Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Caleg Bagi-bagi Uang Versus Caleg Berbuat untuk Masyarakat

11 April 2014   19:07 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:47 1454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_319577" align="aligncenter" width="576" caption="foto : www.tribunnews.com"][/caption]

Kamis pagi, sehari pasca Pileg, semua stasiun TV didominasi berita soal Pileg. Menariknya, meski penghitungan suara belum tuntas, sudah ada kabar caleg stress. Seorang caleg dari suatu daerah di Jawa Barat dikabarkan depresi berat ketika tahu perolehan suaranya tak menggembirakan. Keluarganya kemudian membawa pria itu ke sebuah padepokan untuk disembuhkan dengan bantuan doa-doa oleh ulama pemimpin padepokan. Sang ulama menyebut si caleg tak siap kalah karena sudah terlanjur mengeluarkan banyak uang. Sebenarnya, orang seperti itu pun tak siap untuk menang, kata sang ulama.

Hari-hari ke depan, setelah pembagian kursi final diputuskan KPU, mungkin makin banyak berita semacam itu. Pileg tahun 2009 saja ada sekitar 7000an caleg yang menderita gangguan jiwa mulai tingkat paling ringan sampai berat. Penyebabnya sama : tak siap mental untuk kalah karena sudah habis-habisan menggelontorkan uang demi pemenangan dirinya. Memang model kampanye di Indonesia masih sangat costly apalagi ditambah kebiasaan menebar uang, paket sembako dan pakaian kepada calon pemilih. Inilah sebenarnya alokasi biaya kampanye terbesar : pengerahan massa dan “membeli” suara.

===============================================

Selasa pagi, sehari sebelum hari coblosan, saya naik angkot dan menguping pembicaraan seorang bapak paruh baya dengan sopir angkot. Lelaki yang hampir seluruh rambutnya memutih itu kesal, sebab sudah sekian kali Pemilu dan Pilkada, dia selalu tak kebagian “amplop coblosan”. Sopir angkot mencoba menenangkan kekesalan bapak itu, tapi si bapak rupanya sudah terlanjur kesal, sampai dia berjanji tak akan datang ke TPS kalau sampai nanti malam dia belum kebagian amplop. Saya hanya bisa merasa miris mendengar obrolan si bapak yang saya taksir usianya pertengahan lima puluhan tahun. Sudah separah itukah mental “matre” di masyarakat kita? Sampai-sampai kalau tak ada uang maka hak pilih pun dibuang percuma?

Sore harinya, saya kembali mendengar obrolan dengan topik yang sama. Kali ini seorang lelaki muda mengatakan dirinya sedang menunggu-nunggu “serangan fajar”. Lalu seorang ibu muda yang memangku putra kecilnya di hadapan saya, langsung nyeletuk : “Saya sudah, di tempat saya di .... (menyebut nama suatu tempat) sudah dari kemaren” katanya dengan mata berbinar-binar. Ibu muda itu mengatakan ia sudah mendapat Rp. 100.000,00 dari seorang caleg partai A. Uang itu untuknya dan suaminya, per kepala per suara dihargai Rp. 50.000,00. Si ibu menambahkan bahwa tetangganya ada yang sudah dapat Rp. 300.000,00 dari beberapa caleg berbagai parpol. “Pasarannya 50 rebu seorang, kalo serumah suami istri ya dapet 100 rebu” katanya, ada nada sumringah, seolah mendapat doorprize saja.

[caption id="attachment_319578" align="aligncenter" width="300" caption="Bukti permissivisme masyarakat (foto : www.tribunnews.com)"]

1397192367371032411
1397192367371032411
[/caption]

“Padahal caleg yang seperti itu kalo jadi mereka bakalan korupsi lho Bu,” saya menimpali. “Iya bener, pastilah itu! Belum lagi pas kampanye di lapangan, satu motor boncengan dapet 60 rebu. Padahal ada berapa motor, belum angkotnya. Kan gak mungkin ya dia gak balikin modal? Pasti dia itung tuh modalnya dah keluar berapa, si ibu membenarkan kata-kata saya. Entah kenapa dada saya rasanya makin sesak. Berarti sebenarnya masyarakat sadar benar dampak dari “serangan fajar” atau apapun istilahnya money politics itu. Mereka sadar benar perilaku main uang itu salah besar dan akan menjadi pemicu korupsi, tapi sekaligus mereka juga senang menerimanya. “Ya gimana ya, nyari duit 50 rebu jaman sekarang susah. Ada yang ngasih gitu aja, ya rejeki lah. Diterima aja, lanjutnya. “Kalo yang ngasih banyak, mana caleg yang ngasihnya paling banyak itu yang dicoblos, tambahnya.

“Kalau semua memberi sama besarnya...?” saya coba memancing. “Nah itu, bingung kan jadinya,” katanya sambil tertawa. “Sebenarnya yang bodo ya caleg-caleg itu ya, Bu?” katanya seolah meminta persetujuan saya. “Kan dia udah tau gak bakalan dicoblos juga. Ngapain ngasih-ngasih duit. Lha kita namanya juga dikasih ya diterima”. Oke lah Bu, anda dan rekan sekampung anda tahu konsekwensinya. Kelak kalau wakil anda korup, tak usah di protes apalagi di demo. Kalau perlu anda datang ke persidangannya untuk memberi support moril, sebab anda dan rekan sekampung punya andil membuatnya melegalkan korupsinya. Senang terima hasil korupsi prabayar-nya bukan?

===============================================

[caption id="attachment_319579" align="aligncenter" width="565" caption="Meski niatnya menghajar sang caleg, saya tak setuju ajakan menerima uangnya (foto : www.tribunnews.com)"]

13971924621981248218
13971924621981248218
[/caption]

Kamis, kemarin siang, saya kedatangan tamu, sebut saja namanya Pak Slamet. Setelah ngobrol sana sini, saya tanya “Gimana pak coblosannya kemarin?”. Saya tahu Pak Slamet ini tokoh masyarakat. Meski asal Surabaya, tapi sudah 30 tahunan merantau ke Banten dan menetap disini, sejak masih muda sampai kini anak-anaknya remaja. Beliau di kampungnya cukup disegani warga sekitar dan mampu mempengaruhi. Sejak dulu selalu ada caleg atau parpol yang meminta tolong beliau untuk mengkondisikan massa. Cerita miris pun mengalir dari mulut Pak Slamet.

Sekitar 2 minggu sebelum Pileg, Pak Slamet dihubungi Pak Anu caleg partai X. Pak Anu meminta sekurangnya 50an orang dari 3 TPS untuk diarahkan mencoblos namanya di surat suara DPRD Kota. Untuk itu Pak Anu sanggup menyediakan Rp. 50.000,00 per orang. Pak Slamet pun sanggup mencarikan orang. Ia menghubungi warga sekitarnya dari 3 TPS berbeda, terkumpul 150 orang dengan janji Rp. 50.000,00 per orang sambil diberi kartu nama Pak Anu. Ditunggu-tunggu sampai H-3 tak kunjung ada kepastian dari Pak Anu, Pak Slamet mulai ketar ketir. Minggu malam Pak Slamet dihubungi salah satu mantan caleg yang pada pemilu 2009 lalu pernah dibantu dan sukses jadi anggota DPR partai X. Orang itu meminta Pak Slamet membantu si Fulan, yang sebelumnya tak pernah dikenal Pak Slamet. Selasa pagi si Fulan menemui Pak Slamet dengan janji dia sanggup membayar Rp. 30.000,00 per orang untuk 4 TPS.

Pak Slamet pun menyanggupi, sudah ada 165 orang dari 4 TPS. Kembali Pak Slamet mengunjungi rumah-rumah warga dan menarik kembali kartu nama Pak Anu untuk diganti kartu nama si Fulan, sama-sama dari partai X. Warga manut saja, meski nilai nominalnya turun jadi 30 ribu. Si Fulan janji uang akan diberikan paling lambat Selasa jam 9 pagi. Sayangnya, sampai jam 1 siang si Fulan tak kunjung datang dengan uang yang totalnya hanya 5 juta rupiah. Warga sudah mulai menagih pada Pak Slamet. Sampai petang si Fulan tak juga menghubungi. Malam itu Pak Slamet melihat warganya sedang “minum-minum”. Khawatir mereka mabuk dan menjadikan dirinya amuk massa, Pak Slamet memutuskan malam itu mengungsi, tak pulang ke rumah sampai Kamis pagi.

Kenapa Pak Slamet takut diamuk warga? Warga yang sudah dihubunginya jauh-jauh hari, entah untuk Pak Anu maupun untuk si Fulan, sebenarnya orang-orang yang loyal padanya. Mereka mau saja mengikuti perintah Pak Slamet, meski janji 50 ribu diturunkan jadi 30 ribu. Dan “sopan”nya lagi, mereka menolak pemberian dari partai A, B, C dan D yang masing-masing juga tebar amplop. Ada yang Rp. 50.000,00, Rp. 100.000,00 bahkan Rp. 150.000,00 per kepala. Ada pula yang selain uang juga memberi bingkisan 1 set sprei untuk kaum ibu dan 1 potong baju koko untuk para bapak. Bayangkan, mereka sudah menolak “rejeki” besar dan rela menunggu janji dari si Fulan. Maka ketika sampai malam menjelang coblosan tak ada realisasi, sangat mungkin mereka marah dan mengamuk. Dampaknya, kata Pak Slamet, esoknya 40% warga di TPS sekitar itu GOLPUT! No money no vote!

Apa yang diceritakan Pak Slamet seolah mengkonfirmasi cerita teman kantor saya. Dia dan keluarganya mendapat 2 stel sprei, 1 buah kemeja, uang mulai 30 ribu, 50 ribu, sampai 100 ribu dari beberapa caleg. Di rumah teman saya ada 4 suara : bapak dan ibunya serta teman saya dan adiknya. Lalu saya tanya siapa yang dicoblos. Dia hanya tersenyum. Saya tahu mungkin dia tak memilih yang memberinya “hadiah” itu. Jadi, tak perlu heran kalu caleg stress berat karena perolehan suaranya tak signifikan dengan uang yang telah digelontorkan.

===============================================

[caption id="attachment_319580" align="aligncenter" width="500" caption="Betapa masyarakat sudah tak malu-malu lagi meminta disuap (foto : www.harianjogja.com)"]

13971925361044970371
13971925361044970371
[/caption]

Lain cerita di atas, lain pula pengalaman teman saya. Sebut saja namanya Mbak Ayu dari Semarang. Dia menulis di facebook saya, bahwa kemarin sebenarnya dia nyaleg, tapi sejak awal budget sudah disetel di angka 8 jutaan, plus lain-lain totalnya habis tak lebih dari 11 juta. Ia sama sekali tak mengeluarkan uang untuk mencetak atribut kampanye. Mbak Ayu memilih untuk mengedukasi warga di dapilnya dengan materi-materi mengenai pendidikan karakter, bagaimana peran orang tua dan masyarakat membentuk pendidikan berkarakter bagi anak mereka, termasuk mengupayakan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Uang yang disiapkan Mbak Ayu hanya habis untuk menggandakan materi dan membeli sekedar snack dan minum kalau ia mengumpulkan warga. Prinsip Mbak Ayu : kalau seseorang sampai mengeluarkan dana lebih dari 10% asset yang dimiliki, tak mungkin rasanya tak berpikir untuk mengembalikan modal.

Kalau ada warga yang menanyakan soal pembagian uang, Mbak Ayu menjawabnya dengan senyum “Apa ibu mau saya nanti korupsi? Kalau mau saya korupsi, ya nanti saya kasih. Tapi saya takut pada Allah, jadi saya gak berani korupsi, makanya saya gak bisa kasih uang,” begitu ia menjawabnya dalam bahasa Jawa halus. Mbak Ayu tak terlalu peduli apakah ia akan dipilih atau tidak. Setidaknya, ia telah punya kesempatan berbuat banyak untuk warga di dapilnya. Memberikan mereka penyuluhan soal BPJS, mengajak masyarakat turut aktif mengawasi pelaksanaannya dan memberi masukan apa yang perlu diperbaiki. Sebab masyarakat juga harus dididik bahwa mereka pun bisa punya andil memperbaiki sebuah sistem dengan memberikan masukan.

Masyarakat kelas menengah umumnya welcome dengan cara yang dilakukan Mbak Ayu, tapi masyarakat kelas bawah umumnya resisten dengan cara seperti itu. Padahal, justru masyarakat di kelas sosial inilah yang banyak jumlahnya. Sayangnya, mayoritas caleg bukannya mendidik mereka, namun justru merusak mentalitas mereka dengan mengobral pemberian instan yang kelak tagihannya dibayar saat sudah terpilih, dengan membobol APBN/APBD. Teman Mbak Ayu  mengaku menghabiskan dana Rp. 4 miliar. Sulit dipercaya dana sebanyak itu tak diharapkan kembali setelah ia dilantik nanti.

[caption id="attachment_319581" align="aligncenter" width="560" caption="Begitu pesimisnya pada harapan Indonesia bebas korupsi sehingga sekalian saja saling berlomba melegalkan suapa? (foto : bangka.tribunnews.com)"]

1397192636448350872
1397192636448350872
[/caption]

Bukan hanya Mbak Ayu yang menolak melakukan cara-cara kampanye high cost. “Ning Ira, sementara aku dapat 6324 suara, padahal gak ngapa-ngapain, gak pake uang itu, begitu isi BBM teman saya sesama arek Suroboyo, Kamis siang. Saya kaget karena tak pernah menyangka dia nyaleg. Dia sibuk dengan berbagai aktivitas dan tak pernah saya tahu dia berkampanye. “Piye kampanye sampean, Cak?” tanya saya. “SMS aja sama BBM” katanya sambil menyisipkan emoticon nyengir. “Gak pasang spanduk, baliho, poster?!” saya masih kurang percaya. “Gak nduwe bondo (tak punya modal)”, jawabnya.

Teman saya itu, sebut saja namanya Untung, aktif dalam organisasi Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) yang punya motto “Rakyat Sehat Negara Kuat”. Organisasi ini concern memberikan advokasi dan pendampingan bagi warga miskin yang kurang atau bahkan tidak bisa mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang memadai. Setiap pasien yang pernah didampinginya, Cak Untung menyimpan kontaknya untuk silaturahmi. Saat nyaleg, Cak Untung cukup SMS menyampaikan kepesertaannya dalam Pileg. Umumnya mereka yang di SMS akan langsung meneleponnya dan siap mendukung meski Cak Untung tak menjanjikan apapun yang bersifat materi.

Perolehan lebih dari 6000 suara untuk caleg DPRD Kabupaten bukan angka yang kecil mengingat BPP Kabupaten itu 17.000 suara. Artinya Cak Untung mendapat 1/3 BPP. Meski Cak Untung tak berharap jadi, setidaknya 6324 suara membuktikan bahwa masyarakat kelas bawah tak melulu berharap diberi sesuatu yang bersifat materi. Bagaimana pun, mereka punya nurani, punya kesetiaan pada orang yang pernah menolongnya. Jadi, meski kata Cak Untung rerata caleg di dapilnya menggelontorkan uang antara 50 – 100 ribu per suara, para eks pasiennya tetap loyal memilihnya. Temannya sudah merogoh kocek Rp. 700 juta tapi perolehan suaranya hanya 4000 saja.

Saya jadi membandingkan dengan teman saya dan suami teman saya lainnya, yang nyaleg untuk DPRD Kota. Meski sudah menguras kocek, keduanya hanya mendapatkan 300 – 400 suara saja, sementara BPP di dapilnya 4000 suara. Di dapil mereka ada 8 caleg yang berlaga. Empat caleg mendapat suara antara 300 – 500 suara, sedang empat caleg lainnya perolehannya masing-masing tak sampai 200an suara. Diperkirakan perolehan suara partainya hanya 2000an, alias ½ BPP. Kecil kemungkinan mendapatkan kursi, meski dari suara sisa sekalipun, sebab ada 2 parpol lain yang mendominasi. Berbeda sekali dengan Cak Untung yang “gak ngapa-ngapain” dan “gak pake uang” justru dengan mudah mendulang 6000an suara.

[caption id="attachment_319582" align="aligncenter" width="600" caption="Hampir semua partai ada oknum calegnya yang melakukan hal seperti ini di hari tenang (foto : www.antaranews.com)"]

1397192751455176459
1397192751455176459
[/caption]

Sebenarnya logika wong cilik sederhana saja : kalau mereka (para caleg) tak pernah berbuat apa-apa untuk kita, apalagi nanti kalau sudah terpilih. Jadi ya sekalian saja diporotin, mumpung mereka mau datang kepada kami, kapan lagi kalau bukan sekarang? Nanti kalau sudah jadi sudah tentu lupa dengan janjinya. Sebaliknya, jika mereka telah melihat sumbangsih dan perhatian dari sang caleg, apalagi jika dilakukan bukan hanya di saat nyaleg saja, maka tanpa diberi imbalan materi pun mereka akan memilih. Wong cilik bukanlah wong licik. Mereka menerima uang pemberian caleg karena itu yang mereka butuh untuk menyambung hidup. Toh kelak kalau si caleg sudah jadi, tak ada lagi yang peduli sembako terbeli atau tidak, anak sakit bisa beli obat atau tidak. Mereka hanya berpikir pragmatis, karena memang itulah yang dididikkan oleh para pemimpinnya : pragmatisme!

Tampaknya anggota DPR RI yang akan duduk di DPR periode 2014-2019 perlu segera memikirkan revisi UU Pemilu, aturan pencalegan dan model kampanye. Selain untuk menekan biaya, yang terpenting adalah mendidik masyarakat untuk tak bermental matre dan bersikap permissive pada tindakan pemicu korupsi, tak membiasakan mereka menerima bahkan meminta suap. Kalau cara-cara kampanye seperti ini terus dilanjutkan, maka dari waktu ke waktu kita hanya melahirkan koruptor-koruptor baru, kita sedang memperpanjang rantai korupsi dan terlebih lagi kita sedang membentuk budaya suap dan melahirkan masyarakat yang money oriented. Maka, ajang pesta demokrasi lima tahunan, alih-alih membuka gerbang menuju perubahan, justru jadi sarana pelestari budatya suap, gratifikasi dan korupsi.

BACA JUGA INI :

CALEG INI ANTI MAINSTREAM : TAK MAU BAGI-BAGI APAPUN DAN TAK MAU MERUSAK PEPOHONAN DAN MENGOTORI KOTA

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun