Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Buku Jokowi: Mengail di Air Keruh?

2 Oktober 2013   12:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:06 1677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setahun menjelang tahun politik 2004, suhu di internal kabinet Megawati sedikit memanas. Menko Polkam, Susilo Bambang Yudhoyono mulai rajin tampil di iklan televisi, meski berupa iklan layanan masyarakat. Hal ini membuat galau Megawati yang berniat maju kembali pada Pilpres 2004, ajang pemilihan presiden yang untuk pertama kalinya dipilih langsung oleh rakyat. Sebab itu, popularitas calon di benak pemilih adalah modal utama. Menko Polkam SBY tampaknya juga punya ambisi untuk maju, meski masih malu-malu untuk terang-terangan. Megawati tahu itu, makanya kemunculan SBY yang cukup sering di media TV bersama komedian Komar dan Cici Tegal membuat Mega gusar dan terjadilah friksi antara Presiden dan pembantunya di kabinet. SBY pun tak diajak dalam salah satu rapat kabinet. Perseteruan itu makin memanas ketika suami Mega, Taufik Kiemas ikut mengompori dengan menyebut SBY kekanak-kanakan. Ujung dari perseteruan itu adalah keluarnya SBY dari Kabinet Megawati.

Lucunya, setelah SBY tak lagi menjadi Menteri, popularitasnya justru semakin meningkat tajam. Dikesankan “didzholimi” masih menjadi resep populer di negeri ini. Kian hari popularitas SBY makn tak terbendung, mengalahkan Mega yang masih jadi Presiden. Di tengah menjulangnya popularitas SBY itu, terbitlah buku “SBY Sang Demokrat” yang ditulis oleh sejumlah penulis yang dikomandani Usamah Hisyam. Buku kisah hidup SBY serta perjalan karir militernya hingga kiprahnya di dunia politik itu dijual dengan harga Rp. 275.000,00. Sebuah harga yang bisa dibilang tak murah untuk ukuran tahun tersebut. Sekedar pembanding : UMK Jakarta saat itu masih Rp. Rp. 671.550,00 dan gaji pegawai “kantoran” kelas menengah masih di kisaran 2 – 2,5 jutaan. Tapi, berhubung buku itu mengulas tentang profil seorang tokoh yang popularitasnya sedang naik tak terbendung, meski dibandrol dengan harga cukup mahal, buku itu tetap laris manis. Apalagi timing penerbitannya sangat tepat : menjelang Pilpres 2004 yang hanya tinggal hitungan bulan saja.

[caption id="attachment_282602" align="aligncenter" width="600" caption="foto : buku.tokobagus.com"][/caption]

------------------------------------------------------------------------------

Kini, 10 tahun kemudian, sejarah seolah berulang : muncul tokoh lain yang popularitasnya meroket seolah tak terbendung. Meski ada saja pihak yang mencibirnya, justru makin membuat orang menyukainya. Itulah Jokowi, sosok sederhana, egaliter, apa adanya, yang dalam 2 tahun ini jadi media darling sejak kiprahnya mempopulerkan mobil Esemka, disusul pencalonannya sebagai DKI-1 yang penuh pro kontra, sampai kini gaya blusukannya dan ide-idenya membenahi Jakarta. Popularitas Jokowi dalam tempo singkat menyodok dan meminggirkan popularitas para capres yang sejak jauh-jauh hari mengasah tajinya dan terang-terangan beriklan di media massa. Tak heran jika popularitas Jokowi ini membuat politisi yang berambisi nyapres jadi risau bin galau.

Namun di sisi lain, popularitas Jokowi jadi celah untuk dimanfaatkan jadi ladang bisnis. Sebuah perusahaan jamu tradisional, memakai sosok mirip Jokowi lengkap dengan baju kotak-kotaknya, untuk dijadikan bintang iklan jamu mereka yang populer dengan slogan “bejo” yang kemudian diplesetkan jadi “Benar-benar mirip Jokowi”. Bukan hanya iklan, sebuah stasiun televisi pun mensponsori pembuatan film komersiil tentang kisah hidup Jokowi yang dibintangi aktor dan aktris profesional. Ya, namanya juga bisnis, pakai aji mumpung pun sah-sah saja, mumpung Jokowi ngetop pake banget! Toh paling-paling Jokowi bilang “Saya ndak mikir..., ndak mikir...!”.

Maka, ketika sebuah penerbit di lingkungan Kompas Gramedia berencana menerbitkan buku tentang Jokowi dengan menggandeng Kompasiana untuk mencari dan mengumpulkan tulisan dari penulis non profesional yang menulis tentang Jokowi di situs media warga, itu juga adalah sebuah celah bisnis yang sedang dibidik penerbitnya. Kenapa harus susah-susah mencari tulisan berceceran dari penulis “amatiran”? Bukankah mudah sekali mengontak penulis biografi seterkenal Albertiene Endah, misalnya. Atau cari saja wartawan di daerah asal Jokowi yang sudah bertahun-tahun mengamati kiprah Jokowi sejak masih jadi pengusaha mebel di Solo, untuk mengumpulkan testimonial dari orang-orang dekat Jokowi. Tapi inilah unik buku yang bakal terbit itu. Fadly Zon menulis tentang Prabowo, itu sama sekali tidak aneh dan tak menarik lagi. Wajar, kedekatan keduanya sudah terjalin puluhan tahun. Tapi warga dari berbagai kota di seluruh tanah air, bahkan yang tak mengenal Jokowi secara langsung, menuliskan tentang Jokowi sesuai kesan yang mereka dapatkan, wow..., itu ‘sesuatu’ banget! Unik dan menarik! Kumpulan tulisan tentang Jokowi yang ditulis oleh sekelompok warga yang tak saling kenal dari beragam latar belakang. Bukan penulis bayaran yang menulis memang karena dipesan. Inilah keunikan sekaligus keunggulan buku itu.

[caption id="attachment_282603" align="aligncenter" width="253" caption="foto : blog.kompasiana.com"]

1380690448503179191
1380690448503179191
[/caption]

Dirilis di tahun politik jelang Pilpres 2014 dimana Jokowi digadang-gadang jadi capres, seolah buku ini ingin mengikuti jejak sukses buku SBY Sang Demokrat. Pengumuman tentang pencarian tulisan tentang Jokowi itu dibuat pada 22 April 2013, sekitar 7 bulan setelah Jokowi dilantik jadi Gubernur DKI dan segenap tingkah polah blusukannya makin ramai dibincangkan orang di media sosial dan media warga. Maka, bukan hal yang sulit untuk mengumpulkan sekian puluh tulisan untuk dibukukan. Sebab dalam setahun itu yang menulis tentang Jokowi sudah sangat banyak, mungkin mencapai ratusan artikel. Apalagi penyelenggaranya menjanjikan bahwa tulisan yang lolos seleksi akan dijadikan buku dan penulisnya akan diberikan rincian dari sisi bisnisnya. Wow! Benar-benar sebuah kerjasama bisnis yang menggiurkan. Jokowi gitu loh..., jaminan laris. Menuulis di Kompasiana judulnya diberi kata “Jokowi” saja, dijamin menuai ratusan bahkan ribuan click dan puluhan vote dalam waktu singkat. Itulah pesona dan magnet Jokowi.

------------------------------------------------------------------------------

Betapa kagetnya saya ketika kemarin membaca tulisan dari Kompasianer Suko Waspodo berjudul : “Dahsyat! Tulisanku tentang Jokowi Dihargai 155.000 rupiah“. Tulisan Pak Suko ini tampaknya mewakili curahan hati sebagian besar dari 42 penulis yang tulisannya terpilih dibukukan. Sontak, pembicaraan di status facebook dan komentar-komentarnya jadi berubah. Kalau beberapa bulan lalu rekan-rekan Kompasianer yang tulisannya terpilih membuat status penuh suka cita dan bangga, kini tampaknya ada aroma kekecewaan karena buah pikirnya hanya dihargai segitu saja, sekali bayar untuk 10 tahun! Sebuah imbalan yang dirasa sangat jauh dari memadai.

Yang bikin kaget bukan hanya besaran nominalnya yang tak cukup untuk membeli 3 buah buku tersebut yang dibandrol seharga Rp. 56.800,00. Ada fakta-fakta yang lebih mengejutkan :

1.Surat Perjanjian Penerbitan (SPP) baru dikirim 2 minggu setelah buku terbit, meski sebelumnya penyelenggara (Kompasiana) menjanjikan akan mengirimkan SPP setelah sebuah tulisan dinyatakan lolos seleksi dan verifikasi, artinya sebelum buku diterbitkan. Memang seharusnya demikian, sehingga jika ada klausula yang dianggap kurang berkenan di hati penulis, penulis yang bersangkutan bisa mengundurkan diri dan meminta tulisannya tak disertakan. Apalagi memang sebelumnya sudah dijanjikan bahwa penulis akan mendapat penjelasan dari sisi bisnisnya.

[caption id="attachment_282604" align="aligncenter" width="452" caption="screen shot tulisan Admin Kompasiana"]

13806905121488527641
13806905121488527641
[/caption]

2.SPP tidak mencantumkan klausula apakah pembayaran honorarium penulis akan menggunakan sistem beli putus ataukah royalti. Masalah ini hanya dijelaskan dalam email penyelenggara (Kompasiana) yang tentu saja kekuatan hukumnya untuk disebut sebagai sebuah perjanjian bisnia tidak sekuat apabila dituangkan ke dalam SPP.

3.Lebih mengejutkan, ternyata penulis (Kompasianer) bukan hanya diminta menyerahkan hak cipta atas tulisannya untuk diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul “Jokowi (Bukan) Untuk Presiden” saja, namun juga diminta untuk menyatakan menerima pemindahan seluruh hak dan kepentingan atas ciptaan tersebut kepada Kompasiana untuk diterbitkan dalam sebuah buku dan/atau bentuk apapun (e-book, content melalui telepon seluler, CD/VCD/DVD) baik dalam edisi bahasa Indonesia maupun bahasa asing serta untuk menerbitkan terjemahan naskah tersebut atau menyuruh pihak lain untuk menerbitkannya.

Nah lho! Artinya, honor Rp. 155.000,00 itu sudah mencakup untuk semua penerbitan buku, e-book, content dan aplikasi pada ponsel, dll, termasuk jika buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Jangan lupa, Jokowi ini fenomenal, banyak media asing dan pengamat politik asing yang juga tertarik menganalisa tentang Jokowi lho! Jadi tulisan warga tentang Jokowi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris akan sangat membantu mereka untuk memahami persepsi publik terhadap Jokowi.

4.Tak cukup sampai di situ, kesepakatan pengalihan hak cipta atas konten tersebut berlaku untuk jangka waktu selama 10 (sepuluh) tahun dan baru dapat ditinjau kembali setelah jangka waktu berakhir.

Se-pu-luh tahun! Bukan waktu yang singkat. Kalau Jokowi masih digadang-gadang lagi untuk nyapres pada 2019, baik seluruhnya maupun sebagian dari tulisan di buku tersebut bisa dirilis ulang dalam bentuk apapun, sepanjang issu yang dibahas dianggap masih aktual atau masih relevan. Artinya, kemungkinan cetak ulang di tahun-tahun mendatang sampai 10 tahun ke depan, penulis tak berhak atas apapun.

Mencermati fenomena meledaknya buku SBY Sang Demokrat di saat timing yang tepat (jelang Pilpres) dan moment yang pas (popularitas tokoh yang ditulis sedang meroket), bukan tak mungkin buku keroyokan berisi opini warga tentang Jokowi ini pun akan laris manis dan bisa saja nanti dibuat dalam berbagai versi dan format, termasuk media digital. Siapa yang diuntungkan? Penerbit atau setidaknya pemegang hak cipta.

[caption id="attachment_282606" align="aligncenter" width="486" caption="screen shoot tulisan Kompasianer Hazmi Srondol yang jadi HL"]

13806905811922904281
13806905811922904281
[/caption]

Meski saya BUKAN salah satu penulis yang beruntung ikut diterbitkan dalam buku i tu – sebab saya “ketinggalan kereta”, tak tahu soal pengumuman itu sampai teman-teman mendapat pemberitahuan tulisannya terpilih – tapi saya memahami kekecewaan rekan-rekan Kompasianer. Ini mengingatkan saya pada “tragedi” yang menimpa Kompasianer dan blogger yang populer dengan nama pena Hazmi Srondol. Certanya, salah satu tulisan Bung Hazmi dilirik oleh sebuah agen iklan yang disewa produsen mie instan paling beken di Indonesia. Setelah dihubungi via email, Bung Hazmi dijanjikan akan mendapatkan “sesuatu” setelah artikelnya dijadikan iklan mie instan tersebut. Tentu kata “sesuatu” di benak Bung Hazmi adalah sesuatu yang bernilai, mengingat agen iklan yang cukup ternama dan produk yang diiklankan pun sangat populer, jinggle iklannya saja sampai dibeli tim sukses SBY untuk kampanye Pilpres 2009. Belakangan, setelah menunggu sampai 1,5 tahunan, ternyata “sesuatu” itu hanya berupa 3 dos mie instan, mana segelnya sudah terbuka pula!

Ini penghinaan! Wajar jika Bung Hazmi marah, kecewa dan tersinggung. Kontan 3 dos mie itupun langsung dikembalikan ke kurir yang membawa. Bung Hazmi menyuarakan kekecewaannya atas pembohongan intelektual yang dilakukan pihak agen iklan melalui Kompasiana. Banyak Kompasianer dan blogger yang bersimpati atas perjuangan Bung Hazmi menuntut karya intelektualnya dihargai sewajarnya, dengan cara ikut menggulirkan tulisan itu. Maka tak heran jika tulisannya menuai lebih dari 75 ribu click setelah di-share ke 7600-an akun FB dan 1.757 akun Twitter serta 54 Google Plus. Admin Kompasiana pun mendukung langkah Bung Hazmi dengan menempatkan tulisan itu sebagai headline (HL). Tak perlu menunggu lama, pihak agen iklan pun keder dengan langkah Bung Hazmi dan solidaritas blogger yang menuntut karyanya dihargai sewajarnya dan tidak hanya dibuai dengan janji tak jelas di awal.

[caption id="attachment_282607" align="aligncenter" width="475" caption="screenshoot tulisan Bung Hazmi yang diambil oleh sebuah agen iklan"]

1380690648650984059
1380690648650984059
[/caption]

Jika Bung Hazmi dan agen iklan mie instan sudah bisa mencapai kata sepakat dan ada penghargaan yang wajar atas karya intelektualnya, tak demikian dengan rekan-rekan Kompasianer yang tulisannya diterbitkan dalam buku Jokowi. Mereka saat ini masih harus berjuang. Mungkin sebagian ada yang mengatakan : “ah.., diterbitkan saja sudah syukur kok, apalagi oleh penerbit major”. Atau : “ah.., saya ini kan hanya penulis kacangan, amatiran, tulisan saya bisa dibukukan saja sudah seneng setengah mati kok”. Tentu, semua itu tidaklah salah. Bahwa niatan awal bergabung di Kompasiana bukan utnuk mencari uang, sekedar sharing and connecting, tapi jika karya kita dilirik dan sejak awal sudah tahu akan dikomersiilkan, maka tak salah pula jika sebagai penulis “amatiran” pun mulai berpikir untuk menghargai hasil karya secara profesional.

Semuanya adalah rantai simbiosis mutualisme : Kompasiana tanpa Kompasianer apalah artinya, begitupun sebaliknya. Bahkan, rekan blogger yang sudah kecanduan menulis bisa saja mencari blog keroyokan lain untuk menyalurkan kegemarannya menulis. Begitupun penerbit, tanpa penulis, tentu penerbit tak bisa mencetak buku yang laris manis. Bahkan bagi penulis, jika dia menolak bukunya dibukukan pun tetap tak ada ruginya. Sebab, tampaknya penerbit menggunakan aji mumpung dengan menumpangi popularitas Jokowi dan memanfaatkan penulis pemula dari media warga, yang dirasa pasti akan ho’oh saja karyanya dihargai “sak paring-paring”. Jika bukan kita yang belajar menghargai karya sendiri, siapa lagi? Jika sejak awal kita mengijinkan lembaga besar ngadalin penulis amatiran, maka kapan akan jadi penulis profesional? (*ngadalin : menutip dari tulisan Kompasianer Annisa Fitri Rangkuti di berjudul : Miris, Tragedi Intelektual di Buku Jokowi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun