Telepon genggam – nama populernya hape – siapa yang tak kenal barang ini? Benda satu ini keberadaannya sudah ibarat kebutuhan sekunder saja. Kalau masih ada uang tersisa setelah makanan dan pakaian terbeli, orang akan mulai berpikir untuk memiliki hape. Tak heran, pembantu rumah tangga, tukang sayur, pekerja bangunan, bahkan tukang ojek dan tukang becak yang penghasilannya tak tetap pun banyak yang sudah punya hape. Kalau pada pertengahan sampai akhir tahun ‘90-an hape jadi symbol status kelas sosial, kini tidak lagi. Dari sisi usia pun, bukan hanya orang dewasa saja yang kemana-mana menggenggam hape, anak SD pun banyak yang membawa hape di dalam tas sekolahnya.
Fungsi hape juga sudah mengalami pergeseran, dari yang semula sekedar alat komunikasi – lisan dan tulisan, melalui fasilitas short message service – kini juga menjadi alat untuk mengakses internet, kamera foto, video, penerima faksimili, alat pemutar radio dan televisi, juga media penyimpan rekaman lagu-lagu. Banyak hape dengan harga yang relatif tidak mahal – berkisar 300 – 400 ribuan – sudah menawarkan fitur-fitur yang lengkap seperti itu. Apalagi yang jenis ponsel pintar atau smartphone, sudah bisa menggantikan fungsi asisten pribadi dan bisa jadi kantor berjalan. Tampaknya motto “dunia dalam genggaman” benar-benar sudah mewujud.
NGOBROL SOCIETY
Sayangnya, karena beragamnya fungsi, si hape ini lama kelamaan jadi bagian tak terpisahkan dari setiap aktivitas pemiliknya. Mulai bangun tidur sampai tidur lagi, hape tak lepas dari genggaman atau setia nongkrong di kantong. Ibunya teman saya pernah mengeluhkan kedua pembantunya yang masih berusia pertengahan dua puluhan tahun, sambil mencuci dan menjemur baju, menyetrika, mengulek bumbu, kepalanya selalu miring dan bahunya diangkat sebelah, sebab hape selalu setia terselip antara pundak dan telinga. Seringkali panggilan majikannya yang sudah berumur pun tak didengar saking asyiknya ngobrol di hape. “Lama-lama isi kepalanya keluar semua gara-gara sering dipakai miring-miring” kata Ibu teman saya sambil menahan jengkel. Sebenarnya kalimat itu terlontar bukan tanpa alasan. Dulu, sebelum hape menjamur dan menguasai kehidupan para PRT, Ibu teman saya membiasakan pembantu-pembantunya untuk ikutan membaca koran atau majalah, agar wawasannya lebih luas. “Biar kepalanya ada isinya” kata si Ibu. Kini, ketika hape menyita hampir seluruh waktu para PRT, isi kepala mereka kosong, hanya berisi obrolan ngalor ngidul, bahkan terkadang yang diajak mengobrol pun orang asing yang hanya dikenal dari telepon iseng yang salah sambung atau SMS nyasar.
Kalau mau jujur, fenomena ini tak hanya terjadi dikalangan pembantu rumah tangga saja. ABG dan remaja jaman sekarang pun lebih suka asyik memencet tombol keypad hapenya, update status facebook dan nge-tweet, ketimbang membuka lembaran-lembaran buku. Mereka lebih asyik berkomunikasi melalui SMS atau BBM, ketimbang berdiskusi dengan teman-teman di sekitarnya. Terkadang saya heran melihat kecepatan jari-jari anak ABG memencet tombol hape meski matanya tak menatap keypad hape. Jemari mereka lebih terasah ketrampilannya, ketimbang daya nalar dan kemampuan analisisnya yang jarang sekali dilatih.
Dengan bentuknya yang handy, hape memang lebih praktis dibawa kemana saja, termasuk di sela-sela berjubelnya penumpang bis kota. Anak-anak usia tanggung ini pun seolah menemukan jati diri dan eksistensinya melalui fitur-fitur hape yang ada digenggamannya. Betapa tidak, mereka bisa meng-ekspose semua ekspresi dan emosinya hanya dengan memencet tombol-tombol di kotak kecil ajaib itu. Mereka jadi lebih dikenal dan punya banyak teman baru – meski belum tentu pertemanan itu membawa dampak positif – melalui gadget yang mereka punya. Tengok saja berapa jumlah teman FB, atau follower twitter atau messenger contact yang ada di BB anak-anak remaja dan ABG. Jumlahnya pasti jauh lebih banyak ketimbang teman yang dimiliki orang dewasa yang punya banyak aktivitas sekalipun. Hape sudah merubah orientasi aktivitas generasi jaman sekarang.
Parahnya, semua itu seolah mendapatkan legitimasi dan dukungan dari para operator penyedia layanan selular, yang berlomba menawarkan aneka paket murah meriah bertajuk ngobrol sepuasnya berkali-kali seharian, SMS ribuan kali ke semua operator, internetan dan chatting sepuasnya seharian. Semua layanan itu telah membentuk kita menjadi “ngobrol society”. Bangsa kita yang memang sudah sejak dulu ketinggalan dari bangsa lain dalam hal kebiasaan membaca dan menggemari buku, dengan adanya tawaran menarik dan murah itu kini justru menjadi makin bergeser ke arah masyarakat “rumpies”. Mungkin kalau ada lomba berkirim SMS dengan kecepatan sekian ratus karakter permenit, remaja-remaja kita bisa jadi juara dunia lho!
BELI HAPE LEBIH PENTING DARI BELI KAMBING DAN BAYAR SEKOLAH ANAK
Seorang teman pernah bercerita, dia punya pembantu baru yang baru datang dari kampung. Herannya, hape yang dimiliki si pembantu ini sudah lebih canggih model dan typenya ketimbang milik dia dan suaminya. Katanya BB model terbaru. “Memangnya di kampung smartphone dibutuhin banget apa?” tanyanya heran. Bukankah mending dibelikan kambing, pikir temanku. Dia berasumsi harga hape jenis itu pastilah 2 jutaan, sedang harga seekor kambing di kampung 750 ribu sudah dapat. Dengan uang 2 jutaan dia bisa membeli sepasang kambing dan masih tersisa uang untuk mengupah anak tetangga atau siapapun yang bersedia membantunya memelihara kambing itu. Di kampung rumput tak usah dibeli, kambing bisa merumput sendiri di tempat dimana orang kampung biasa angon kambing. Kelak jika kambing itu beranak, investasinya akan membuahkan hasil dan saat idul kurban tiba, setidaknya ada kambingnya yang bisa dijual dengan harga di atas harga beli. Kalau usaha kambingnya terus bergulir dan menguntungkan, siapa tahu kelak si pembantu ini tak usah repot-repot merantau ke kota hanya untuk jadi babu demi mendapatkan rupiah.
Tapi pemikiran temanku – yang nota bene dia seorang yang sangat terpelajar dan kondisi sosial ekonominya mapan – tentu berbeda dengan jalan pikiran si mbak dari kampung. BB model terbaru itu tentu dibeli dari hasilnya bekerja jadi PRT selama berbulan-bulan. Setelah terkumpul uang, yang terpikir di benaknya adalah membeli hape model terbaru yang canggih, kalau pulang kampung hape itu akan menaikkan gengsinya. Dan pembantu teman saya ini bukan satu-satunya yang menempatkan “membeli hape model terbaru” sebagai prioritas pertama dari uang gaji yang dikumpulkannya. Teman saya yang lain pun pernah bercerita hal yang sama.
Bagaimana dengan masyarakat dengan kelas sosial ekonomi menengah atas? Sayang, tampaknya tak berbeda jauh. Masih ingat kan diskonan BB Bellagio yang bikin heboh bulan Nopember lalu? BB itu di jual hanya separuh harga dengan syarat membelinya harus menggunakan kartu kredit yang diterbitkan bank tertentu. Tempat penjualan dipilih sebuah mall berkelas di jantung kota Jakarta, Pacific Place. Produsen mensyaratkan setiap pembeli hanya boleh membeli 1 unit dan identitas pembeli harus sama dengan indentitas yang tercantum pada kartu kredit. Nah, pemilik kartu kredit tentunya bukan orang miskin dengan penghasilan tak jelas dan tak punya rekening di bank. Salah satu syarat saat aplikasi pengajuan kartu kredit adalah melampirkan slip gaji terakhir atau fotocopy rekening koran 3 bulan terakhir. Jadi, mereka yang rela berjubel dengan ribuan orang, bahkan sudi datang sejak tengah malam – meski penjualan baru dibuka jam 10 keesokan harinya – hanya demi mendapatkan BB terbaru itu, bukanlah mereka yang tergolong kelas sosial ekonomi menengah bawah. Dari penampilannya, mereka tampak cukup berpendidikan yang seharusnya bisa melogika bahwa antrian ribuan orang tentu sangatlah mustahil kebagian jika barang yang tersedia hanya seribu unit saja. Tapi entah kenapa, logika berpikir dan gengsi mereka bisa hilang saat itu, sampai-sampai rela pingsan dan terinjak-injak. Tragedi yang memilukan sekaligus memalukan.
Sekitar 5 tahun lalu, ketika masih musim pembagian BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang jumlahnya 300 ribu rupiah per 3 bulan, ada saja orang-orang yang digolongkan miskin dan layak mendapat BLT, tapi ketika uang BLT sudah di tangan, hape lah yang dibeli, bukan sekarung beras atau sekotak susu bayi, bukan pula untuk pembayar SPP anak yang sudah menunggak. Aneh memang, seolah hape kini menempati posisi kedua setelah urusan perut.
KETIKA KEBIASAAN BER-HAPE-RIA MULAI MEMBAHAYAKAN
Seperti juga perokok berat yang seringkali abai pada bahaya merokok bagi diri sendiri dan orang di sekitarnya, para maniac hape suka lupa diri dimana mereka boleh menggunakan hapenya. Saya pernah menegur bahkan sampai marah kepada seorang petugas SPBU yang asyik berhape ria persis disamping mesin pengisi BBM,sementara temannya sudah mengangkat selang siap mengisi tanki mobil perusahaan yang kami tumpangi. Kontan saya turunkan kaca jendela dan langsung saya lambaikan tangan ke arah petugas itu – seorang gadis, kutaksir usianya awal dua puluhan tahun – yang tetap cengengesan sambil tak menghentikan obrolannya. Karena tampaknya dia cuek, saya melarang rekannya mulai mengisi mobil kami, sebelum si ring-ring girl itu menutup hapenya. Akhirnya karena dia tahu saya serius dan mulai marah, dengan enggan dia tutup hapenya. “Mbak tahu symbol apa itu?” tanya saya sambil menunjuk gambar hape dalamlingkaran yang dicoret. Gambar itu tertera cukup besar persis di samping mesin pengisi BBM. “Saya yakin Mbak pasti sudah di-training sebelum mulai bekerja di sini dan sudah diberi tahu apa saja yang membahayakan. Seharusnya Mbak yang meminta konsumen mematikan hape, bukannya konsumen yang memaksa Mbak matiin hape” lanjutku. Teman-temannya kemudian meledek “Iya Bu, bandel neh” kata mereka sambil senyam-senyum. “Harusnya kalian sebagai rekan kerja menegur rekannya sebelum ditegur konsumen, apalagi sampai dilaporkan. Bukannya didiamkan saja, kalau ada konsumen yang menegur baru ikutan meledek” kata saya. Saya yakin, perilaku gadis petugas SPBU itu tak jauh beda dari rekan-rekannya. Itu sebabnya mereka tak saling mengingatkan, karena perilakunya sama saja.
Saat naik pesawat, banyak sekali penumpang – yang nota bene mereka kelas menengah dan well educated – masih sibuk bertelepon, SMS atau BBM-an ketika sudah duduk di kursi pesawat. Sampai pramugari harus menegur, mereka baru mematikan hape menjelang take off. Begitu pesawat tiba di tujuan bahkan selagi belum landing sempurna, sudah mulai banyak suara-suara hape dinyalakan. Padahal, dalam kondisi masih melakukan pendaratan, pilot masih butuh berkomunikasi dengan menara Air Traffic Control Bandara. Sinyal hape bisa mengganggu komunikasi itu. Saya jadi ingat pesawat Garuda yang tergelincir saat landing di Bandara Adisutjipto Jogja, awal Maret 2007 lalu. Kabarnya, pilot mengalami gangguan komunikasi saat jelang landing. Bisa saja kebiasaan menyalakan hape saat pesawat belum mendarat dengan sempurna, menjadi penyebab terjadinya kecelakaan pesawat.
Ketika pesawat Adam Air hilang pada 1 Januari 2007 lalu, salah satu keluarga penumpang yang menjadi korban ngotot mengatakan bahwa mereka pernah sempat terhubung dengan hape keluarganya beberapa jam setelah pesawat resmi dinyatakan hilang kontak. Keluarga korban itu mengaku panggilannya sempat terhubung beberapa kali, hanya saja tak diangkat. Jika benar panggilan itu sempat terhubung – sebelum akhirnya hape mati karena baterai kosong – artinya penumpang itu tidak mematikan hape saat pesawat berangkat. Bukankah pesawat hilang kontak saat penerbangan sudah separuh jalan? Dan dalam kondisi pesawat terbang tidak normal dan mengalami turbulensi parah, tentu penumpang dalam keadaan panik dan tak terpikir untuk menyalakan hape. Dan jika benar penumpang tak mematikan hape, bisa saja sinyal hape berkontribusi memperburuk sambungan komunikasi pesawat dengan menara pengendali, disamping cuaca yang memang sedang tidak bersahabat.
Di rumah tangga, ibu-ibu atau PRT terbiasa bertelepon ria sambil memasak disamping tabung gas elpiji. Padahal tindakan ini sangat berbahaya. Sama halnya ber-hape-ria disamping stasiun pengisi bbm, menggunakan hape di samping tabung elpiji adalah sesuatu yang dilarang karena membahayakan. Di jalanan, pengendara motor dan mobil asyik bertelepon atau SMS-an sambil berkendara. Beberapa waktu lalu, saya dengar berita di TV, seorang pemuda tewas terseret kereta api karena dia asyik menggunakan hape sambil mengendarai motor saat melewati perlintasan kereta tanpa palang pintu. Perlintasan tak berpintu dan tak berpenjaga memang tak bisa dibenarkan, tapi nasib nahas itu tak akan menimpa jika pengendara waspada dan memperhatikan kondisi jalan, bukannya malah asyik ber-hape-ria.
Itulah gambaran bangsa kita. Meski secara sosial ekonomi kebanyakan kita masih tertinggal dari Negara Asia lainnya, tapi untuk urusan gaya hidup yang menyangkut pemakaian telepon genggam, masyarakat kita nomor urut pertama. Jumlah pemakai hape yang mencapai puluhan juta ini ladang bagi operator dan juga surga bagi perampok berkedok content provider. Dan sebagian besar dari kita, tanpa disadari merelakan diri dijajah hape. Dan dalam sepuluh tahun terakhir ini, kita sedang bertransformasi menuju ngobrol society. Semoga saja tidak semakin parah karena harga hape makin murah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H