masing satu unit per tahun).”
Copas #2 : “Di sektor perumahan ada penambahan 12 item. Antara lain dispenser (satu unit per tiga tahun), mesin cuci (satu unit per tiga tahun), sapu lidi dan sapu ijuk (dua unit per tahun), talenan plastik (satu unit per dua tahun), tikar (dua unit per dua tahun) dan gunting stainless (satu unit per tahun).”
Copas #3 : “Di sektor pendidikan ada penambahan satu komponen, yakni televisi minimal ukuran 19 inci (satu unit per tiga tahun).”
Copas #4 : “Di sektor kesehatan ada pengurangan komponen. Semula ada komponen sisir dandeodorant biasa minimal satu unit per tahun. Namun, komponen itu kini dimampatkan pada sarana kesehatan, bersama penambahan subkomponen lain seperti gunting kuku,cotton bud, parfum, lipstik, hand and body lotiondan pembersih muka. Dua komponen itu diganti dengan satu komponen suplemen kesehatan.”
Copas #5 : “Di sektor transportasi dan kemasyarakatan ada penambahan dua komponen, yaknihandphone minimal satu unit beserta pulsa yang belum ditentukan besarannya. Selain itu, ada penambahan komponen kegiatan kemasyarakatan mencakup iuran keamanan, iuran sampah, dana sosial, dan iuran RT yang perlu dibayarkan tiap tahun.”
Copas #6 : “Terakhir, di sektor rekreasi dan tabungan tak ada penambahan komponen. Namun, besaran untuk komponen tabungan naik dari dua persen tahun lalu menjadi tiga persen tahun ini, dihitung dari total 84 komponen yang diajukan buruh sebagai komponen hidup layak 2014.”
[caption id="attachment_289266" align="aligncenter" width="620" caption="foto : Tempo.co"]
Itulah tuntutan buruh untuk penentuan Kebutuhan Hidup Layak yang selanjutnya akan dikonversi dan ditambah dengan prosentase pertumbuhan ekonomi, laju inflasi dan sebagainya sehingga akan tercapai angka UMK 2014. Mari kita pikir baik-baik dengan logika akal sehat, benarkah semua itu merupakan KEBUTUHAN HIDUP LAYAK atau sekedar KEINGINAN BERGAYA HIDUP BOROS?
Jaket, fungsinya untuk untuk memberikan kehangatan pada tubuh dan menahan angin saat naik motor, ini jelas dibutuhkan para pengendara motor. Tapi apakah harus dari kulit sintetis? Tahun lalu kantor saya membeli motor matic untuk keperluan operasional staf administrasi. Saat motor dikirim, ada helm dan jaket gratis sebagai hadiahnya. Jaket yang cukup layak untuk naik motor, tentu saja ada sablon bertuliskan nama dealer di bagian punggung. Gak keren? Tentu saja, apalagi kalau dibandingkan beragam model jaket di mall. Tapi untuk memenuhi fungsinya, jaket itu sebenarnya sudah sangat layak pakai, sama halnya dengan helm yang sudah standar SNI. Tapi itulah, karena jaket itu dirasa tak keren, akhirnya jaket itu diberikan pada orang lain yang mau. Jadi, jaket kulit sintetis kebutuhan atau keinginan? Selama fungsinya terpenuhi, apapun bahannya tak masalah bukan? Kalau Bung Hatta yang seorang Doktor dan menjabat jadi Wakil Presiden saja rela menunda keinginan membeli sepatu kulit, kenapa buruh harus mengukur kelayakan hidupnya dengan 2 pasang sandal kulit setahun?
Baju tidur, kenapa harus sampai 6 potong setahun? Sehari-hari di rumah saya lebih suka memakai daster batik atau katun. Terus terang saja, setahun saya beli daster paling banyak hanya 1-2 potong saja. Beberapa daster katun saya bahkan masih sangat layak pakai meski sudah dipakai selama 5 tahun, karena cara mencuci dan perawatan yang benar membuat baju jadi awet. Kalau 1-2 tahun lalu saya punya 6 potong daster, apa iya tiap tahun saya harus beli 6 potong lagi, apalagi kalau hanya digunakan untuk tidur? Bukankah ini hanya pemborosan saja?
Tas kerja, apakah juga harus dibebankan ke perusahaan? Saya juga bawa tas ke kantor setiap hari. Kadang saya ganti tas karena keinginan, ngiler lihat model baru, tapi saya tak meminta perusahaan membelikan, saya beli dengan uang sendiri sesuai kemampuan. Sapu tangan kenapa harus 6 buah pertahun? Bukankah pakai tissue lebih praktis? Dompet kulit, apakah harus pakai yang berbahan kulit? Dompet saya sudah 2 tahun ini dipakai, bukan dari kulit, tapi saya tak merasa fungsinya berkurang. Dompet bukan kulit ini pengganti dompet lama dari kulit yang tahan sampai 10 tahun lebih. Lalu, apakah dompet, jam tangan, jam dinding, payung dan topi harus ganti tiap tahun? Jam tangan terakhir yang saya beli sudah 8 tahun yang lalu. Itupun jarang saya pakai karena untuk melihat waktu sudah ada jam digital di ponsel. Jam dinding di rumah adalah hadiah ketika saya membeli kamera sekitar 6,5 tahun lalu, sampai sekarang masih berfungsi baik. Apakah saya merasa hidup saya jadi tak layak karena tak bisa beli jam tangan dan jam dinding tiap tahun?
Dispenser dan mesin cuci, haruskah beli baru setiap 3 tahun? Setahu saya peralatan rumah tangga elektronik umumnya bergaransi service 1 tahun dan garansi mesin 3 tahun. Apakah begitu garansi mesin habis berarti kita perlu beli yang baru? Bukankah ini pemoborosan? Dispenser dan mesin cuci di rumah saya umurnya sudah hampir 4 tahun dan masih sangat layak pakai, tak ada yang rusak. Televisi, haruskah minimal 19 inchi jika mampunya beli yang 14 inchi? TV di rumah saya ukurannya 14 inchi, masih model tabung cathodic yang gendut (bukan slim flat TV), belinya lebih dari 6 tahun yang lalu dan tak pernah ada kerusakan sampai sekarang, meski merk-nya bukan yang “papan atas”. Saya tidak merasa layak tidaknya kehidupan saya ditentukan ukuran/merk televisi.
Sebagai seorang wanita yang dikaruniai wajah berminyak dan sensitif, saya harus rajin merawat kulit wajah, minimal membersihkan muka dengan cleansing foam, milk cleanser dan facial soap. Lalu, apakah semua ongkos perawatan wajah itu dibebankan pada perusahaan? Parfum, bedak, lipstick, apakah berkorelasi dengan pekerjaan seorang buruh sehingga pantas dibebankan pada perusahaan? Begitu pula kalau seseorang mengkonsumsi suplemen kesehatan – yang belum tentu dibutuhkan sesuai rekomendasi dokter – apa harus perusahaan yang tanggung? Setahu saya, asuransi kesehatan manapun tak ada yang mau menanggung item kosmetologi dan minuman suplemen. Lha ini kok malah manja, pemberi kerja yang disuruh membiayai semua keinginan ekstra seperti ini. Jangan-jangan, jika kelak trend operasi plastik untuk mempermak bentuk hidung dan dagu sudah jadi gaya hidup, bakal ada komponen “biaya suntik silikon” dalam penentuan KHL.
Handphone minimal satu unit, ini kebutuhan versi siapa? Apakah pekerjaan buruh tersebut mengharuskannya berhubungan dengan pihak lain melalui ponsel? Kalau iya, tentu wajar jika alat komunikasi dan pulsanya ditanggung oleh perusahaan. Tapi jika keinginan memiliki ponsel itu hanya supaya bisa sms-an atau ngobrol dengan pacar atau keluarga di kampung, tak semestinya kalau itu dibebankan pada perusahaan.
======================================
[caption id="attachment_289267" align="aligncenter" width="624" caption="Para buruh berdemo dengan membawa motornya masing-masing, tak ada yang butut (foto : Kompas.com)"]
KELAYAKAN DAN KEBAHAGIAAN HIDUP KITA TIDAK DITENTUKAN OLEH KEPEMILIKAN MATERI
Berita dari Tempo.co tadi di-copas ke situs forum diskusi detik forum. Berikut saya copy-paste beberapa komentar sinis menanggapi berita itu.
1.Kalau baca hitungnya sepertinya banyak barang yang harusnya sudah saya ganti. Dompet sudah 3 tahun, harusnya satu tahun satu. Jam tangan terakhir beli lebih 5 tahun yang lalu, harusnya 1 tahun satu. Jam dinding tidak punya harusnya 1 per tahun. Dan banyak barang lainnya.
2.gw aja udah pake jam tangan itu aja udah 6 tahun
3.berarti selama ini gw masih hidup kurang layak
4.iya sama, palagi gw yg ga punya topi dan sapu tangan. mana tipi gw dah 5 taon lom ganti..
5.gilaa.. ampe gunting stainles diitung jadi standard hidup layak...
6.ternyata hidup gw sangat tidak layak pake jam tangan udah 6 tahun
7.gw malah ga punya smua, jam tangan, jam dinding, tiker, gunting, tabungan. Ternyata gw ga layak hidup...
Saya ngakak membaca komentar-komentar di atas. Benar juga, kalau standar tuntutan serikat buruh itu yang jadi acuan kelayakan hidup, maka hidup saya sangatlah tidak layak. Daster katun saya banyak, lebih dari 6 potong, tapi usianya sudah lebih dari 1 tahun semua, bahkan ada yang 5 tahun. TV saya jadul dan hanya 14 inchi pula. Dispenser, mesin cuci, sudah lebih dari 3 tahun belum ganti baru. Apalagi jam dinding dan jam tangan. Jaket, topi, sapu tangan, saya tak punya. Dompet, dulu pernah punya yang kulit, sekarang malah bukan kulit. Kalau begitu hidup saya mengalami penurunan kelayakan dong?
Tidak! Saya sama sekali tak mau menilai kelayakan hidup saya dari kepemilikan materi apalagi sampai ditentukan sekian tahun harus ganti baru. Saya justru merasa gak layak hidup, jika saya hanya bisa menuntut agar semua keinginan saya dipenuhi, tanpa membuktikan eksistensi saya melalui peningkatan wawasan dan kemampuan. Saya justru merasa tak layak kalau saya hanya bisa membebankan semua keinginan saya pada pihak lain, dengan alasan saya butuh barang tersebut.
[caption id="attachment_289270" align="aligncenter" width="360" caption="Buruh linting rokok (foto : republika.co.id)"]
Buruh yang mendapatkan upah setara UMK, umumnya adalah mereka yang direkrut tanpa harus melalui serangkaian tes yang rumit, tanpa diuji kompetensinya baik soft skill maupun hard skill, tidak diseleksi berkas lamarannya dengan melihat latar belakang pendidikan (alumni dari sekolah mana, qualified tidak sekolahnya, berapa nilai akhir kelulusannya, dll), tak perlu diwawancara oleh pihak manajerial terkait dan diuji wawasan serta kemampuan konseptualnya. Jadi, bisa dibilang mereka adalah tenaga kerja rata-rata, dengan kualifikasi rata-rata, tak punya skill khusus pun tak apa, lulus sekolah dengan nilai rata-rata 5 pun tak masalah, bahkan drop out pun tak jadi soal. Nah, dengan kualifikasi personal rata-rata semacam itu, layakkah mereka menuntut segala macam agar setara dengan pekerja yang direkrut melalui serangkaian tes dan seleksi yang tidak mudah? Sementara begitu banyak sarjana yang berkompetisi untuk beranjak ke posisi menengah, agar gajinya naik dari 2,5 juta menjadi 3 juta, dst, dengan dibebani target-target yang harus dicapai.
Lalu, jika buruh merasa layak untuk menuntut pemenuhan atas segala keinginan itu, kenapa buruh menolak Instruksi Presiden (Inpres) No. 9/2013 yang mengatur penetapan UMK berdasarkan produktifitas pekerja/buruh?! Bukankah kemampuan perusahaan sangat bergantung pada kemampuan buruhnya? Jika produktifitas buruhnya rendah, bagaimana perusahaan akan tinggi produktifitasnya? Kalau buruhnya tidak kompetitif, bagaimana perusahaan itu akan mampu berkompetisi? Kalau membandingkan upah buruh di Indonesia dengan Korea dan China, maka sudah selayaknya bandingkan pula skill dan produktifitas buruh di sana dengan di sini, itu baru fair.
[caption id="attachment_289271" align="aligncenter" width="600" caption="Buruh pabrik sepatu (foto : www.anataranews.com)"]
Ibaratnya begini : kalau kita yakin bisa lulus ujian dengan nilai tinggi, maka seharusnya kita tak menolak untuk diuji. Jika hasil ujian 90% benar, layak kita menuntut nilai 9. Sebaliknya, jika diuji saja menolak, bagaimana bisa menuntut diberi nilai 9? Kalau buruh menolak keras dilakukan pengukuran produktifitas, bagaimana perusahaan bisa diyakinkan bahwa mereka layak diberi upah tinggi? Equal pay for equal work, equal pay for equal performance, itu berlaku dimana-mana, kecuali kita mau disebut bangsa sosialis : pinter bodoh sama rata.
Saya ingin bertanya pada para pemimpin serikat buruh, jika di rumah mereka mempekerjakan asisten rumah tangga (ART) yang hanya bertugas menyapu, mengepel, mencuci baju dan menyetrika, apakah mereka mau jika ART-nya meminta upah sama dengan ART tetangga sebelah yang juga memasak 3x sehari dan mengasuh 2 balita sekaligus? Apalagi tiap tahun buruh-buruh itu dimobilisir untuk berdemo dan mogok kerja, setidaknya 2 x dalam setahun : saat hari buruh dan saat jelang penentuan UMK. Bukankah layak pula jika perusahaan tak memberikan upah dan uang kehadiran selama pekerja mogok/tidak melakukan pekerjaan? No work no pay, no pain no gain. Kalau no work more pay dan equal pay for different work (minta upah sama dengan sarjana padahal tugas dan tanggung jawab beda), siapa yang mau?!
[caption id="attachment_289272" align="aligncenter" width="318" caption="Buruh pabrik garmen (foto : www.merdeka.com)"]
Kompas.com memberitakan, selama demo buruh, banyak yang melakukan aksi demo dengan mengendarai motor yang terbilang berharga tidak murah. Ada motor Honda Tiger keluaran terbaru, Yamaha Vixion, Honda CBR 250, Kawasaki Ninja 150 hingga kawasaki Ninja 250 R yang harganya lebih dari Rp. 50 juta. Bahkan, beberapa motor itu tampak telah dimodifikasi dengan sparepartyang cukup mahal. Salah satu buruh mengaku, dengan UMK yang sekarang saja (Rp. 2,2 juta) dia bisa menyisihkan gajinya Rp. 1,2 juta untuk membayar cicilan sepeda motor. Nah, kita lihat bukan, bahwa proporsi terbesar dari gaji justru dihabiskan untuk membeli barang konsumtif! (baca di SINI)
Masih di Kompas.com, berita lain mengabarkan di tengah aksi unjuk rasa menuntut kenaikan upah sejumlah buruh di Jakarta tampak menggunakan barang-barang berharga. Seorang buruh di Pulogadung tampak menggunakan sepeda motor seharga lebih dari Rp 40 juta. Ada pula seorang buruh wanita yang menentengsmartphone seharga kurang lebih Rp. 7 juta saat sedang rehat di sela-sela unjuk rasa. Ketika hal itu ditanyakan pada Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Said Iqbal, ia mengatakan bahwa buruh yang memiliki barang-barang mahal biasanya punya pekerjaan sampingan. Nah, sudah tahu jawabannya bukan? Jika ingin lebih sejahtera dan terbeli semua keinginan, ya harus bekerja ekstra, termasuk mencari usaha sampingan, asal halal.
[caption id="attachment_289273" align="aligncenter" width="240" caption="Buruh pabrik kompor (foto : tempo.co)"]
Tapi, sungguh memprihatinkan karena Said Iqbal justru mengatakan : "Yang benar itu tidak perlunyari tambahan, tapi sejahtera dengan upah kita Rp 3,7 juta itu". Pernyataan inilah yang justru tidak layak keluar dari seorang berpendidikan dan menyandang jabatan “Presiden Konfederasi”. Apalagi ia pernah mencalonkan diri jadi anggota DPR RI. Tidakkah Said Iqbal tahu bahwa seorang sarjana pendidikan yang menajdi guru honorer dengan honor hanya beberapa ratus ribu, harus ektra keras mencari tambahan agar bisa mencukupi kebutuhan hidupnya? Bahkan untuk bisa diangkat saja mereka harus melalui serangkaian tes dan seleksi.
Tidakkah Said Iqbal pernah dengar cerita dokter atau paramedis yang masih menjadi tenaga tidak tetap di puskesmas di pedesaan honornya hanya sejuta lebih sedikit dan untuk itu mereka harus bekerja apa saja demi mencukupi kebutuhannya? Sangat memprihatinkan jika seorang pemimpin serikat buruh yang nota bene pernah jadi calon legislatif, hanya bisa menularkan provokasi untuk menuntut dan menafikan upaya untuk mencari tambahan penghasilan dengan bekerja. Inilah mentalitas “preman”, bisanya minta dan memaksa, kalau tak diberi mengancam. Sungguh, masyarakat akan salut jika para pemimpin serikat buruh itu bukan hanya berteriak menuntut, tapi mereka juga bisa bilang begini : “Kami tuntut upah 3,7 – 4 juta sebulan! Kalau tak dikabulkan, kami akan hengkang sekarang juga dari perusahaan kalian, wahai pengusaha! Kami akan ajak para buruh anggota kami untuk berusaha sendiri! Dengan iuran yang mereka kumpulkan pada kami, akan kami jadikan modal untuk membuka perusahaan. Akan kami buktikan bahwa kami mampu membayar upah buruh 3,7 – 4 juta sebulan! Akan kami tunjukkan bahwa kami lebih becus jadi pengusaha ketimbang kalian!”. Nah lho, sanggupkah kira-kira Said Iqbal dan para pemimpin serikat buruh bertindak demikian? Menuntut dengan paksa, kalau tak diberi ya semestinya hengkang saja, bukan malah memaksa dan terus memaksa.
[caption id="attachment_289274" align="aligncenter" width="546" caption="Said Iqbal, Presiden KSPI (foto : Kompas.com)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H