[caption id="attachment_304958" align="aligncenter" width="296" caption="foto : nasional.news.viva.co.id"][/caption]
“Kemarin saya mendapat informasi, saya kira ini soheh, Mas Bambang Widjojanto juga ke Cikeas jam 2 siang didampingi Wakil Mentri Denny Indrayana”, begitu ujar Ma’mun Murid, juru bicara PPI, di hadapan sejumlah awak media di Gedung KPK Selasa, 7 Januari kemarin. Pernyataan yang segera diralat menjadi jam 2 dini hari sampai jam 4 dan ditambahkan bersama Menko Polhukam Djoko Suyanto, setelah juru bucara KPK, Johan Budi, membantah bahwa sepanjang hari Senin tanggal 6 Januari 2014, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto berada di kantor KPK dan menjalankan tugas seperti biasa.
Melalui acara AKI Malam, TV One mengkonfirmasi kebenaran tuduhan tersebut pada Bambang Widjojanto (BW). Wawancara dilakukan secara live melalui sambungan telepon, menjelang jam 20.30 BW masih berada di kantor KPK, tampak jelas dari background tempat duduk BW. Pertama BW menyatakan bahwa dirinya siap mempertanggungjawabkan keberadaannya setiap detik karena GPS di ponselnya maupun di mobilnya sangat mudah dilacak siapa saja. Elvira Khairunnisa, host acara kemudian menanyakan secara lebih spesifik, dimana keberadaan BW pada jam yang dituduhkan. Berikut jawaban BW :
BW mengatakan dirinya punya kebiasaan setiap pagi sholat Subuh berjamaah di masjid. Pada Senin dini hari itu, ia sudah berada di masjid sebelum jam 4, “mana mungkin saya bisa berada disitu kalau dikatakan saya ada di tempat lain pada jam segitu”, ujar BW. Menurutnya, banyak jamaah masjid itu yang bisa menjadi saksi keberadaannya. Kebetulan pula, pagi itu ada seorang jurnalis yang memintanya untuk diwawancarai. Kebiasaan BW bersedia diwawancara di rumahnya seusai sholat Subuh dan pagi itupun demikian yang terjadi. Subhanallah..., jika demikian yang terjadi, betapa tak terpujinya tuduhan yang dilontarkan sembarangan tanpa check n recheck pada berbagai pihak yang benar-benar tahu dimana keberadaan orang-orang yang dituduh.
Ma’mun Murod sendiri menyatakan bahwa dirinya menyampaikan pernyataan tersebut dalam rangka “tabayyun”, seperti yang dikatakannya : "Nawaitu (niat) saya membuka informasi tersebut ke ranah publik, semata dengan maksud tabayyun, dengan mempertimbangkan bahwa nama-nama dimaksud saat ini tengah menyandang sebagai pejabat publik, yaitu masing-masing menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM dan Wakil Ketua KPK. Juga secara pribadi saya (dan Tri Dianto) tidak ada kedekatan dengan yang bersangkutan. Tabayyun ini selain sejalan dengan ajaran agama (Islam) yang sejak kecil saya pelajari, bahwa bila mendapat informasi yang masih belum jelas hendaknya tabayyun (buka al-Qur’an Surat al-Hujurat: 6), juga karena saya (dan Tri Dianto) ingin mengecek validitas informasi tersebut," (sumber : Tribunnews.com).
Baiklah, karena Ma’mun Murod selalu menggunakan terminologi agama (soheh, nawaitu, tabayyun, ayat-ayat suci Al-Qur’an) sebaiknya mari kita buka saja Surat Al Hujurat (surat 49, juz 29) agar semua pihak tahu apa yang sebenarnya diperintahkan ALLAH, sehingga tak menimbulkan kesan negatif, seolah ajaran Islam menghalalkan seseorang menyampaikan tuduhan di depan umum kepada pihak lain. Berikut terjemahan QS Al-Hujurat ayat 6 : “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu”.
[caption id="attachment_304959" align="aligncenter" width="318" caption="foto : nasional.inilah.com"]
Jelas, pada ayat tersebut makna “tabayyun” adalah meneliti lebih dahulu kebenaran suatu berita. Terminologi yang tepat untuk memaknainya mungkin check n recheck, konfirmasi dan klarifikasi. Apakah menyampaikan sebuah berita yang belum jelas kebenarannya (terbukti bahwa kemudian pernyataan itu diralat jam maupun pihak-pihak yang terlibat) di depan umum, apalagi di depan awak pers yang sudah pasti akan memberitakannya secara luas – sesuai fungsi pers – adalah termasuk langkah-langkah tabayyun? Yang mampu berpikir logis tentu akan bisa menilai.
Jika anda mendengar kabar si A mendatangi rumah si B pada dini hari dan anda berniat mulia dan punya itikad baik untuk melakukan konfirmasi dan klarifikasi, tentu anda akan menghubungi pihak terkait atau orang-orang disekitarnya yang diduga kuat mengetahui betul keberadaan si A dan si B. Proses klarifikasi dan konfirmasi tentunya dilakukan secara tertutup –hanya melibatkan pihak yang terkait – bukan justru menyebarkan secara luas kepada umum apalagi sudah mengklaim bahwa apa yang disampaikannya itu bersumber dari informasi yang soheh. Jadi jika dikatakan informannya sudah soheh, layakkah itu disebut proses tabayyun? Untuk apa lagi tabayyun jika sebelum menyampaikan informasi sudah mengaku bahwa apa yang disampaikannya soheh. Bukankah pernyataan bahwa sumber informasinya soheh justru adalah upaya persuasif untuk mengajak orang lain percaya begitu saja? Seperti halnya hadist soheh, kita tak layak lagi memperdebatkannya, karena sesuatu yang sudah dikatakan bersumber dari nara sumber yang soheh telah melalui serangkaian pengujian, termasuk sejauh mana orang tersebut layak dipercaya, pernahkah dalam sejarah hidupnya ia berbohong, serta sejauh mana kedekatan nara sumber dengan sumber berita.
Bahkan ketika melakukan ralat, Ma’mun Murod masih mengklaim sumber informasinya layak dipercaya, sebagaimana dikutip Tribunnews.com : "Saya menerima informasi dari sumber yang dapat dipercaya bahwa pada Senin dinihari antara jam 02.00-04.00 (ralat atas informasi awal jam 14.00), 6 Januari 2014, didapati bahwa Denny Indrayana dan Bambang Widjojanto berada di Cikeas (kediaman Bapak SBY). Datang dengan menggunakan mobil Toyota Innova warna Hitam. Bahkan menurut informasi yang kami terima belakangan, bukan hanya mereka berdua, tapi ada juga Bapak Djoko Suyanto, Kanda Syarif Hasan dan Mbak Inggrid Kansil.". Nah, dimana letak ‘tabayyun’ dalam kalimat tersebut? Itu hanya bentuk penegasan bahwa informasinya dapat dipercaya.
Petang hari kemarin, di acara Primetime News di Metro TV, Ma’mun Murod tampak berusaha mengalihkan pembicaraan setiap kali Indra Maulana yang memandu acara berusaha menanyakan soal tuduhan BW dan DI ke Cikeas pada Senin, 6 Januari. Indra Maulana sempat mendesak Ma’mun mengenai klasifikasi nara sumbernya. Bukan menanyakan namanya, tapi sejauh mana kedekatan dan level sang nara sumber. Tapi lagi-lagi Ma’mun Murod menolak. Bukankah soheh itu harus bisa dipertanggungjawabkan dan dibenarkan oleh banyak pihak, bukan sekedar soheh menurut Ma’mun Murod saja.
Dalam permintaan maafnya kepada Denny Indrayana, Ma’mun Murod kembali membawa terminologi agama dan ayat Al-Qur’an seperti berikut : “...Permintaan maaf ini, saya (dan Tri Dianto) sampaikan sebagai bentuk tanggung jawab dan ke-gentle-an saya (dan Tri Dianto) atas apa yang telah saya sampaikan. Meminta maaf (dan memberi maaf) adalah ajaran mulia (lihat al-Qur’an Surat Ali Imran: 134). ...”. Kembali kita buka Surat Ali ‘Imran (surat ke-3,juz 4) :”(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan,”. Adakah apa yang dilakukan Ma’mun Murod itu sebuah perbuatan baik? Apakah pernyataan gegabahnya itu bukan sebuah manifestasi dari kemarahan? Apalagi ternyata, sampai tadi malam di AKI Malam, Tri Diyanto masih bersikeras menolak meminta maaf dan tidak merasa salah.
[caption id="attachment_304960" align="aligncenter" width="303" caption="foto : news.okezone.com"]
Sebagai sesama Muslim, saya sarankan Ma’mun Murod tidak memotong suatu ayat yang masih bertanda koma (,) sebab ayat berikutnya, Ali ‘Imran ayat 135 bunyinya : “dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji*) atau mendzhalimi diri sendiri (segera) mengingat ALLAH, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain ALLAH? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahuinya.” Keterangan dari ayat tersebut soal diksi “perbuatan keji” adalah : fahisyah, yaitu dosa besar yang akibatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain. Nah, apa yang dilakukan Ma’mun Murod itu dampaknya sudah jelas mencemarkan nama baik dan integritas pihak lain. Ia sudah menyebarluaskan suatu berita yang diklaim sebagai soheh, sedangkan sekarang dirinya baru akan mencari kebenarannya. Dalam ajaran Islam, tabayyun dilakukan lebih dulu sebelum disiar-siarkan, bukan sebaliknya!
Rekan Anas di PPI sendiri bukan baru kali ini membuat pernyataan di depan pers yang belum dikonfirmasi kepada pihak yang bersangkutan. Dalam diskusi di kantor PPI (rumah Anas) beberapa waktu lalu, disampaikan bahwa Profesor Subur Budi Santoso “dijemput” Kepala BIN dan tidak bisa dihubungi. Ternyata, belakangan diralat bahwa Prof. SBS datang sendiri ke BIN karena akan menemui Kepala BIN. Penyampai informasi kepada pers adalah Rahmad, yang menurutnya sumber informasinya dari Sri Mulyono. Jadi, publik bisa menilai bukan, kualitas “soheh” bagi orang dekat Anas sejauh mana. Karena itu, sebagai warga negara yang sudah kesal dan muak dengan segala macam kegaduhan bernuansa politis, saya himbau Ma’mun Murod dan siapapun, hendaknya jangan sekali-kali membawa/menggunakan terminologi agama dalam bualan atau issue politis. Hal ini agar tak menimbulkan persepsi negatif terhadap ajaran Islam, terutama bagi yang belum/tidak tahu pasti kebenaran makna dari istilah maupun ayat-ayat yang dikutip. Apalagi jika makna dari terminologi tersebut dibelokkan sesuka hati (seperti kata “tabayyun” yang seharusnya check n recheck tapi justru jadi menyebarluaskan), maka itu akan menodai kesucian dan kebenaran ajaran agama Islam.
Bambang Widjojanto sendiri menyebut apa yang dilakukan rekan-rekan Anas itu sudah biasa seperti yang dilakukan oleh pelaku korupsi lainnya yang takut mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sepanjang tahun 2013, kita melihat beberapa kasus korupsi yang melibatkan tokoh politik besar atau pejabat tinggi suatu institusi. Kita lihat bagaimana kelompok pendukung para tersangka itu berupaya mengulur waktu dan menyerang/melawan KPK. Jadi, semakin seseorang (dan kelompoknya) melakukan serangan tak jelas terhadap KPK, yang didapat bukannya simpati publik tapi justru antipati. Apakah rekan-rekan Anas di PPI mengira dengan membawa terminologi agama dan ayat suci, maka ummat Islam akan mendukung? Nanti dulu! Justru sekarang ini masyarakat makin muak dengan politisasi agama dan penggunaan ayat suci untuk kepentingan golongan. Jadi berhati-hatilah, mulutmu harimaumu.
Rujukan : Tuding Denny Indrayana ke Cikeas, Jubir PPI Minta Maaf (tribunnews.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H