Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Benarkah Golput Jadi Solusi Menghukum Parpol dan Politisi Busuk?

4 Maret 2014   00:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:16 1740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_325978" align="aligncenter" width="624" caption="Headline kotaksuara.kompasiana.com : Ilustrasi/ Admin (Kompas.com)"][/caption]

Pemilihan Umum anggota Legislatif (Pileg) sudah tinggal 36 hari lagi, sudahkah anda menentukan pilihan akan mencoblos caleg siapa dari parpol apa? Ya, ini bukan lagi jaman Orba, dimana kita datang ke TPS untuk mencoblos tanda gambar parpol, tanpa perlu tahu suara yang kita berikan untuk siapa yang nanti akan mewakili kita. Di jaman Orba, sebulan sebelum Pemilu di beberapa daerah sudah bisa keluar “hasil” Pemilunya. Para caleg yang di-plot akan duduk di Senayan sudah jelas siapa saja dan siapa pula yang sekedar pemenuh daftar caleg.

Sejak 2004, Indonesia menggunakan istilah Pileg singkatan dari pemilihan (anggota) legislatif, artinya yang dipilih adalah calon anggota legislatif (caleg), bukan pemilihan umum partai politik. Seharusnya inilah yang disampaikan partai-partai politik kepada masyarakat pemilih, sebagai bentuk tanggung jawab moral melakukan edukasi kepada calon pemilih. Tapi masih ada saja parpol yang menganjurkan coblos saja gambar partainya kalau bingung memilih calegnya. Ini saran menjebak.

Memang, memilih caleg bukan perkara mudah diantara sekian banyak caleg dari 12 parpol peserta Pemilu. Jika suatu Dapil kuota kursi DPR/DPRD ada 5 kursi, setiap parpol diberi hak mengajukan caleg maksimal 2x (dua kali) jumlah kuota kursi DPR/DPRD, yaitu 10 caleg dengan batasan minimal 30% harus caleg perempuan. Jadi, di Dapil tersebut, kursi DPR/DPRD yang hanya 5 kursi saja bisa diperebutkan oleh 10 caleg x 12 parpol = 120 caleg (maksimal). Itu baru caleg DPRD Kabupaten/Kota, belum lagi caleg DPRD Propinsi dan DPR RI yang maju di Dapil yang mencakup kota tersebut. Jadi warga suatu kecamatan, bisa disuguhi 200-an wajah caleg dari 12 parpol. Bagaimana tak akan bingung memilihnya, apalagi kalau tak ada yang kenal. Tak heran kalau banyak yang mengatakan akan golput saja pada 9 April nanti. Selain karena apatisme pada partai politik, juga karena merasa tak mengenal para caleg. Untuk apa memilih orang yang tak dikenal.

Di sisi lain, saat ini dari 560 orang anggota DPR RI yang sudah duduk di Senayan hasil Pileg 2009, ada 507 orang diantaranya maju lagi menjadi caleg. Artinya, untuk DPR RI saja ada 90% lebih caleg muka lama. Padahal, selama 5 tahun kinerja mereka buruk. Target legislasi hanya 10-15% saja yang terpenuhi, sisanya mangkrak tak tersentuh. Absensi kehadiran sering bolong-bolong, bahkan meski lembar absensi, penuh tapi ruang sidang kosong. Belum lagi di DPRD Propinsi/Kota/ Kabupaten. Tak jarang, demi tetap duduk di kursi parlemen, anggota DPRD yang parpolnya tak lolos verifikasi KPU, dengan mudahnya pindah parpol, yang penting asal dapat “tiket” untuk maju lagi. Bahkan ada mantan anggota DPRD yang sudah dipecat oleh partainya terdahulu, lalu jadi tersangka kasus korupsi, kini maju lagi lewat parpol yang baru lolos verifikasi KPU.

Sungguh miris, parpol tak selektif memilih caleg, sehingga rakyat disuguhi sajian basi bahkan ada yang sudah busuk. Ini menunjukkan mandegnya kaderisasi di tubuh partai politik. Orang-orang lama di”tugas”kan untuk maju kembali, atau jalan instant lainnya adalah mengajukan artis atau selebritis atau anak/keluarga pejabat/pemimpin partai. Tapi benarkah GOLPUT bisa jadi solusi untuk “menghukum” partai politik dan para politisi busuk? Mari kita pikirkan kembali.

[caption id="attachment_315015" align="aligncenter" width="626" caption="gambar : www.bandarlampungku.com"]

1393840896317263127
1393840896317263127
[/caption]

GOLPUT DAN VARIASINYA

Semua orang paham apa artinya golput, tapi tahukah apa yang dimaksud dengan golput? Dari referensi yang sempat saya baca ini sadurannya : istilah golongan putih atau golput pertama kali muncul menjelang Pemilu 1971, dimunculkan oleh Arief Budiman dkk, sebagai bentuk perlawanan terhadap arogansi pemerintah dan ABRI yang sepenuhnya memberikan dukungan politis kepada Golkar. Arogansi ini ditunjukkan dengan memaksakan seluruh jajaran aparatur pemerintahan dan keluarganya untuk memilih Golkar. Arogansi seperti ini dianggap menyimpang dari nilai dan kaidah demokrasi di mana kekuasaan sepenuhnya ada di tangan rakyat yang memilih. Arief Budiman mengajak masyarakat untuk menjadi golput dengan cara tetap mendatangi TPS, tapi bagian yang dicoblos bukan pada tanda gambar partai politik, akan tetapi pada bagian yang berwarna putih. Maksudnya tidak mencoblos tepat pada tanda gambar yang dipilih. Artinya, jika coblosan tidak tepat pada tanda gambar, maka kertas suara tersebut dianggap tidak sah.

Nah, kini kita paham bukan, bahwa golput BUKAN berarti tidak datang ke TPS, melainkan membuat surat suara menjadi tidak sah. Dalam sistem Pemilu Legislatif sekarang, maka tindakan golput bisa dilakukan dengan cara mencoblos lebih dari satu tanda gambar partai politik atau lebih dari satu nama caleg yang tertera di surat suara. Dengan adanya lubang coblosan di lebih dari satu tempat, maka surat suara akan dianggap tidak sah dan tidak diperhitungkan.

Sedangkan apabila anda tidak datang ke TPS padahal sudah mendapat undangan memilih – itu artinya nama anda sudah tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) – maka surat suara yang seharusnya anda gunakan, menjadi tidak termanfaatkan. Apakah surat suara tak terpakai itu akan dibuang? Tidak! Surat suara tak terpakai akan dibuatkan berita acara oleh petuga KPPS. Tapi jangan lupa, selalu ada peluang bagi oknum yang berprinsip “wani piro?!” untuk disalahgunakan dan dipakai untuk mencoblos nama caleg yang sudah bekerjasama dengannya demi menggelembungkan perolehan suara sang caleg nakal. Karena itu, dengan tidak datang ke TPS, berarti selain suara anda tidak dihitung, juga memberi peluang adanya penyalahgunaan surat suara sisa.

Lalu apa dampaknya jika golput (suara tidak sah) tinggi? Apakah akan merugikan parpol dan calegnya? Apakah jumlah caleg terpilih akan berkurang? Sayang sekali, jawabnya : TIDAK! Seberapapun tingginya angka golput, baik karena tidak datang ke TPS maupun surat suara tidak sah, sama sekali tidak mempengaruhi jumlah kursi di DPR. Kenapa?! Mari kita pelajari sistem penghitungan suara sah dan bagaimana sebuah kursi diberikan kepada parpol/caleg.

[caption id="attachment_315018" align="aligncenter" width="600" caption="gambar : www.antarabali.com"]

1393841274375434378
1393841274375434378
[/caption]

PERHITUNGAN “HARGA” KURSI DPR / DPRD

Jumlah kuota kursi DPRD suatu daerah, biasanya ditentukan oleh jumlah penduduk daerah tersebut. Sebagai contoh saya ambil kota Surabaya, dengan jumlah penduduk berhak pilih yang terdaftar dalam DPT sebesar 2.013.000 orang, jumlah kursi anggota DPRD Surabaya yang tersedia 50 kursi. Untuk mudahnya kita lakukan pembulatan saja, 2 juta pemilih dibagi 50 kursi. Artinya harga sebuah kursi DPRD Surabaya adalah 40.000 suara. Inilah yang disebut angka BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). Angka BPP awal ini hanya sebagai patokan bagi caleg/parpol untuk menetapkan target perolehan suara. Angka BPP awal itu tidak menjadi patokan saat pembagian kursi.

Kalaupun seandainya 50% pemilih golput – dengan tidak datang ke TPS dan/atau membuat surat suara tidak sah – maka suara sah hanya 1 juta suara dibagi 50 kursi. Artinya nilai BPP pada saat pembagian kursi turun drastis menjadi hanya 20.000 suara saja. Dengan kata lain, untuk mendapatkan 1 kursi, parpol/caleg cukup hanya mengumpulkan suara 20.000 saja sudah bisa terpilih. Ingat, untuk mendapatkan satu kursi, suara tidak harus diperoleh satu caleg saja, melainkan akumulasi perolehan suara suatu parpol di dapil tersebut. Mari saya contohkan konkritnya.

Di kota Sukasuka, jumlah penduduk berhak pilih sesuai DPT ada 1,2 juta orang dengan kursi DPRD 30 kursi. Karena tingkat golput mencapai 60%, jumlah suara sah hanya 480 ribu suara. Sehingga nilai BPP anjlok menjadi 16.000 suara/kursi. Kota Sukasuka terbagi menjadi 5 Daerah Pemilihan (Dapil). Dapil I terdiri dari 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Sukamaju, Sukamakmur, Sukakaya. Di dapil I ini, jumlah suara sah ada 100.000 suara, dengan kuota kursi DPRD ada 6 kursi. Partai A mendulang 30.000 suara, partai B mendapat 28.000 suara, partai C totalnya 17.000 suara, partai D hanya memperoleh 10.000 suara dan partai E mengumpulkan 15.000 suara. (Maaf, contohnya cukup 5 parpol saja, kewalahan kalau harus mencontohkan 12 parpol – Pen.). Perolehan suara parpol itu adalah keseluruhan suara (akumulasi) dari seluruh caleg masing-masing parpol yang ada di Dapil I (Kecamatan Sukamaju, Sukamakmur dan Sukakaya).

[caption id="attachment_315020" align="aligncenter" width="640" caption="gambar : photo.sindonews.com"]

13938414461132614778
13938414461132614778
[/caption]

Pada perhitungan suara tahap pertama, maka yang mendapatkan kursi hanya partai A, B dan C saja. Siapa caleg yang jadi? Misalnya partai A mengajukan 10 caleg, dengan total suara yang didapat sebanyak 30.000, maka kursi partai A diberikan pada caleg yang mengumpulkan suara terbanyak. Misalnya dari 10 caleg itu masing-masing mendapat suara antara 1.000 – 5.000 suara, maka caleg partai A yang memperoleh 5.000 suara inilah yang berhak mendapatkan kursi. Meski seandainya pesaingnya, sama-sama caleg partai A, mendapat suara sebanyak 4.900 suara, tetap saja seluruh kursi pertama ini untuk caleg yang mendapat 5.000 suara. Nah, disini bisa kita lihat, hanya dengan mengumpulkan 5.000 suara saja bisa jadi caleg terpilih bukan? Tak perlu harus mengumpulkan 16.000 suara. Itu sebabnya makin tinggi tingkat golput atau suara tidak sah, makin mudah seorang caleg melaju ke kursi palermen.

Kini perhitungan tahap kedua, yaitu pembagian kursi dengan memperhitungkan sisa suara. Setelah 3 kursi diberikan kepada partai A, B dan C, kini sisa suara partai A yang belum ditukar kursi tersisa 30.000 – 16.000 = 14.000 suara. Sementara sisa suara partai B = 12.000 suara, partai C tinggal 1.000 suara, partai D = 10.000 suara dan partai E = 15.000 suara. Karena tak ada yang mencapai 16.000 suara, maka partai yang memiliki sisa suara terbanyak yang akan mendapatkan kursi. Berarti partai E-lah yang mendapatkan kursi ke-4 di Dapil I ini. Siapa caleg partai E yang mendapatkan kursi? Sama dengan cara penentuan caleg terpilih partai A tadi, yaitu caleg partai E yang mengumpulkan suara terbanyak. Meski seandainya caleg pengumpul suara terbanyak itu hanya memperoleh 3.000 suara sekalipun, tetap bisa terpilih jadi anggota DPRD.

Selanjutnya, masih ada 2 kursi lagi di Dapil I, itu akan menjadi hak partai A dan B, karena sisa suaranya 14.000 dan 12.000 masih lebih banyak dari pada sisa suara partai C maupun seluruh perolehan suara partai D. Kursi kedua untuk partai A dan B diberikan pada caleg pengumpul suara terbanyak kedua. Disini bisa kita lihat, partai D yang mendapat suara 10.000, bisa saja sama sekali tak mendapat jatah kursi, sementara partai A dan B masing-masing mendapat 2 kursi, partai C dan E masing-masing mendapat 1 kursi. Walaupun di partai D ada caleg yang berhasil mendulang suara sampai 6.000 suara sekalipun, mengalahkan caleg jadi dari partai A, namun jika partai-nya tak mendapatkan kursi, maka caleg itu pun tetap tak akan mendapatkan kursi.

Bahkan untuk kursi DPR RI, sebelum seluruh kursi dibagi ke para caleg/parpol, terlebih dulu dilihat perolehan suara nasional suatu parpol, mampukah menembus ambang batas parlemen (parliamentary threshold atau disingkat PT). Parpol yang tak lolos PT langsung tersingkir, suara pemilihnya hangus dan tak satupun caleg DPR RI-nya bisa melaju ke Senayan.

Jadi, sudah jelas bukan, kenapa suara golput atau suara yang tidak sah sama sekali tak mengurangi jumlah anggota DPR terpilih? Meski tingkat golput/suara tidak sah di Indonesia mencapai 50% sekalipun, di Senayan tetap akan duduk manis 560 orang hasil Pemilu 2014, yang bisa saja 90% diantaranya wajah lama. Bagaimanapun mereka sudah lebih dikenal di masyarakat karena sering muncul di televisi, misalnya. Tak peduli meski terkenalnya itu karena berita pelesiran mereka ke luar negeri, pertengkaran mereka dengan kolega sesama anggota DPR, atau terkenal karena gigih membela rekan separtainya yang jadi tersangka suap/korupsi. Caleg incumbent lebih berpeluang jadi, meski perolehan suara mereka masih jauh dari BPP. Makin tinggi golput, makin murah dan makin diobral harga kursi DPR dan DPRD.

[caption id="attachment_315021" align="aligncenter" width="305" caption="gambar : ppskarangdoro.blogspot.com"]

13938415321464995323
13938415321464995323
[/caption]

BAGAIMANA MENGHUKUM PARPOL ATAU POLITIKUS BUSUK?

Tak ada jalan lain kalau anda ingin “menghukum” parpol yang dianggap tidak aspiratif, tak menjalankan amanah rakyat, banyak kadernya yang korup, maka mau tak mau anda tak bisa golput. Anda terpaksa harus memilih, dengan cara memberikan pilihan pada caleg dari parpol lain yang anda anggap masih lebih baik dari parpol yang ingin anda “hukum” itu. Seperti dalam contoh di atas, parpol D terpaksa gigit jari karena tak mendapatkan kursi satu pun di Dapil I. Bagaimana jika aksi tidak memilih parpol D ini terjadi di Dapil I sampai Dapil V? Otomatis partai D sama sekali tak bisa mendudukkan wakilnya di DPRD Kota Sukasuka.

Sebaliknya, jika anda ingin menghukum salah satu caleg yang anda anggap sebagai politisi busuk, maka meski anda ingin mendukung partai tempat si caleg bernaung, jangan berikan suara anda bagi caleg tersebut, alihkan untuk caleg yang lain. Lalu bagaimana? Saya tak kenal calegnya sama sekali! Itu bukan hanya problema anda. Saya pun sudah cukup berusaha mengenali caleg dengan melihat situs KPU yang link-nya ada di Kompas.com. Saya menelusuri caleg DPR RI Dapil Jatim I, yaitu Surabaya dan Sidoarjo. Saya temukan seorang caleg wanita dari parpol XYZ yang namanya mirip sekali dengan nama teman kost saya, adik angkatan di kampus saya, tapi beda fakultas. Karena situs itu tak menyajikan informasi apapun selain nama caleg, nomor urutnya, nama partainya, maka saya browsing di pustaka paman Google. Sebut saja namanya Susilowati, nama yang cukup ‘pasaran’, jadi saya tak bisa langsung yakin bahwa itu memang adik angkatan saya.

Ternyata, dari sekian banyak situs, termasuk situs yang dikelola parpol atau simpatisan parpol caleg tersebut, saya tetap tak mendapatkan informasi tambahan, selain nama caleg dan dapilnya serta nomor urut sang caleg. Meski saya berhasil mendapatkan foto caleg yang ukurannya lebih besar dari foto di situs KPU, tetap saja saya tak bisa mengenalinya lagi, sebab – kalaupun benar itu adik angkatan saya – kami sudah 17 tahunan tak bertemu. Alhasil, upaya menelusuri Curriculum Vitae sang caleg, meski hanya sekedar riwayat pendidikannya, tetap tak bisa saya dapatkan.

Nah, kalau anda tak mengenal satu pun caleg yang berlaga di Dapil anda, sementara anda tak ingin golput, maka semua pilihan adalah gambling. Tak ada jaminan sedikitpun bahwa caleg yang anda pilih baik. Namun, saya pribadi setuju dengan pendapat Bang Iwan Piliang dalam tulisannya beberapa hari lalu : pilih caleg muka baru! Caleg stock lama adalah caleg gagal. Bagaimana mau disebut berhasil kalau target legislasi terbengkalai dan absensi sering bolong? Saya mendapatkan email untuk mendukung petisi agartak memilih caleg jagoan bolos. Pengusung petisi akan mendesak Marzuki Alie untuk membuka absensi anggota DPR.

[caption id="attachment_315022" align="aligncenter" width="536" caption="Kursi DPR lebih sering melompong pada saat sidang karena banyak yang membolos (gambar : www.merdeka.com)"]

13938416011117047070
13938416011117047070
[/caption]

Dari segi kinerja, banyak diantara mereka sudah duduk di kursi parlemen 2 bahkan 3 periode alias 10-15 tahun jadi penghuni gedung DPR/DPRD. Semestinya makin berpengalaman justru makin menguasai pelaksaan tugasnya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya : makin mahir dan piawai dalam menegosiasikan proyek, jatah anggaran, minta THR, dll aksi menggarong uang negara. Sekedar pendapat pribadi, caleg muka baru – meski sama-sama tak ada jaminan akan lebih baik dari caleg muka lama – masih belum hafal “jalan-jalan tikus” di DPR/DPRD. Mereka belum familiar dengan para cukong dan calo proyek, belum paham pat-gulipat mengembat APBN/APBD, belum tahu lika-liku “tradisi” porot memorot instansi pemerintah untuk dijadikan ATM bagi partainya.

Bisa juga dengan mengalihkan dukungan pada caleg-caleg urutan terbawah, sebab umumnya caleg urutan bawah bukan caleg yang diprediksi jadi oleh parpolnya, alias sekedar caleg pemenuh kuota. Terutama untuk caleg DPR RI. Tapi perlu diketahui pula, ada juga parpol yang menerapkan sistem undian untuk penentuan nomor urut calegnya. Nah, kalau sistem undian yang dipakai, maka caleg nomor urut bawah belum tentu caleg yang tak diharapkan jadi. Hanya saja, dari pengamatan saya terhadap sejumlah parpol, caleg yang direstui pimpinan parpol biasanya akan menempati nomor urut yang eye catching alias urutan atas.

Selamat memilih, semua pilihan di tangan anda. Bahkan seandainya setelah membaca tulisan ini anda tetap berkeinginan golput atau merusak surat suara sekalipun, setidaknya anda sudah paham mekanismenya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun