Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Apakah Sebaiknya PNS Mendapatkan THR?

2 Agustus 2013   16:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:42 1959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1375436622766554383

Ada yang ironis dalam peraturan ketenagakerjaan di negeri ini, dimana Pemerintah sebagai regulator dan pihak swasta yang diwajibkan memenuhi setiap regulasi yang ditetapkan Pemerintah. Sebut saja penetapan UMK, misalnya. Setiap daerah diberi kewenangan untuk menentukan besaran UMK yang dianggap sesuai dengan kebutuhan hidup di daerah yang bersangkutan. Penetapan UMK dilakukan oleh Gubernur terkait, setelah SK Gubernur ditetapkan, maka jatuhlah kewajiban semua perusahaan swasta untuk mematuhinya. Memang ada peluang untuk mengajukan keberatan, tapi dengan sejumlah persyaratan yang tidak mudah. Hanya perusahaan yang benar-benar dinilai tidak mampu saja yang akan dikabulkan keberatannya. Tapi, sudahkah pegawai Pemerintah – alias PNS – semuanya mendapatkan upah pokok yang nilainya minimum setara/ di atas UMK? Masih ada PNS golongan terendah di daerah yang UMK-nya tinggi, ternyata gaji pokoknya lebih kecil dari UMK di daerah tersebut.

Aturan lain, misalnya soal pemakaian tenaga outsourcing. Meski aturan mengenai outsourcing tidak dihapuskan, tetapi aturan terkait pemakaian tenaga outsourcing sangat ketat. Bahkan perusahaan penyedia jasa tenaga outsourcing itulah yang harus menjadikan tenaga kerja mereka sebagai tenaga tetap. Masa seorang pekerja boleh dipekerjakan dengan status tenaga kerja kontrak, dibatasi oleh waktu yang totalnya tak boleh lebih dari 3 tahun. Tapi bagaimana Pemerintah memberlakukan tenaga honorer? Memang, tenaga honorer tidak identik dan tidak bisa disamakan dengan tenaga outsourcing, karena pengelolaannya dilakukan langsung oleh Pemerintah Daerah setempat atau instansi terkait. Namun perlakuan terhadap tenaga honorer bahkan lebih minim dibanding tenaga outsourcing, termasuk perlindungan atas hak-haknya. Tenaga outsourcing upahnya tidak boleh di bawah UMK, sedangkan tenaga honorer upahnya bisa jadi bahkan “suka-suka” alias sekedarnya. Pun juga jangka waktu pemekerjaan sebagai tenaga honorer. Ada yang sudah belasan tahun bahkan berpuluh-puluh tahun tetap saja statusnya honorer dengan upah yang belum tentu naik setiap tahun dan makin tahun makin ketinggalan jauh di bawah UMK setempat.

Yang terakhir – setidaknya hanya 3 hal ini yang saya anggap ironi – adalah soal THR atau Tunjangan Hari Raya. Sesuai Permenaker nomor PER-04/MEN/1994 yang dikeluarkan semasa Menaker dijabat oleh Dr. Abdul Latief, pada 16 September 1994 dan masih berlaku sampai sekarang, Pengusaha (note : swasta!) diwajibkan memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan secara terus menerus atau lebih, dengan besaran minimal 1 (satu) bulan upah, dimana upah yang dimaksud adalah upah pokok ditambah tunjangan-tunjangan yang bersifat tetap. Pembayaran THR pun diatur selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan. Bahkan pekerja yang putus hubungan kerjanya (habis masa kontrak, pensiun, diberhentikan, mengundurkan diri, meninggal dunia) terhitung sejak waktu 30 hari sebelum jatuh tempo Hari Raya Keagamaan, mereka pun berhak atas THR. Lalu bagaimana dengan pekerja Pemerintah alais PNS? Apakah Pemerintah sudah membayarkan THR bagi pekerja-pekerjanya di seluruh tanah air sebelum memaksa pengusaha swasta membayar THR sesuai regulasi yang ditetapkan Pemerintah? Ternyata tidak! PNS tidak mendapatkan THR.

Namun, jika kembali menelisik kinerja PNS di Indonesia yang mayoritas atau secara umum dianggap kinerjanya buruk dan disiplinnya rendah (datang ke kantor sesuka hati, kelayapan pada jam kerja, banyak yang membolos setelah libur panjang long weekend atau biasa disebut “harpitnas” dan beragam tindakan indispliner lainnya), tentu gagasan untuk memberikan THR bagi PNS akan mendapat banyak tentangan. Karena selama ini gaji PNS yang biasanya dinaikkan secara otomatis menjelang event-event politik nasional atau pemberian gaji ke-13 yang lebih bersifat kebijakan populis, itu saja dianggap sudah terlalu bagus untuk kinerja PNS sebagai pelayan masyarakat yang secara umum hampir di semua lini dan instansi dianggap belum memuaskan dan belum berorientasi pada customer satisfaction. Belum lagi masih maraknya pungli yang dirasakan masyarakat, dimana pelakunya adalah oknum-oknum PNS yang mentradisikan pungli untuk mempercepat layanan.

Lalu kenapa saya tergelitik untuk menulis judul seperti ini? Sudah bukan rahasia lagi, beberapa instansi Pemerintah yang berhubungan langsung dengan pihak swasta non perorangan, pada musim jelang lebaran seperti ini akan “meminta” THR dari pihak-pihak yang membutuhkan jasanya. Entah jasa itu terkait perijinan atau sekedar pengawasan dan pelaporan rutin semata. Ini sudah jamak terjadi, bukan hanya merujuk pada satu instansi tertentu atau hanya terjadi di kota metropolitan semacam Jakarta saja. Cara memintanya pun sudah tidak lagi malu-malu dengan sindiran halus, tetapi sudah to the point dengan menanyakan “jatah” THR untuk mereka, meski sebenarnya tak ada yang menjanjikan akan memberi jatah. Ada pula yang dengan menitipkan pesan melalui pihak lain, dengan alasan menitip salam sekaligus menanyakan uang ketupat.

Tindakan seperti ini menurut saya sangat memalukan. Betapa tidak, abdi negara yang sudah dibayar dengan uang pajak rakyat, sudah pula mendapatkan gaji ke-13 setiap tahun, namun ketika perusahaan swasta membagikan THR – wujud lain dari gaji ke-13 – mereka pun tak malu-malu meminta bagian. Pada perusahaan yang tidak terlalu besar dan dalam setahun hanya memberikan gaji 12 kali, maka THR sebenarnya adalah “gaji ke-13” yang moment pemberiannya dilakukan saat hari raya keagamaan, atau lebih tepatnya menjelang Idul Fitri. Memang ada beberapa perusahaan besar yang kinerja keuangannya bagus, dalam setahun mereka bisa membayarkan 15 – 20 kali gaji. Pegawai Pemerintah alias PNS, mendapatkan gaji ke-13 pada setiap bulan Juni, khusus tahun ini mundur menjadi bulan Juli. Jadi, sebenarnya sama saja bukan?

Memang, tindakan oknum yang tak malu-malu meminta jatah THR, itu sebenarnya adalah persoalan mentalitas, bukan persoalan finansial. Masih ingat kasus uang THR dalam kardus durian menjelang lebaran 2011 lalu? Bukankah issunya itu untuk “THR” bagi orang-orang dekat Menteri Tenaga Kerja (meski kemudian dibantah habis-habisan)? Begitu pula kasus tertangkap tangannya seorang staf Diklat Mahkamah Agung yang kedapatan menerima uang dari Mario C. Bernardo, salah satu pengacara dari kantor firma hukum Hotma Sitompul. Menurut pengacara Mario, Tommy Sihotang, uang sekitar Rp. 80 juta yang disita KPK itu tak ubahnya adalah THR, yang “sangat kecil” nilainya. Nah, sudah sedemikian “mewabah”nya kah kebiasaan meminta uang THR yang dilakukan aparatur Pemerintahan kepada counter part mereka, sampai-sampai seorang lawyer yang mendapatkan uang dari hasil menjual jasa kepada orang yang berperkara hukum, memberikan THR dalam jumlah yang sangat besar. Tragis bukan jika uang THR justru mengantar penerima dan pemberinya ke bilik rutan KPK?

Jadi, dalih yang kerap terdengar diucapkan : “enak ya, kalau orang swasta, dapat THR. Kami gak dapat THR” itu hanyalah alasan pembenar semata. Bukankah pekerja swasta bisa juga menggugat : “Enak ya jadi PNS, dapat gaji ke-13 tiap tahun tanpa perlu ada penilaian kinerja dan tanpa mengejar target margin profit perusahaan”. Sudah dapat THR pun kalau mentalitasnya memang mentalitas peminta-minta, maka akan tetap saja “memalak” secara halus kepada pihak ketiga yang dianggap punya kepentingan untuk dilayani dan dimudahkan urusannya.

Kalau boleh usul, agar gaji ke-13 tidak lagi dijadikan alat politis sebagai kebijakan populis yang diumumkan setiap tahun oleh siapapun yang menjadi Presiden – seolah itu “kebaikan hati” dari Pemerintah yang sedang berkuasa – sebaiknya Pemerintah memutuskan saja : PNS mendapat THR setiap hari raya keagamaan.. Lalu hapuskan gaji ke-13, karena THR itu lah pengganti gaji ke-13. Sama saja bukan, hanya beda moment pemberiannya. Selanjutnya, jika Pemerintah sudah menetapkan PNS mendapat THR pada hari raya keagamaan, maka kalau ada oknum yang meminta THR kepada pihak ketiga yang seharusnya dilayani, sudah selayaknya dilaporkan dan diberi sanksi tegas karena perbuatan itu sama dengan meminta uang suap.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun