Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hari Anti Korupsi Sedunia: Kita Memperingati atau Merayakannya?

9 Desember 2011   09:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:38 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

amenangi zaman édan, éwuhaya ing pambudi, mélu ngédan nora tahan, yén tan mélu anglakoni, boya keduman mélik, kaliren wekasanipun, ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang éling klawan waspada. (Ki Jayabaya, abad ke-12)

Itulah sebait ramalan pujangga besar tanah Jawa : Joyoboyo. Terjemahan bebasnya kurang lebih : Sempat mengalami kehidupan di jaman gila memang sulit dalam memilih penghidupan, demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bagaimana tidak, kalau ikut serta seperti yang dilakukan orang lain, maka akan susah dalam menjalankannya, rasanya seolah tidak akan tahan dan tak sesuai hati nurani. Demi tuntutan perut, daripada kelaparan, jika tidak mau melakukannya, maka tak akan memperoleh bagian apapun. Walau demikian, di jaman gila ini masih ada tuntunan yang menjadi kehendak Allah SWT, walau bagaimanapun menderitanya hidup di jaman gila, tatkala semua orang melakukan perbuatan jahat dalam memenuhi kebutuhan hidup, maka siapa pun yang tetap ingat akan dosa dan tidak lalai sedikitpun, maka ia akan hidup lebih beruntung/bahagia jika selalu ingat dan waspada kepada-Nya.

Tampaknya ramalan 9 abad lalu itu sangat relevan dengan kondisi di Indonesia saat ini. Ketamakan makin menggila, korupsi dan sejenisnya terjadi di semua sektor dan semua lini kehidupan. Yang tua, yang muda, yang berpendidikan tinggi, yang cuma lulusan sekolah rendahan, yang ngerti agama, yang gak kenal Tuhan, yang sudah kaya dari dulu, yang baru kaya, yang masih miskin, semuanya turut berpartisipasi meramaikan kompetisi korupsi. Buktinya apa? Lihat saja di kantor Pengadilan atau Kejaksaan, seorang cleaning service dan tukang parkir bisa jadi bagian dari makelar kasus. Di kantor pajak, pegawai rendahan pun bisa nyambi jadi mafia pajak kecil-kecilan.

Sejak 1993 sampai sekitar 4 tahun yang lalu, minimal sebulan sekali saya pasti jadi pelanggan terminal Purabaya, terminal terbesar di Surabaya, untuk menengok Ibu saya yang tinggal di Bondowoso. Sebelum masuk ke tempat pemberangkatan bis antar kota, calon penumpang wajib membeli tiket peron yang harganya 200 perak. Jika anda tak punya uang pas koin 200-an dan membayar dengan koin 500-an atau selembar 1000-an, jangan harap uang kembalian yang anda terima sesuai. Yang anda terima hanya 200 perak untuk kembalian koin 500-an dan 700 perak untuk kembalian uang 1000-an. Ini terjadi bertahun-tahun dan sudah saya jajal di semua loket (ada banyak loket) dengan petugas yang berganti-ganti, baik laki-laki, perempuan, sudah setengah baya hampir pensiun atau masih dua puluhan tahun usianya. Bayangkan, CUMA Rp. 100,-/orang, kalikan 3000 penumpang per hari. Itu hitungan hari kerja, kalo week end bisa 2x lipat jumlah penumpangnya. Kalo ada “harpitnas” lebih ramai lagi. Kalo jelang akhir tahun, musim liburan anak sekolah, Idul Fitri, Idul Adha, penumpang yang masuk bisa lebih dari 10.000 orang per harinya. Pada peak season, “pendapatan” dari korupsi recehan 100 perak bisa mencapai Rp. 1.000.000,- per hari bahkan lebih. Terminal itu beroperasi 365 hari dalam setahun. Berapa dana masyarakat yang diembat?!

Sopir angkot lain lagi. Ketika tarif angkot resmi Rp. 3.500,- untuk rute sedang, anda hanya akan menerima kembalian Rp. 1.000,- saja untuk selembar 5000-an yang anda bayarkan. Kalo sekali jalan ada 10 orang penumpang, Rp. 5.000,- bisa masuk kantong. Padahal, sepanjang jalan penumpang naik turun silih berganti dan sehari seorang sopir angkot bisa narik beberapa kali PP. Katakanlah dia bisa menangguk untung Rp. 20.000,- per hari, berapa dalam sebulan?

Lain lagi trik pedagang tempe yang mencampur bahan baku tempenya yang berasal dari kedelai kualitas rendah diberi pewarna dan cairan kimia entah apa. Pedagang beras juga tak mau kalah. Agar beras kualitas jelek bisa dijual seharga beras kualitas bagus, pemutih pakaian pun dicampurkan saat proses penggilingan gabah. Belum lagi taktik pedagang jajanan yang mencampur kue buatannya dengan boraks, formalin, mencampur minyak penggorengnya dengan lilin, plastik dari tas kresek bekas, dan aneka trik tipu-tipu lainnya.

Saya bukan hendak membahas modus-modus korupsi dan penipuan/ kecurangan di kalangan masyarakat bawah. Sekedar menggugah kita semua bahwa praktik curang, mark up, mengambil apa yang bukan menjadi haknya, mengurangi hak orang lain, itu terjadi di hampir semua lini masyarakat kita. Kalo soal kasus korupsi yang terjadi di birokrasi dan pemerintahan serta dikalangan politisi, sudah tidak perlu di bahas lagi, semua media massa sudah memberitakan.

Saya hanya ingin memberikan gambaran utuh postur korupsi di negeri tercinta ini. Jika semua orang sudah berlomba-lomba berlaku tak jujur bahkan untuk hal-hal kecil dengan jumlah yang tak seberapa tapi dilakukan setiap hari selama bertahun-tahun dan dianggap wajar, maka jangan harap akan mudah memberantas korupsi di negeri ini. Ketika rakyat kecil harus membayar sejumlah biaya tambahan demi mengurus KTP, KK, Surat Nikah, Akte Kelahiran, SKCK di Kepolisian, memperpanjang SIM, Surat Kehilangan di Polsek, dll, maka mereka yang sehari-hari penghasilannya sudah pas-pasan, akan memutar otak bagaimana caranya memperbesar pendapatan, dengan segala cara, dengan modus yang bisa dia lakukan.

Sementara di sisi lain : ketika mau ikut seleksi CPNS, mau masuk Polri, mau jadi tentara, mau diangkat jadi guru tetap setelah bertahun-tahun honorer melulu, semuanya butuh dana ekstra yang tidak sedikit, jangan heran kalo hasilnya kelak mereka berusaha mengembalikan “modal” yang sudah dikeluarkan. Jadi, korupsi sudah ibarat lingkaran setan yang melilit tubuh bangsa ini.

TERNYATA KITA ENJOY DENGAN KORUPSI, SUAP DAN GRATIFIKASI

Terkadang, karena tak punya waktu atau malas antri dan ikut prosedur, kita memilih jalan pintas untuk mengurus berbagai macam surat yang kita perlukan. Kadang pula karena memang kita tak mampu memenuhi persyaratannya. Ambil contoh anak kita yang baru lulus SMP, umurnya baru 14–15 tahun, minta dibelikan motor untuk keperluan transportasi ke sekolah. Membelikan motornya gak masalah, tapi giliran mengurus SIM, usia pun di manipulasi supaya memenuhi syarat. Untuk itu kita rela membayar lewat calo. Itu baru 1 contoh saja, masih banyak yang lain.

Ketika akan memasukkan anak ke sekolah dan kebetulan sekolah yang dituju termasuk sekolah favorit yang harus indent dulu, seringkali orang tua rela membayar lebih agar ada jaminan anaknya diterima. Mungkin kita lupa ini termasuk suap. Atau kali lain saat menjelang kenaikan kelas, kita tahu anak kita memang rada bandel dan malas belajar. Sebagai penebus rasa bersalah karena jarang bisa menemani anak belajar, maka orang tua merasa perlu mem-back up si anak agar nilai rapornya tak mengecewakan. Mulailah silaturahmi ke guru kelas sambil membawa bingkisan dan hantaran. Lagi-lagi kita lupa ini gratifikasi.

Di kantor, mungkin kita kebetulan dipercaya menempati posisi yang punya kewenangan untuk memilih vendor dan supplier bagi perusahaan tempat kita bekerja. Atau kita punya kewenangan melakukan appraisal terhadap rekanan. Sekali waktu mungkin pernah menerima harga diskon yang diberikan diluar harga yang telah diperjanjikan. Atau kita menerima “uang administrasi” dari rekanan yang sedang kita survey. Tanpa sadar kita sudah ikut korupsi dan menerima gratifikasi.

Di Metro TV semalam, saya mendengar pengakuan K.H.Hasyim Muzadi, mantan Ketua PBNU yang pernah jadi Cawapres mendampingi Bu Mega tahun 2004. Beliau cerita, pernah memberikan penyuluhan kepada warga agar mewaspadai “serangan fajar” saat menjelang hari H pencoblosan. Apa jawab warga? “Nah, itu dia yang kita tunggu-tunggu Pak Kyai!” Nah lho!

Saya pernah dapat cerita dari teman, sejumlah konstituen parpol besar, setiap tanggal 5 berkumpul di Gedung DPRD Kota Surabaya. Untuk menyampaikan aspirasi? Oh tidak! Ternyata itu tanggal gajian anggota DPRD. Konstituen yang merasa telah ikut berjuang memenangkan dan mempertahankan si caleg agar bisa tetap duduk di kursi DPRD, akan menagih imbalan. Itu yang rutin, yang non rutin banyak lagi! Tiba saat lebaran, banyak sekali konstituen yang menagih “THR” dari anggota dewan yang mereka dukung. Belum lagi setiap event parpol seperti Munas, Muscab, Muskerwil, Rakornas, dan entah apa lagi rapat partai, para anggota dewan itu akan dibebani kewajiban membiayai. Kalo sudah begini, cukup logis kan kalo anggota dewan mulai dari daerah sampai pusat korupsi? Maaf, ini sama sekali bukan pembelaan. Yang sering membaca tulisan saya tentu paham sikap saya terhadap korupsi. Tapi disini saya hanya ingin membukakan mata kita semua, bahwa dalam banyak hal, masyarakat ikut andil menyuburkan dan melestarikan korupsi.

Ternyata, kita enjoy dengan “budaya” seperti itu. Seperti Irjen Pol. Aryanto Sutadi bilang gratifikasi itu sudah menjadi bagian budaya, ternyata korupsi, suap, manipulasi, juga sudah melembaga di mana-mana. Dalam ajang Pilkada sebuah Kota, saya pernah mendengar cerita teman tentang pasangan Cawali yang “murah hati”. “Bayangkan, ibu-ibu majelis taklim di kampungnya saja dapat bagian 1 stel busana muslimah lengkap, kerudungnya pun dari bahan yang bagus”, ujarnya. Yang lain lagi cerita : “kalo datang ke kampanye beliau, amplopnya gede. Calon yang lain mah pelit!” Dan..., ketika tiba saat perhitungan suara, benar saja calon tersebut menang! Padahal, warga di kota itu tahu, ayah dari Cawali itu yang juga mantan Walikota disana disinyalir terlibat korupsi. Lalu kenapa sekarang anaknya dipilih?! Karena murah hati?! Karena pemberiannya yang disukai warga?!

TAKUT GAK “KEDHUMAN”

Katanya bangsa ini jaman dulu dikenal punya budaya adiluhung, suka tolong menolong tanpa pamrih, jujur. Lalu kemana larinya semua karakter itu? Kenapa hanya ada di buku PMP jaman saya SD 30 tahun lalu? Sekarang, tak ada uang tak bakal jalan! Ya, inilah jaman edan yang disebut Joyoboyo itu. Semua orang berlomba-lomba melakukan kegilaan. Makin gila, makin “sukses” dia secara parameter duniawi. Makin tak tahu malu, makin banyak yang bisa diembat. Kalau tidak ikutan ngedan, ya gak bakalan kedhuman alias gak kebagian. Sementara yang bertahan mencoba jujur, malah ajur alias hancur tergilas roda zaman. Lihatlah bocah SDN Gadel 2 Surabaya yang orang tuanya melaporkan kasus contek massal. Meski si anak terbukti lulus dengan nilai terbaik, tapi orang tuanya dimusuhi warga sekampung, rumahnya nyaris diserbu massa sampai harus mengungsi. Dalam banyak kasus korupsi, si pelapor justru berbalik jadi tersangka pencemaran nama baik (oh, saya baru tahu koruptor ternyata punya nama baik). Korban sedot pulsa, justru diadukan balik oleh content provider yang merampok pulsanya. Maka benarlah kata Joyoboyo : yang tidak ikut ngedan, bakalan tak tahan (oleh tekanan), tapi berperang dengan hati nurani.

Katanya kita bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Semua percaya pada Tuhan, semua yakin bahwa rejeki itu berasal dari Tuhan. Lalu kalo begitu, kenapa banyak diantara kita yang seolah tak percaya Tuhan itu Maha Adil dan tidak pernah mendzholimi hambaNYA? Kenapa kita masih saja berlaku curang demi melariskan dagangan? Kenapa kita rela menyuap demi melapangkan jalan karir atau demi sekolah anak kita? Kenapa kita tidak malu mengambil apa yang bukan hak kita hanya supaya bagian kita lebih banyak? Bukankah Tuhan sudah menentukan takarannya?

Saya jadi ingat, beberapa tahun lalu – saya lupa tahun berapa, mungkin 2008 – KPK pernah melakukan sidak di sebuah kantor Bea dan Cukai. Semua tempat di geledah dan hampir di semua benda ditemukan amplop uang yang disembunyikan. Di laci meja kerja, di ordner file, di kardus bekas ATK, di balik lemari, di lipatan kaos kaki, bahkan..., di bawah karpet di musholla, karena pegawai yang bersangkutan “bertransaksi” selepas sholat Isya. Hmm..., rupanya Tuhan hanya ada saat sholat saja, speechless deh!

Sekarang kita tahu kan bahwa yang korup itu bukan hanya yang di atas? Yang korup itu bukan hanya pejabat? Bawahan dalam tingkatannya masing-masing pun melakukan apa yang bisa mereka korup. Gayus Tambunan tak pegang jabatan struktural, tapi dia bisa meraup puluhan milyar. Temuan PPATK terbaru soal 10 rekening gendut PNS, semuanya milik mereka yang masih muda usia dan baru golongan III B. Bahkan ada 2 orang yang masih berumur 28 tahun, masa kerjanya masih pendek, rekeningnya sudah belasan milyar. Di negeri ini semua generasi pintar korupsi. Jangan-jangan, kita yang berteriak-teriak memaki koruptor di DPR ternyata lebih korup dari mereka. Ambil contoh saja petugas penjualan tiket di terminal Purabaya yang saya ceritakan tadi. Mereka PNS rendahan, tanpa syarat pendidikan dan tanpa pangkat apapun, bisa korupsi ratusan ribu setiap hari sepanjang tahun selama bertahun-tahun. Kalo saja dia ada di posisi anggota DPR yang punya kewenangan menyusun anggaran, berapa ratus milyar yang bakal dia embat?

Ah sudahlah..., saya tidak ingin mengadili orang lain. Saya juga sedang introspeksi diri, apakah selama 18 tahun lebih bekerja saya pernah melakukan korupsi meski kecil-kecilan. Kalo iya, saya harus segera bertobat. Kalo belum, saya harus memohon pada Tuhan agar membimbing saya tidak ikut ngedan di jaman edan. Saya ingin, suatu saat nanti, Indonesia ikut merayakan Hari Anti Korupsi Sedunia. MERAYAKAN! Karena saat itu Indonesia sudah bisa dibilang bebas korupsi, atau setidaknya relatif bersih. Mungkin saat itu tiba kelak, ketika usia saya mulai renta. Tidak apa, anak cucu kita yang menikmatinya. Maka dari itu, sedari sekarang, ayuk kita didik diri kita, keluarga kita, anak kita, menjauhkan diri dari kebiasaan perilaku biang keladi korupsi.

Hari ini kita baru sekedar memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia. Memperingati saja, karena Indonesia bersih baru sebatas angan-angan. Dan bisa jadi pesimis kalo kita masuk lebih jauh ke semua lapisan masyarakat, ternyata anak sebar “kanker” korupsi itu sudah menjalar kemana-mana. Setidaknya, kalo kita tak berdaya mencegah korupsi dalam skala besar, mari kita cegah korupsi dalam skala kecil di lingkungan kita. Kalo ada 1000 orang berpikiran sama dengan kita, lalu menular pada 10 orang disekitarnya dan seterusnya, minimal kita butuh 100 juta rakyat Indonesia yang anti korupsi dan rela tidak ikut-ikutan ngedan melakoninya. Percayalah, anda tetap kedhuman kok, minimal kebagian nama baik yang tidak tercela. Yuuuk...maree...!

Catatan : bait ramalan Jayabaya dan terjemahannya diambil dari http://www.hastamitra.org/2011/04/ramalan-ronggowarsito-lengkap.html

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun