Kalau ada satu bulan yang pengaruhnya paling signifikan pada geliat perekonomian negara sekaligus pembalikan distribusi dan perputaran uang di Indonesia,maka bulan itu adalah bulan Ramadhan hingga tiba moment hari raya Idul Fitri. Ada begitu banyak fenomena sosial dan ekonomi yang terjadi menjelang dan selama bulan Ramadhan, yang sulit dijelaskan dengan teori ilmu ekonomi dan tak bisa di ubah oleh pakar ekonomi dari manapun. Ada fenomena kenaikan harga bahan pokok sejak menjelang Ramadhan, tapi anehnya tak berdampak pada pengurangan belanja konsumen. Di sisi lain, masyarakat Muslim pada umumnya justru makin murah hati membelanjakan uangnya di bulan Ramadhan. Anehnya lagi, kenaikan harga yang diwaktu-waktu lain memicu kelesuan pasar dan berdampak “seret”nya pemasukan pada pedagang, di bulan Ramadhan justru sebaliknya : musim panen bagi pedagang, meski harga dinaikkan.
Hampir di semua kota, muncul fenomena “pasar kaget” di bulan Ramadhan. Biasanya sore hari selepas waktu Ashar, bermunculanlah pedagang makanan dan minuman yang jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang hari biasa. Bahkan orang yang tak biasa berjualan makanan pun, banyak yang beralih profesi sementara selama Ramadhan untuk berjualan di bazaar Ramadhan, bursa kue Ramadhan dan banyak lagi sebutan lainnya. Anehnya, meski jumlah pedagang makin banyak, omzet dari masing-masing pedagang tak berkurang bahkan justru meningkat. Ini karena jumlah konsumen juga meningkat dan nilai pembelian masing-masing konsumen pun meningkat.
[caption id="attachment_200669" align="aligncenter" width="522" caption="Bukan hanya uang kertas yang meningkat pembelanjaannya selama ramadhan, uang plastik pun ikut meningkat pemakaiannya"]
Masuk minggu kedua Ramadhan, pedagang komoditas fashion pun mulai dapat giliran menangguk untung. Bukan hanya pedagang resmi yang berjualan di toko atau membuka outlet di pusat perbelanjaan saja, mereka yang berjualan di pasar-pasar dan pinggiran jalan pun ikut menikmati “musim panen” ini. Di masjid-masjid besar umumnya pelatarannya atau area di sekitarnya berubah menjadi pasar malam dadakan yang buka sejak menjelang maghrib sampai usai taraweh. Aneka perlengkapan ibadah (mukena, sarung, peci, sajadah) sampai produk fashion (baju muslimah, kerudung, baju koko,baju anak-anak) semuanya digelar di lapak-lapak beralaskan terpal plastik. Transaksi sambil jongkok begini, tiap malam omzetnya bisa jutaan.
Makin dekat lebaran, semua tempat belanja dari kelas bawah sampai mall super mewah pasti dipadati pengunjung. Aneka bentuk dan ragam kue lebaran – mulai yang harganya Rp. 10.000,- per toples sampai yang ratusan ribu – ditawarkan. Banyak ibu rumah tangga yang di hari biasa tak punya usaha, menjelang Ramadhan ikut berbisnis kue lebaran. Saya pun pernah menjadi produsen kue lebaran setiap Ramadhan, sejak tahun 1998 sampai 2002. Biasanya pesanan kue lebaran sudah saya terima sejak awal lebaran dan saya kerjakan saat libur weekend. Kalau jumlah pesanan meningkat, saya bela-belain “lembur”mengerjakannya di malam hari. Keuntungannya memang lumayan.
Pendek kata : hampir tak ada pedagang yang tak meraih panenan selama Ramadhan. Pedagang toples plastik pun omzetnya mendadak naik. Bahkan pedagang gelas plastik, kotak nasi, box foam, kertas pembungkus nasi, ikut laris manis, sebab umumnya buka puasa bersama di masjid-masjid menggunakan benda-benda itu sebagai kemasan makanan,minuman dan takjil.
[caption id="attachment_200672" align="aligncenter" width="397" caption="kue lebaran : bisnis musiman tapi menggiurkan dan pasti menjanjikan keuntungan"]
Inilah bulan dimana konsumsi beras meningkat tajam meski frekwensi makan hanya 2x sehari. Bagaimana tidak, hampir semua masjid pasti menyediakan buka puasa. Entah itu mendapatkan sumbangan dari warga/jamaah di sekitarnya, maupun yang dikelola langsung oleh takmir masjid. Sekedar 1 contoh saja : Masjid Istiqlal di Jakarta, setiap hari menyediakan 3000 bungkus nasi untuk buka puasa bersama dan 1000 bungkus nasi untuk sahur bersama. Artinya dalam sehari ada 4000 bungkus nasi yang disediakan. Kalau sekilo beras bisa jadi 10 bungkus, maka dibutuhkan 400 kg beras/hari. Dalam sebulan perlu disediakan 12 ton beras! Itu baru Masjid Istiqlal saja. Padahal, ada berapa masjid besar di Jakarta, seperti Al Azhar, At Tiin, dll.
Di Surabaya juga ada masjid Al Falah, masjid Al Akbar, dll. Semua kota memiliki tradisi seperti ini.Bahkan di masjid-masjid komplek perumahan pun demikian. Biasanya makanan dan takjil buka puasa disumbang oleh warga sekitar. Masjid kampus pun tak ketinggalan menyediakan buka puasa bersama. Alhasil, siapapun bisa ikut menikmati buka atau sahur gratis ini. Mulai anak kost yang biasanya cuma mengandalkan mie instant, sampai tukang becak, sopir angkot, petugas kebersihan, buruh dan karyawan, siapa saja yang pada saat maghrib mampir ke masjid itu pasti akan kebagian buka puasa. Anehnya, meski suatu masjid mengandalkan sediaan takjil dan nasi dari sumbangan warga sekitar yang tak dipatok jumlah, jenis maupun macamnya, tak pernah terdengar ada buka puasa yang tak mencukupi. Semua pasti kebagian. Ini tentu berbeda dengan hajatan yang digelar dengan perencanaan, catering dipesan sesuai hitungan jumlah undangan, itupun terkadang sering hidangan sudah ludes sebelum semua tamu datang, sampai-sampai yang datang belakangan sering tak kebagian makanan. Inilah uniknya “hajatan” bukber di masjid-masjid dan musholla, ada barokah Allah yang menyertainya, Jadi meski jumlah sumbangan tak dipatok, yang datang tak dibatasi dan tak pernah tetap jumlahnya, tapi insya Allah selalu cukup.
[caption id="attachment_200670" align="aligncenter" width="522" caption="Uang baru, hanya tersedia dalam jumlah besar di bulan Ramadhan"]
Masuk minggu kedua Ramadhan, giliran perbankan yang punya “hajat” menyediakan penukaran uang baru. Trilyunan dana disipakan oleh Bank Indonesia untuk memenuhi kebutuhan selama Ramadhan dan Idul Fitri. Sekedar contoh, Bank Mandiri saja menyiapkan uang tunai Rp. 31,8 triliun. Padahal ada berapa puluh bank di Indonesia. Saya membaca di running text sebuah stasiun TV, hanya sekitar 2-3 hari sejak penukaran uang baru dibuka, di Jogja saja penukaran uang baru sudah mencapai Rp. 1 triliun. Ini artinya masyarakat punya sekian banyak uang untuk dibagikan pada bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Biasanya, uang baru itu sengaja ditukar untuk dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan anak yatim selama bulan Ramadhan, atau disiapkan unruk dibagikan pada sanak saudara – terutama anak-anak – saat Idul Fitri nanti.
Begitulah dahsyatnya pengaruh Ramadhan, orang berlomba-lomba mengeluarkan shodaqoh. Saya pernah ikut bukber di sebuah masjid di suatu komplek perumahan yang tak terlalu besar dan letaknya tidak dipinggir jalan. Kebetulan Perusahaan tempat kerja saya ikut membagikan dana CSR di situ. Setidaknya hari itu ada 100 anak yatim yang mendapatkan paket buka puasa dan “amplop”. Donatur yang sore itu sudah menyediakan diri membagikan amplop ada sekitar 9 orang. Jadi 1 anak membawa pulang 1 dos paket takjil, 1 dos paket makan buka puasa dan 9 amplop berisi uang. Itu baru anak yatim saja. Belum terhitung ratusan anak-anak dan warga sekitar yang ikut buka puasa bersama. Saya lihat sendiri, orang berdatangan sampai saat adzan maghrib dikumandangkan, tapi anehnya aneka takjil berupa es buah, kolak, es teh aneka kue dan gorengan, jumlahnya tak habis-habis. Mereka bahkan bisa membawa pulang.
Minggu ketiga Ramadhan, giliran fenomena mudik yang menyita perhatian. Jika dibandingkan dengan fenomena mudik yang terjadi di Amerika Serikat pada Thanks Giving Day atau di China pada saat Imlek, tradisi mudik di Indonesia cukup unik. Menurut pengamat sosial politik yang akrab disebut Mas Kiki, jika mudik Imlek dan Thanks Giving, lebih pada reuni keluarga semata. Tapi mudik Idul Fitri di Indonesia, lebih pada “cerita sukses”. Karenanya, kaum urban di kota-kota besar yang sehari-hari hidup susah, rela menyisihkan dana besar hanya untuk mudik dan menunjukkan pada keluarga di kampung bahwa mereka cukup sukses di kota. Itu sebabnya pasca lebaran kaum urban masuk kota-kota besar makin banyak. Sebab tetangga dan kerabatnya tertarik ikut, karena cerita sukses hidup di kota. Begitupun mereka yang bekerja di luar negeri yang sempat pulang saat Idul Fitri. Kemarin saya baca, selama Ramadhan dan jelang lebaran, jumlah kiriman dari TKI pada keluarganya meningkat 7 kali lipat! Luar biasa memang.
[caption id="attachment_200671" align="aligncenter" width="461" caption="Jangan hanya pecahan besar yang disediakan, yang receh begini pun perlu disediakan"]
Nah, bagi anda –baik yang mudik maupun yang kedatangan tamu mudik – dan sudah menyiapkan uang baru untuk lebaran, jangan lupa tukarkan juga uang pecahan dengan nominal kecil. Sebab bisa jadi anda tak hanya harus memberi untuk sanak keluarga saja. Usai sholat Ied, biasanya pengemis sudah berderet sejak di pintu keluar masjid sampai ke lapangan terbuka. Belum lagi di tempat-tempat pemakaman. Sebab lebaran identik juga dengan tradisi ziarah kubur, mengunjungi makam keluarga yang sudah meninggal dan berdoa bersama di sana. Biasaya komplek pemakaman dipadati anak-anak yang berharap mendapat bagian rejeki dari kita.
Satu hal lagi : kalau kemarin kita sudah menyerbu mall untuk membeli perlengkapan pribadi dan keluarga atau oleh-oleh untuk sanak saudara di tempat mudik, sudahkah tak lupa membayarkan zakat maal? Kalau zakat fitrah biasanya tidak lupa, sebab hitungannya gampang, cukup 2,5 kg beras atau uang setara itu per jiwa. Tapi zakat maal (harta benda) seringkali terabaikan. Padahal, tabungan, deposito, asset tak bergerak, perhiasan, yang sudah dimiliki selama setahun dan sudah mencapai nishab (batas minimum) harus dikeluarkan pula zakatnya. Saya terharu ketika minggu lalu karyawan saya menukarkan uangnya dengan uang baru – kebetulan perusahaan saya memfasilitasi penukaran uang baru oleh karyawan dengan cara kasbon dibayar saat menerima THR – lalu dia tanya “Bu Ira, zakat penghasilan saya berapa ya Bu?” Padahal, upah pokoknya hanya UMK plus uang makan dan tunjangan lain. Istrinya tak bekerja, anaknya 3 orang.
Nah, malu kan kita yang lebih besar penghasilannya ketimbang dia kalau sampai lupa tak membayarkan zakat maal? Jangan sampai “zakat mall” anda lebih besar nilainya ketimbang zakat maal. Artinya apa yang kita belanjakan untuk duniawi lebih besar daripada yang dibelanjakan di jalan Allah. Padahal, yang dibelanjakan untuk urusan dunia pasti habis begitu saja, sedangkan yang dibelanjakan di jalan Allah sudah dijanjikan berpuluh kali lipat balasannya. Memang tak selalu berupa nominal uang, tapi berupa barokah atas rizki kita, kesehatan, keselamatn dan terhindar dari mara bahaya. So.., sebelum mudik, tuntaskan dulu kewajiban berzakatnya ya. Selamat merayakan Indul Fitri, semoga mudik anda menyenangkan dan selamat sampai tujuan bahkan sampai pulang kembali, Amin.
----------------------------------------------------------------------------------
Foto-foto dalam tulisan ini dipersembahkan untuk event WPC-17 yang berthema STILL LIFE PHOTOGRAPHY. Silakan kunjungi link tersebut untuk melihat kemeriahan foto-foto karya peserta lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H