Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Century, Apa Kabarnya Setelah Lewat 3 Tahun? (Catatan dari Kopdar dan FGD Kompasianer Kanal Politik)

19 November 2012   18:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:03 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_217149" align="aligncenter" width="615" caption="Peserta Kopdar dan FGD tentang kasus Bank Century di DeResto Cafe, Pasar Festival Kuningan, Minggu 18 Nopember 2012 kemarin. (foto koleksi pribadi)"][/caption]

Besok, Selasa, 20 Nopember 2012, Timwas Century DPR akan memanggil Pimpinan KPK untuk menjelaskan perkembangan penyelidikan kasus bail out Bank Century. Karena itu, Senin hari ini KPK melakukan gelar perkara atau expose atas kasus ini. Dari hasil gelar perkara inilah KPK akan menentukan apakah ada cukup bukti (setidaknya ada 2 alat bukti) untuk meningkatkan status kasus ini menjadi penyidikan, apakah ditemukan adanya indikasi korupsi dalam proses bail out, dll. Sampai Senin jam 9 malam, saat saya menulis artikel ini, gelar perkara masih belum selesai. Sebegitu sulitnya kah bagi KPK yang sudah memeriksa 96 saksi untuk menemukan indikasi korupsi?

Hari Minggu kemarin, beberapa Kompasianer yang aktif menulis di kanal politik dan hukum, utamanya yang pernah menulis atau aktif berkomentar seputar topikkasus bail out Bank Century, diundang kopdar sekaligus berdiskusi dalam format FGD (Focused Group Discussion). Pengundang adalah Mas Gun Gun Heryanto, yang juga seorang Kompasianer yang sudah hampir 3 tahun bergabung di Kompasiana. Beliau sehari-harinya adalah dosen tetap Komunikasi Politik UIN Jakartadan Universitas Paramadina. Juga aktif di Komunitas The Political Literacy Institute. FGD ini ditujukan untuk penyelesaian riset Desertasi Program Doktor Ilmu Komunikasi Konsentrasi Komunikasi Politik di Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung. Sehingga semua pernyataan peserta diskusi dikategorikan sebagai pernyataan akademis dan bukan pernyataan politis. Dibantu oleh Admin Kompasiana, Mas Shulhan Rumaru, acara itu terselenggara juga meski hujan deras disertai angin sempat mengguyur kota Jakarta sehingga hampir semua peserta diskusi terlambat datang, bahkan sebagian besar berhalangan hadir.

Diskusi ini difokuskan pada perspektif Kompasianer terhadap kasus Century khususnya terkait dengan pandangan dan persepsi politisnya terhadap Pemerintahan SBY – Boediono. Hadir pula Pak Djohan Suryana, seorang praktisi perbankan yang sudah lebih dari 20 tahun berkarir di bank swasta sejak dekade tahun ’70-an. Mendapatkan giliran berbicara pertama kali, Pak Djohan menjelaskan sudut pandangnya sebagai orang bank, beliau menilai sebenarnya sebuah bank yang collapse lalu di bail out dalam artian semua simpanan nasabah dijamin (dibayar) oleh Pemerintah, itu adalah hal yang wajar demi menjaga kepercayaan masyarakat pada perbankan. Masalahnya, kenapa hanya dilakukan pada Bank Century saja? Mungkinkah deposan-deposan besar Century adalah para politisi? Atau setidaknya dana yang tersimpan disana adalah dana milik politisi/parpol?

Beliau menyoroti, sebuah bank biasanya memiliki pinjaman pada bank-bank lain. Tak terkecuali Century. Kalau saja Century dibiarkan tak di bail out, bisa saja akan berdampak dana pinjaman pada bank lain itu akan macet dan bank-bank lain yang menjadi kreditornya pun akan kesulitan membayar dana nasabah mereka. Artinya : potensi untuk berdampak “sistemik” itu bisa jadi ada. Hanya saja, dampak itu tak terjadi karena Century sudah di bail out. Susah membuktikan apakah benar Century berdampak sistemik, sebab faktanya setelah di bail out memang tak terjadi apa-apa. Pertanyaannya sebenarnya : bagaimana kalau Century tak di bail out? Apa kira-kira yang akan terjadi? Bank mana saja yang akan terkena dampaknya dan deposan mana saja yang akan kehilangan uangnya? Tapi ini semua tak bisa diungkan karena bailout sudah terlanjur dilakukan.

[caption id="attachment_217150" align="aligncenter" width="620" caption="Topik Kompas.com hari ini pun soal Century (foto : Kompas.com)"]

13533473501296193394
13533473501296193394
[/caption]

Pak Aji Najiyullah Thaib berpendapat: taktik membangun bank lalu dihancurkan sebenarnya bukan modus baru. Di penghujung dekade ’80-an pasca kebijakan deregulasi perbankan, dimana ada kemudahan untuk mendirikan bank, banyak bank-bank yang didirikan hanya untuk menjadi “brankas” bagi pengusaha pemilik bank itu. Modal pendiriannya adalah pinjaman, lalu dengan modalsedikit itu mendirikan bank, mengumpulkan dana masyarakat, lalu uang itu diputar ke kelompok usahanya sendiri, jika usahanya gagal, maka tinggal dibangkrutkan saja bank itu. Maka, modus “merampok”bank oleh pemiliknya sendiri seperti yang terjadi pada bank Century adalah modus paling gampang untuk mendapatkan uang.

Saya sendiri sebagai orang awam masalah perbankan dan moneter, melihat adanya ketidak-wajaran kasus Century ini salah satunya dari sikap dan pernyataan Sri Mulyani Indrawati, yang saat itu berperan sentral. Nopember 2008 saat pengucuran dana besar-besaran ke BC dilakukan, posisi SMI adalah Menteri Keuangan sekaligus PLT Menko Perekonomian. Ia juga Ketua KSSK. Sri Mulyani dikenal sebagai akademisi yang cerdas, profesional, tangguh, punya integritas dan rekam jejak yang bersih. Saya yakin SMI bukanlah seorang koruptor yang rela kongkalikong dengan pengusaha busuk hanya untuk menilep beberapa milyar rupiah ke kantong pribadinya dengan mengorbankan integritasnya. Apalagi, SMI berkali-kali menekankan – bahkan ketika di panggil DPR pun – bahwa dirinya hanya bertanggungjawab atas bailout senilai Rp. 600-an milyar saja. Bahkan di tahun 2009 ketika kasus ini meledak, beredar kabar bahwa SMI sempat protes pada Boediono – Gubernur BI ketika itu – kenapa dana yang harus digelontorkan bisa membengakak 10x lipat.

Nah, pengakuan SMI yang menolak bertanggungjawab atas dana Rp 6,7 T ini,menunjukkan bahwa ada “pihak lain” yang harus bertanggungjawab. Pihak yang telah memaksanya menyetujui. Hanya saja sangat disayangkan SMI tak menyebut “siapa” yang bertanggungjawab atas sisanya,kalau ia hanya mau bertanggung jawab untuk yang 600-an milyar saja. Bisa jadi SMI mengambil keputusan dalam tekanan, ia tak punya pilihan lain. Seorang profesional yang berintegritas, tak akan bertindak konyoltanpa pertimbangan yang matang, jika saja tak ada “kekuatan besar” yang memaksanya. Kekuatan besar yang tak mau mengerti dengan pertimbangan profesional. Dan rasa-rasanya tak ada kekuatan lain yang lebih digdaya selain kekuatan politik. Seorang profesional pasti akan bertindak prudent karena ia tahu resiko keputusannya dan dampak hukum yang harus ditanggungnya. Sedangkan seorang politisi akan melakukan apa saja untuk kepentingan politis, sebab resikonya akan ditutup dengan cara politis pula. Masalahnya, siapa atau apa kekuatan politis yang telah menekan SMI sehingga akhirnya mengucurlah total Rp. 6,7 T dalam 4 tahap.

[caption id="attachment_217151" align="aligncenter" width="533" caption="Siapa yang harus bertanggung jawab? (foto : rimanews.com)"]

13533474471880425312
13533474471880425312
[/caption]

Sedangkan Pak Irwan menekankan perlunya disoroti pula peran Agus Martowardoyo yang saat itu menjabat Dirut Bank Mandiri, dimana BC saat itu juga dalam supervisi Bank Mandiri. Adapun Pak Wijaya Kusumah alias Omjay menilai, sangat tak mungkin untuk kasus sebesar itu seorang pemimpin (dalam hal ini Presiden) tidak tahu menahu. Sebab Menkeu SMI selalu melaporkan semua tindakan dan keputusannya kepada Presiden. Bertolak dari sudut pandang inilah, Pak Djohan menambahkan, mungkin konstruksi berpikir kita perlu dibalik : mungkinkah instruksi bailout BC itu justru datangnya dari Presiden? Sebab biasanya anak buah akan melakukan apa saja jika boss besar yang memerintahkan. Tampaknya hipotesa ini tidaklah mustahil, apalagi jika dikaitkan dengan pengakuan Antasari Azhar beberapawaktu lalu kepada Metro TV yang mewawancarainya secara eksklusif dari dalam penjara. Hanya saja, saat didengar keterangannya oleh Timwas Century di DPR, Antasari kemudian meralat pengakuannya. Sesuatu yang sangat disayangkan, meski sebenarnya wajar mengingat posisi Antasari sebagai terpidana 18 tahun penjara.

Kesempatan terakhir diberikan pada Bang Iwan Piliang yang memang datang sedikit telat. Bang Iwan menilai kasus BC ini akibat dari para pengelola negara yang tak punyahati nurani. Bayangkan, bagaimana sebuah keputusan mengubah regulasi CAR minimum (Capital Adequacy Ratio = rasio kecukupan modal) sebuah bank dari yang semula +8 menjadi 0 (nol) serta perubahan Legal Lending Limit dilakukan oleh seorang Doktor bidang ekonomi moneter yang punya integritas. Sedikit banyak ada kesamaan pemikiran saya dengan Bang Iwan.hanya saja saya lebih menyoroti SMI, sedang Bang Iwan menyoroti Boediono. Artinya, seorang akademisi berintegritas dan praktisi yang profesional, bisa tiba-tiba melakukan kebijakan yang konyol. (tambahan : meski akhirnya kebijakan itu menjadi kontradiktif sebab BI beralasan BC harus terus di bail out demi mendongkrak CAR-nya yang minus menjadi +8. Saya pernah menuliskannya di SINI.)

Banyak sisi-sisi gelap proses bailout BC yang sulit dikuak karena bisa saja semua barang buktinya telah dilenyapkan. Banyak pihak yang berkepentingan demi langgengnya sebuah kekuasaan. Bang Iwan juga menyayangkan bahwa dulu Bawaslu sudah sempat melaporkan kejanggalan dana kampanye SBY kepada Kepolisian RI, hanya saja laporan itu ditolak oleh Kabareskrim. Anda tahu kan siapa Kabareskrim saat itu? Yang namanya sempat ngetop ketika kasus Century ini awal mula mencuat di tahun 2009. Dari semua diskusi ini, Kompasianer menyimpulkan bahwa konstruksi kasus hukum Century ini akan terus mengambang setidaknya sampai 2014.

--------------------------------------------------------

[caption id="attachment_217152" align="aligncenter" width="285" caption="Kepentingan mereka inilah yang seharusnya diprioritaskan (foto : eramuslim.com)"]

13533479391811725282
13533479391811725282
[/caption]

Kini, kita tunggu saja hasil gelar perkara KPK. Akankah segera ada calon tersangka? Senin pagi saya menonton dialog tentang kasus ini di Metro TV, Johan Budi (Jubir KPK) mengatakan ada kabar bahwa Ibu Siti Fajriyah, mantan Deputy Gubernur BI, yang menjadi saksi kunci kasus bail out BC kini sudah bisa memberikan keterangan. Proses penyelidikan memang sempat terhambat sebab Ibu Siti Fajriyah menderita sakit stroke sehingga tak bisa dimintai keterangan. Wakil nasabah Century yang dananya masih terkatung-katung sampai sekarang, merasa sedikit lega jika Ibu Siti Fajriyah sudah bisa memberikan keterangan, sebab beliau dianggap tahu banyak soal kebijakan itu dan masih bisa dipercaya, tidak terkooptasi kekuatan politis.

Tentunya akan sangat aneh jika sudah memasuki tahun ke-4 ini KPK masih saja belum menemukan bukti indikasi korupsi dalam kasus ini. Padahal dulu yang pertama kali mengangkat kasus ini justru KPK. Tapi KPK di era Antasari, sebelum ia dikriminalkan sebagai otak pelaku pembunuhan. Antasari pula yang mengaku bahwa ketika dirinya ditangkap, laptopnya ikut pula disita, dimana Antasari meminta kembali laptopitu karena tak terkait kasus yang dituduhkan padanya, tapi kenyataannya laptopitu tak pernah kembali ke tangan Antasari.

Akankah kasus ini terus gelap dan berbelit-belit seperti lingkaran setan? Sampai kapan nasabah Century akan terus merana tanpa kepastian uangnya bakal kembali? Bukankah alasannya BC di bail out demi menjamin uang nasabah kembali? Lalu kenapa nasabah yang benar-benar menyimpan uangnya di sana justru tak mendapatkan uang mereka, sementara pengusaha kakap yang sama sekali tak pernah berurusan dengan Century justru mendapat transfer ratusan milyar rupiah seperti pengakuan pengacaranya dalam acara ILC di TV One beberapa waktu lalu?

Sampai kapan kasus BC ini akan terus jadi misteri tak terpecahkan? Saya jadi ingat, skandal watergate yang akhirnya memaksa Presiden Richard M. Nixon mundur terungkap karena adanya keterangan “the deep throat”. Siapa narasumber ini, dirahasiakan oleh 2 jurnalis The Washington Post. Rakyat Amerika baru tahu siapa sebenarnya the deep throat ini setelah pada Mei 2005 yang bersangkutan mengaku kepada majalah Vanity Fair. Mantan pejabat FBI, W.Mark Felt ini merasa perlu memberikan pengakuan sebenarnya sebagai katarsis karena usianya saat itu sudah 91 tahun. Ia takingin membawa rahasia itu sampai akhir hayat. Mantan orang nomor 2 di FBI inilah yang membantu Bob Woodward dan Carl Bernstein, wartawan Washington Post membongkar skandal Watergate pada tahun 1972. Lebih 30 tahun kemudian baru saksi kunci berani membuka mulut.

Akankah demi stabilitas politik, maka para profesional berintegritas yang sebenarnya tahu banyak tentang Century juga akan menutup mulut rapat-rapat bahkan meski sudah terjadi pergantian Pemerintahan di 2014 sekalipun? Entahlah, politik memang sangat tak bisa ditebak arah penyelesaiannya. Sejarah saja bisa direkayasa sesuai kehendak penguasa, apalagi Cuma soal uang. Karena itu, seyogyanya penyelesaian kasus Cnetury benar-benar dibawa ke jalu rhukum, jangan lagi dicampuri dengan solusi politis yang ujung-ujungnya hanya barter kepentingan semata. Kepentingan untuk sama-sama melanggengkan kekuasaan. Kasihan para nasabah Century.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun