[caption id="attachment_247982" align="aligncenter" width="600" caption="Ujian Nasional (foto : jogja.antaranews.com)"][/caption]
Hari ini siswa SMA/Madrasah Aliyah/SMA LB/SMK semuanya sedang menghadapi Ujian Nasional. Tapi ternyata tak semuanya, ada 11 Propinsi di Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara yang terpaksa harus menunda jadwal UN sampai hari Kamis nanti. Itupun kalau distribusi soal dari percetakan bisa lancar sesuai rencana. Di Metro TV pagi tadi, seorang penelpon yang terlibat langsung dalam urusan UN bercerita “behind the scene” kenapa soal itu sampai terlambat di cetak. Kabarnya, ada kontribusi DPR yang terlambat mencabut tanda ‘bintang’ pada mata anggaran untuk UN, sehingga molor dari jadwal semula.
Jaman saya sekolah dulu, UN sebutannya EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Tidak semua mata pelajaran di-Ebtanas-kan. Karena itu ada EBTA dan EBTANAS. Yang diujikan secara nasional, seingat saya : PMP, Agama, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika dan Kimia (kebetulan saya jurusan A1, jurusan Ilmu-Ilmu Fisik). Kendati namanya Ebtanas – ada embel-embel kata “nasional” – tapi soal-soal EBTA tidak benar-benar dibuat secara terpusat dan berlaku secara nasional. Ada rayon-rayon yang dibentuk untuk membuat soal EBTANAS.
Untuk tiap mata pelajaran, masing-masing sekolah diminta mengutus seorang guru mata pelajaran tersebut, untuk bersama-sama membuat kisi-kisi soal dan sekaligus membuat bank soal. Hasil kerja dari guru mata pelajaran di tingkat kabupaten/kota ini diteruskan ke tingkat karesidenan, lalu disaring lagi dan diteruskan ke tingkat propinsi. Seingat saya, soal EBTANAS digodok hanya sampai di level Propinsi dengan mempertimbangkan masukan dari materi bank soal dari berbagai daerah. Masing-masing rayon inilah yang menyusun soal EBTANAS, mencetak dan menggandakan serta mendistribusikannya sampai ke seolah-sekolah di tingkat kabupaten/kota.
Seperempat abad yang lalu infrastruktur jalan tak sebaik sekarang, moda transportasi tak sebanyak sekarang – sekolah yang memiliki mobil pribadi saja jarang – dan tentu saja fasilitas komunikasi yang ada hanyalah telepon dari Telkom, itupun belum tentu semua sekolah memilikinya. Kendati begitu, tak pernah terdengar kabar soal terlambat sampai di sekolah karena berbagai kendala. Pada hari yang ditentukan, semua memulai Ebtanas pada hari dan tanggal yang sama.
Tingkat kebocoran soal pun sangat kecil dan nyaris tak pernah terdengar. Dengan sistem rayon seperti itu, guru-guru mata pelajaran seolah mendapat amanah dan kepercayaan untuk ikut menjaga soal agar tak bocor. Inilah yang banyak dilupakan para pembuat keputusan jaman sekarang : pelibatan partispasi dan kontribusi guru-guru lokal, akan membuat mereka lebih bertanggung jawab secara moral. Jika penyusunan soal sudah bottom-up seperti itu, aspirasi sekolah merasa sudah ditampung, jadi tak ada kekuatiran berlebihan dari guru sekolah bahwa siswanya bakal kesulitan mengerjakan soal yang sama sekali materinya belum diajarkan di sekolah mereka.
[caption id="attachment_247983" align="aligncenter" width="448" caption="Ujian Nasional jaman sekarang sudah modern lembar jawabannya. Ebtanas jaman dulu lembar jawabannya disilang dengan alat tulis dan dilubangi untuk kunci jawaban. (foto : omriindonesia.com)"]
Lebih dari itu semua, materi ajar rekatif lebih baku ketimbang sekarang. Dulu ada yang namanya buku paket. Di tingkat SD buku-buku paket itu diterbitkan oleh Balai Pustaka dan tersedia di mana-mana. Siswa yang ortunya mampu bisa membeli di toko buku manapun, sedang siswa yang tak mampu membeli, biasanya dipinjami pihak sekolah yang harus dikembalikan saat akhir catur wulan/semester. Di level SMP dan SMA, buku paket memang tak lagi terbitan BP yang dibagikan gratis. Siswa tetap harus membeli di toko buku, hanya saja bukunya dari tahun ke tahun relatif sama, sehingga tak semua buku harus dibeli, bisa dipinjam dari kakak kelas atau tetangga yang lebih tua. Kalau pun ada buku teks tambahan, biasanya itu hanya pegangan guru saja dan hanya diberikan dalam bentuk catatan kepada siswa, sekedar untuk menambah wawasan siswa.
Kalau “bahan baku”nya sudah standar, relatif tidak sulit menstandarkan hasil akhirnya. Saya dan teman-teman umumnya sudah familiar dengan soal-soal yang akan keluar dalam EBTANAS. Hanya tingkat kesulitannya saja yang bervariasi. Jaman sekarang, ujian akhir distandarkan secara nasional, sementara “bahan baku”nya beragam. Tak ada lagi buku paket, jangankan antar kota, antar sekolah se-kota saja sudah berbeda bukunya, tergantung penerbit yang bekerjasama dengan masing-masing sekolah. Bahkan buku tahun lalu sudah tak laku lagi tahun ini dan tahun depan sudah pasti akan ganti buku baru lagi. Belum lagi faislitas dan sarana belajar tiap sekolah yang sangat berbeda antar sekolah, pun juga kualitas guru-gurunya. Nah, dengan kondisi di hulu yang disparitasnya sangat tinggi, mungkinkah menstandarkan mutu di hilir hanya dalam bentuk UN 4 hari saja dan jadi standar kelulusan siswa?
[caption id="attachment_247984" align="aligncenter" width="343" caption="Buku paket pelajaran Fisika jaman saya sekolah dulu (foto : asnugroho.wordpress.com)"]
Mungkin inilah yang menyebabkan UN jadi momok baik bagi siswa maupun guru dan sekolah. Sekolah seolah mempertaruhkan gengsinya jika prosentase kelulusan siswa rendah. Guru-guru pengajar pun tak mau disalahkan, karena itu ada sebagian guru yang mati-matian berusaha mendongkrak nilai siswanya. Siswa apalagi, mereka sejak jauh-jauh hari sudah dihantui momok UN ini sampai stress nasional. Belum lagi eksploitasi besar-besaran atas issu UN, dibalut dengan acara doa bersama, istighosah, maaf-maafan yang berlebihan sampai mencuci kaki orang tua, bertangis-tangisan sampai terjadi histeria massal segala.
Jaman saya Ebtanas dulu, nervous sudah pasti, waswas dan dagdigdug juga wajar. Tapi tak sampai memicu stress, tak ada tangis-tangisan. Berdoa pun tak perlu dimassalkan, semua guru hanya menasehati dan menghimbau agar siswa begini dan begitu, tak lupa berdoa sebelum mulai mengerjakan soal, tapi tak sampai disakralkan dan dimobilisir, perasaan siswa dibawa sampai titik tertentu dimana mereka dipaksa mengingat beban kenakalan mereka sebagai anak. Tapi saya percaya, bahkan teman saya yang nakal pun mendekati Ebtanas mereka pun mau tak mau tersadar untuk belajar dan mempersiapkan dirinya. Pada dasarnya rasa tanggung jawab itu tumbuh dengan sendirinya.
[caption id="attachment_247985" align="aligncenter" width="290" caption="Buku biologi jadul (foto : asnugroho.wordpress.com)"]
Saat Ebatanas berlangsung, pengawas dicampur antara guru sekolah tersebut dengan guru dari sekolah lain dalam satu kota. Tapi tak ada suasana menegangkan, apalagi kecurangan jaman dulu paling-paling hanya mengandalkan kertas contekan, maklum belum ada gadget, HP saja belum ada. Hasil Ebtanas, yaitu lembar jawaban, langsung dimasukkan amplop dan dibawa ke panitia sub rayon, untuk dikoreksi silang. Misalnya mata pelajaran Matematika dari SMA X akan dikoreksi oleh guru Matematika dari SMA Y. Meski koreksi dilakukan secara manual, tidak terkomputerisasi karena komputer masih barang mewah yang langka, namun kecurangan dan saling menjatuhkan tidak terjadi. Guru sekolah tetap punya hak untuk mengkoreksi ulang nilai siswa yang dianggap janggal. Misalnya jika siswa yang jagoan mata pelajaran matematika, mendapat nilai jelek pada mata pelajaran itu. Sebaliknya, guru pengajar akan sangat bangga kalau ada siswanya yangmendapat nilai bagus, karena kabar itu didengarnya dari koleganya di sekolah lain yang mengkoreksi.
Di jaman saya dulu bukan tak ada siswa yang hamil di luar nikah. Meski saya tinggal di kota kecil yang sepi dan jauh dari gemerlap keramaian pergaulan anak muda, tapi namanya siswa yang “melenceng” tetap saja ada. Dulu ada sepasang sejoli di angkatan saya – sebut saja namanya Damar dan Wulan – yang sudah lengket kayak perangko sejak kelas 1 SMA, bahkan katanya mereka sudah pacaran sejak SMP. Dari berangkat sekolah samapi pulang sekolah, Damar dan Wulan selalu bersama. Meski sekolah sudah memisah kelas mereka, tapi begitu bel berbunyi tanda istirahat, Damar menuju kelas Wulan atau sebaliknya. Sudah tak terhitung berapa kali guru BP memanggil keduanya dan mengingatkan mereka agar tak terlalu vulgar dalam berpacaran.
Alhasil, menjelang akhir semester 5 – kelas 3 SMA – Wulan sering sakit dan wajahnya tampak pucat. Wulan malah tak sempat ikut ujian akhir semester, kabarnya dia ikut orang tuanya pindah ke Kalimantan. Ortu Wulan memang sejak lama tinggal di Kalimantan dan Wulan tinggal bersama neneknya di kota kami. Jadi aneh saja kalau hanya 4 bulan sebelum Ebtanas Wulan justru mau pindah ke Kalimantan. Ternyata, belakangan kami baru tahu kalau Wulan hamil dan diasingkan di dalam rumah neneknya. Damar tetap melanjutkan sekolah sampai selesai Ebtanas. Tak pernah ada pernikahan resmi antara keduanya sebelum Damar lulus.
[caption id="attachment_247986" align="aligncenter" width="305" caption="Pada kurikulum 1987, buku-buku terbitan Ganeca Exact banyak jadi acuan di SMA-SMA (bukubahasaindonesia.blogspot.com)"]
Jaman dulu, anak-anak bermasalah seperti Damar dan Wulan, tahu diri dan merasa malu. Ya, hamil di luar nikah jaman dulu masih dianggap aib yang harus ditutupi. Karena itu, tak perlu sekolah mengeluarkan mereka, dengan sendirinya mereka sudah mengundurkan diri. Beda dengan jaman sekarang : sudah jelas dalam aturan tata tertib dan disiplin sekolah dicantumkan klausul siswa dilarang hamil dan menikah, lalu disepakati 3 pihak – sekolah, siswa dan orang tua/wali siswa – ketika ada siswa yang melanggar kemudian hamil atau menghamili dan terpaksa menikah, di saat sekolah akan memberikan sanksi dikeluarkan atau dikembalikan kepada orang tua, siswa berteriak lantang : HAM-nya untuk memperoleh pendidikan telah dirampas oleh sekolah!
Tak jarang kasusnya kemudian dipolitisir, lapor ke sana ke mari, seolah tak punya malu bahwa mereka melanggar aturan dan sudah berbuat sesuatu yang dilarang agama dan melanggar norma masyarakat, malahan menuntut sekolah agar diijinkan ikut UN. Dengan dalih HAM-nya dilanggar, siswa kemudian menjelek-jelekkan sekolahnya, melaporkan kepala sekolah dan guru kelasnya, seolah kebenaran di pihaknya. Sungguh beda jauh dengan etika dan mentalitas siswa jaman saya sekolah dulu. Mereka sudah menyadari kesalahannya dan tidak menambah berat kesalahannya dengan mempermalukan guru dan sekolah. Mereka sadar itu perbuatan dan kemauan mereka sendiri yang tanggung jawabnya harus dipikul sendiri. Tak perlu balik menuntut sekolah.
Beberapa tahun setelah lulus SMA dan kebetulan pulang kampung usai ujian semester di kampus, saya sempat melihat Damar dan Wulan lewat depan rumah saya. Damar menggendong seorang bocah usia 2-3 tahunan dan Wulan berjalan di sampingnya sambil memgang balon mainan dan sesekali menggoda anak dalam gendongan Damar. Tampaknya mesra, sama seperti ketika mereka pacaran di sekolah dulu. So..., tak ada masalah bukan Wulan tak ikut Ebtanas dan tak punya selembar ijazah SMA? Padahal jaman dulu belum ada jalur ujian Paket C sebagai solusi.
Entah kemajuan atau kemunduran yang terjadi dalam dunia pendidikan kita dengan kurikulum yang terus berubah dari waktu ke waktu. Yang jelas, saya melihat bersekolah sekarang seolah sudah jadi beban bagi siswa. UN jadi momok bagi semua unsur : siswa, ortu, guru, sekolah. Kalau begitu, tampaknya lebih enak sekolah jaman dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H