Tiap pagi selepas Subuh saya terbiasa menikmati secangkir kopi panas sambil nonton berita di TV. Sudah 2 hari ini kehangatan kopi saya terasa kurang nikmat karena tayangan berita yang bikin miris. Kemarin, Metro TV memberitakan satu keluarga di Tangerang, Banten, keracunan jamur liar yang mereka dapatkan dari pekarangan di sekitar tempat tinggal mereka. Karena miskinnya, keluarga itu tak mampu membeli lauk. Untuk teman nasi, mereka mengumpulkan jamur-jamur yang tumbuh secara liar di sela-sela rerumputan dan tanaman liar selama musim hujan. Jamur-jamur itu kemudian diolah menjadi masakan seadanya dan dimakan bersama nasi. Karena memang jamur itu bukan jenis jamur yang bisa dimakan, akibatnya sekeluarga keracunan dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Untung saja nyawa mereka masih tertolong.
Pagi ini lebih mengenaskan lagi, RCTI menayangkan satu keluarga di Pamekasan Madura, seorang nenek tua bersama 2 orang anaknya yang cacat lumpuh dan buta, hidup sangat miskin di gubuk reot yang tak ubahnya kandang babi. Sehari-hari mereka makan seadanya, jika ada tetangga yang member. Bahkan tak jarang nasi basi pun mereka makan, sisa-sisa nasi yang dibuang. RCTI menayangkan gambar nasi basi dalam wadah plastik yang tergeletak di samping tikar pembaringan keluarga itu, lengkap dengan sekelompok lalat yang berterbangan. Saya menahan napas, speechless melihat semua itu. Nenek tua mengusap wajahnya berkali-kali, kepayahan banget.
Hanya berselang beberapa menit, berita lain menyuguhkan hal yang kontradiktif. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada September 2011 mencapai 29,89 juta orang atau menurun 0,13 juta orang dibandingkan Maret 2011 sebesar 30,02 juta orang. Penurunan jumlah penduduk miskin terbanyak terjadi di daerah perkotaan yang berkurang 0,09 juta orang. Sementara penduduk miskin di daerah pedesaan berkurang 0,04 juta orang. Hmm.., tampaknya melegakan! Tapi tunggu dulu, jangan keburu bertepuk tangan, sebab angka-angka itu dihitung berdasarkan patokan apa? Yang disebut “penduduk miskin” itu standarnya apa?
Beberapa bulan lalu saya pernah geram sekali. Betapa tidak geram, berita yang saya baca di koran online menyebutkan bahwa standar garis kemiskinan di Indonesia ditetapkan di angka sekitar Rp. 7.000,-/hari! Masih di bawah angka garis kemiskinan yang ditetapkan FAO. Bayangkan, dengan uang sejumlah itu, apa yang bisa anda beli untuk bisa bertahan hidup seharian?!
Waktu saya buka Yahoo.news.com, ternyata ada yang “membanggakan” BPS. Angka garis kemiskinan yang dipergunakan sebagai batas untuk menentukan miskin atau tidaknya seseorang juga naik 4,27 persen dari Rp233.740 per kapita per bulan pada Maret, menjadi Rp243.729 per kapita per bulan pada September. Artinya, kalau pada Maret 2011 seseorang berpenghasilan di atas Rp. 7.791,- per hari dianggap sudah tidak miskin, maka per September 2011 seseorang dikatakan tidak miskin jika penghasilannya lebih dari Rp. 8.124,- per hari per jiwa. Sedikit lebih baik memang, tapi tetap belum signifikan, karena uang sejumlah itu tetaplah belum bisa dikatakan layak untuk hidup sehari dengan 3x makan nasi berikut lauk seadanya sekalipun!
Saya tidak paham kenapa Pemerintah mematok garis batas kemiskinan serendah itu. Untuk mendongkrak citra-kah? Agar seolah-olah jumlah penduduk miskin tidak banyak? Bukankah itu hanya garis batas imajiner semata yang bisa dinaik-turunkan sesuka hati, tapi dampaknya luaaarrr biasa! Coba saja garis batas itu digeser ke atas sampai batas Rp. 10.000,- perkapita perhari, bisa jadi jumlah penduduk miskin langsung melonjak 2x lipat. Tapi apalah artinya jumlah penduduk miskin “tercatat” menurun kalau itu hanya sekedar angka-angka semu semata yang jauh dari realitas? Jika benar jumlah penduduk miskin di perkotaan menurun, bukankah sekeluarga yang keracunan jamur itu tinggal di Tangerang yang nota bene daerah perkotaan?
Seperti apa suatu Pemerintahan menilai kemiskinan warganya tercermin dari standar menentukan definisi kemiskinan itu sendiri. Seberapa manusiawikah sebuah Negara menilai standar hidup rakyatnya, tergambar dari bagaimana Negara itu memandang kriteria hidup layak minimal. Mari kita lihat apa yang bisa di dapat dengan uang Rp. 8.124,- untuk 1 orang. Di perkotaan, makanan paling sederhana, nasi dengan lauk seadanya paling tidak 3.000 rupiah. Kalau anda cuma punya uang 8.000-an saja, anda hanya bisa membeli sebungkus mie instant supaya tetap makan 3x sehari. Itu baru soal makan saja. Bagaimana dengan air minum? Bukankah kita perlu mengolah air dari sumur dan memasaknya dulu supaya layak minum? Apa masih ada uang tersisa untuk membeli minyak tanah (anggapsaja kayu bakarnya tak perlu beli karena mencari sana sini)? Sekarang minyak tanah langka dan kalaupun masih ada tentu harganya mahal. Dan orang yang berpenghasilan 8.000-an perhari apa bisa membeli gas elpiji yang 3 kg sekalipun?
Baru urusan perut saja sudah tak cukup. Lalu bagaimana kalau ada yang sakit? Meski karcis berobat di Puskesmas terdekat cuma Rp. 2.000,- tetap saja tak bisa berobat. Sebab jika memaksa berobat, artinya harus mengorbankan 1x makan. Sekarang saya paham kenapa seorang pemulung sampah di Jakarta – yang pernah saya baca beritanya beberapa bulan lalu – terpaksa membiarkan anak perempuannya yang masih berusia balita dan menderita diare, tetap meringkuk di gerobak sampahnya sampai meninggal. Si pemulung mengatakan dia tak punya uang sama sekali, bahkan sekedar membayar tiket berobat di Puskesmas yang hanya 2000 perak saja! Dan ketika akhirnya dia sadar putrinya sudah mati, dia tetap mendorong gerobaknya bersama anak lelakinya yang juga masih kanak-kanak, sampai ke stasiun untuk naik kereta ke Bogor. Dia hanya punya sisa uang untuk membayar tiket kereta ke Bogor dan berniat memakamkan jenazah putri kecilnya di kampungnya. Sepanjang jalan ia menggendong jenazah putrinya sambil menggandeng tangan putranya yang kelaparan dan kehausan karena tak ada lagi uang pembeli makanan dan minuman.
Pantas saja di Negara kita anak jalanan yang sejak kecil tak sekolah, bukanlah jadi masalah besar bagi Pemerintah. Sebab dengan angka garis batas kemiskinan yang cuma berkisar 8.000-an per jiwa per hari, kebutuhan mendapatkan pendiidikan – bahkan sekedar pendidikan dasar – sama sekali tak dihitung! Intinya : orang miskin di Indonesia hanya boleh makan sangat sederhana 3x sehari, tidak boleh sakit sekalipun, tak ada anggaran untuk membeli pakaian, dan jangan pernah mimpi bisa sekolah! Hanya boleh makan sekedarnya, bahkan tanpa berpakaian dan hidup menggelandang pun jadilah!
Nah, kalau serendah itu Negara “menghargai” sebuah kemiskinan, sehingga seseorang yang punya penghasilan Rp. 9.000,-/hari/jiwa sudah tidak lagi dianggap miskin, maka sekeluarga pemulung yang hidup dari mengais-ngais sampah dan tinggal di sekitar tempat pembuangan akhir sampah, yang mengerahkan seluruh anggota keluarganya untuk bekerja – termasuk anak-anak usia sekolah – dan jika saja mereka bisa membawa pulang uang Rp. 9.000,-per orang, maka mereka tak lagi miskin. Anak jalanan yang mengamen di lampu-lampu merah sambil meneriakkan lagu tak jelas nadanya, jika di akhir hari bisa mengantongi uang Rp. 10.000,- mereka bukanlah anak miskin yang perlu dipikirkan masa depan pendidikannya.
Alangkah naïf dan munafik – maaf jika terasa kasar – ukuran garis batas ini. Pantaslah kalau dari 230 juta penduduk Indonesia, yang miskin HANYA tinggal 29,89 juta orang SAJA! Karena yang dihitung miskin adalah mereka yang sebenarnya hidup secara tak manusiawi. Padahal, orang-orang yang hidup secara tak manusiawi itu mungkin saja tak punya tempat tinggal tetap (mana bisa terbeli sepetak tanah untuk berteduh di malam hari?!). Dan karena tak tercatat sebagai penduduk resmi suatu wilayah tertentu, otomatis mereka tak punya KTP dan KK. Dan karena tak punya KTP dan KK, saat ada pembagian BLT mereka bukan termasuk yang berhak menerima. Mereka bukan pula yang dijamin oleh Jamkeskin jika sakit dan tidak bisa ikut menerima pembagian raskin. Sudah hidupnya tak manusiawi, makin tak tersentuh bantuan pula. Alangkah malangnya jadi orang dengan “stempel” miskin di negeri ini.
Rasanya saya ingin bertanya pada Pemerintah : apa dasarnya menetapkan garis batas kemiskinan serendah itu? Bukankah menipu diri sendiri jika dikatakan yang miskin tak sampai 30 juta orang padahal kenyataannya jauh di atas itu? Masihkah tega menjadikan “prestasi”menurunkan angka kemiskinan sebagai lipstick yang mempercantik laporan kinerja Pemerintah jika realitasnya mereka adalah borok bernanah yang sudah membusuk dan tak pernah diobati? Apalah artinya selembar laporan kepada badan-badan dunia bahwa Indonesia sudah berhasil menurunkan angka kemiskinan, jika realitasnya di dalam negeri justru sebaliknya?
Kemana ya anggota DPR yang bisa dititipi pertanyaan ini? Bukankah seharusnya persoalan seperti ini yang lebih pantas dijadikan issu untuk mengajukan hak interpelasi ketimbang mengusung issu yang sangat politis, hanya sekedar saling gertak di koalisi? Bukankah lebih pantas mempertanyakan kenapa garis batas kemiskinan tidak dipatok di angka Rp. 15.000,-/jiwa/hari agar rakyat yang disebut miskin bisa hidup sedikit lebih manusiawi, ketimbang mempertanyakan kenapa koruptor sekarang gak lagi diberi remisi? Para koruptor itu bisa menyewa jasa pengacara dengan bandrol milyaran, sedang rakyat miskin itu beli nasi rendang saja tak mampu!
Kemana si Aziz Syamsudin yang “ganteng”, yang sangat sewot karena para koruptor kini tak lagi mendapat remisi? Kenapa dia tidak sewot melihat rakyat dihargai sebegitu rendah untuk dilabeli miskin? Kemana Bamsat si Mr. Bentley yang perlente? Apa kaca mobil Bentley-nya terlalu gelap hingga pandangannya terhalang dari rumah-rumah kardus di sekitar Jakarta? Kemana Sutan Batoeghana yang selalu mengklaim partainya cerdas dan santun? Apakah Sutan tak cukup cerdas untuk berhitung uang Rp. 8.124,- per hari per jiwa itu cukup untuk apa? Kemana si sinis Fahri Hamzah yang meledak-ledak geregetan ingin membubarkan KPK? Kenapa dia tak marah dan minta BPS dibubarkan saja, karena sejak dulu – siapapun Presidennya – lembaga ini seolah hanya jadi alat propaganda Pemerintah saja dengan penetapan standar yang terlalu rendah?
Mungkin isi kepala mereka terlalu penuh dengan rencana-rencana proyek ratusan milyar apa lagi yang akan diajukan ke Banggar,sehingga lupa berhitung angka Rp. 8.124,- per hari per jiwa itu masih manusiawi atau tidak. Angka itu terlalu kecil sehingga sama sekali tak terlihat di deretan angka ratusan milyar. Nanti sajalah mereka dipikirkan, pas 2014 datangi tempat-tempat bermukin mereka, bagikan uang Rp. 10.000,- seorang dan sekantong plastik isi ½ liter beras kualitas rendah dan 5 bungkus mie instant, lalu panggil wartawan, maka itulah bentuk “kepedulian” mereka. Oh…, menyedihkan, mengenaskan dan memilukan!
Referensi :
http://id.berita.yahoo.com/bps-jumlah-penduduk-miskin-29-89-juta-orang-152415471.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H