[caption id="attachment_199106" align="aligncenter" width="408" caption="Sumber gambar : Album Ilustrasi K - by Kampret Klik"][/caption]
Sekitar 6 tahun lalu, saya pernah nonton sebuah acara di stasiun TV swasta lokal di Surabaya, yang menanyakan apa cita-cita dari sekelompok anak Jepang usia TK dan SD. Jawaban mereka sederhana : jadi sopir truk, penjaga toko dan beberapa profesi lainnya yang jarang disebut kalau kita menanyakan cita-cita pada anak Indonesia. Sejak masih dalam gendongan ibu, umumnya anak-anak Indonesia sudah dibisikkan agar kalau besar nanti jadi dokter, “insinyur”, astronot, pilot, arsitek dan beberapa profesi "mentereng" lainnya. Yang paling banyak memang jadi dokter.
Hampir tak pernah kita dengar orang tua mengenalkan cita-cita pada anaknya untuk jadi sopir truk, tukang kebun, dll. Alasannya mudah di tebak : profesi yang dianggap menghasilkan banyak uang adalah dokter, arsitek, pilot, dan..., mungkin sekarang profesi pengacara termasuk juga pilihan yang menggiurkan, sebab makin banyak tersangka korupsi, makin laris profesi pengacara dicari. Profesi lain yang tampak “gagah” adalah jadi tentara dan polisi. Gagah karena selalu “menang” dimana-mana dan ditakuti rakyat. Dan yang dianggap “aman” adalah jadi PNS, gaji rutin bisa diandalkan tiap bulan, tiap tahun ada kenaikan gaji tanpa harus demo, menjelang Pemilu atau Pilpres biasanya ada gaji ke-13 dan kelak ada pensiun yang bisa dicadangkan.
Karena sejak kecil sudah dikenalkan dengan konsep cita-cita yang menghasilkan banyak uang, tak heran jika anak-anak Indonesia umumnya sejalan dengan impian orang tuanya. Demikian pula orang tua, demi mendukung anaknya mencapai cita-cita “bergengsi” itu, mereka rela merogoh kocek berapapun, dengan asumsi profesi itu cukup “menjanjikan” bagi masa depan anaknya.
[caption id="attachment_199108" align="aligncenter" width="425" caption="(sumber : zalszone.blogspot.com)"]
Lebih 5 tahun lalu, teman kantor saya nelangsa, anaknya gagal masuk kepolisian karena uang pelicin yang harus disediakan – di luar jalur resmi tentu saja – jumlahnya mencapai 50-an juta rupiah. Tentu itu jumlah yang tak mungkin bisa didapatnya dengan gaji yang saat itu sekitar tak sampai 2 jutaan sebulan. Kemarin, di sebuah tulisan yang mengupas tentang perilaku korupsi di kalangan polisi, saya baca contoh kasus seseorang yang terpaksa sedih karena gagal memasukkan anaknya ke kepolisian karena uang pelancar yang dipatok Rp. 80 juta jauh dari jangkauannya.
Beberapa waktu lalu saya membaca di Yahoo.news, sebuah PTN di Solo membuka jalur khusus Fakultas Kedokteran, yang hanya bisa diakses anak-anak dari keluarga kaya, karena uang masuk yang dipatok nilainya ratusan juta. Begitupun calon mahasiswa yang ketahuan memakai joki saat ikut tes beberapa waktu lalu, adalah calon mahasiswa untuk Fakultas Kedokteran UGM program Kedokteran kelas Internasional, yang biayanya jelas mahal. Sudah bayar mahal, masuknya masih membayar jasa joki pula. Suami kakak sepupu saya yang beberapa tahun lalu menjadi Pembantu Dekan III Fakultas Kedokteran sebuah PTN, pernah mengeluhkan bahwa mahasiswanya yang masuk lewat jalur berbayar yang seringkali ”jor-joran” antar calon mahasiswa dalam membayar uang masuk yang jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah, ternyata kualitas mereka tak sebaik mahasiswa yang masuk lewat jalur ujian tulis secara nasional.
Setiap kali ada moment penerimaan pegawai baru lewat tes masuk CPNS, selalu pula terdengar kabar tak sedap adanya uang pelicin yang harus disetorkan atau setidaknya punya koneksi yang punya jabatan strategis dan punya kewenangan untuk menitipkan kerabatnya. Jadi, sebenarnya sudah jadi rahasia umum, bahwa profesi-profesi yang banyak diincar orang, biasanya cara masuknya tak murni hanya mengandalkan kepintaran untuk bisa lolos tes. Selalu ada alternatif "pintu belakang". Kalau punya koneksi kuat dan mampu menyediakan sejumlah besar uang pelicin, meski hasil tes tak memenuhi syarat pun bisa didongkrak hingga mampu menggusur orang lain yang seharusnya bisa lulus.
[caption id="attachment_199109" align="aligncenter" width="476" caption="Jika sistem rekrutmen dan penerimaan calon anggota Polri sejak masih di level pendidikan melalui jalur seleksi yang ketat dan bersih dari suap, maka penyimpangan perilaku polisi di lapangan bisa diminimalisir (sumber gambar : Album Ilustrasi K - by Bowo Bagus)"]
Issu semacam itu sudah terjadi bahkan sejak masih di tahap pendidikan. Mau masuk pendidikan kepolisian, ketentaraan, kedokteran dan sejumlah jurusan “mentereng” lainnya, seringkali tak cukup hanya mengandalkan adu kepintaran dan berbekal doa siang malam semata. Anehnya, para orang tua banyak pula yang rela merogoh kocek dalam-dalam meski jumlahnya kadang sangat fantastis. Entah karena mereka memang kaya dan punya uang sejumlah itu, atau mereka rela menjual assetnya – rumah, tanah dan kendaraan – bahkan yang sampai rela berhutang atau meminta bantuan sanak saudara demi memasukkan anaknya ke sekolah yang diharapkan akan mengantar anak mereka menjadi profesional yang kelak akan mengalirkan uang banyak pula. Alhasil, menyekolahkan anak ibarat berinvestasi. Berapa modal yang keluar, kelak diharap jumlah itu akan kembali dalam tempo tak lama.
Maka, lahirlah anak-anak didik produk pendidikan berbiaya tinggi. Ketika mereka telah lulus sekolah dan menjalani profesinya, orientasinya adalah “mencari uang” sebanyak-banyaknya. Karena itu kita tak perlu heran kalau melihat polantas masih muda, tapi dengan enteng saja menerima suap dari pengendara kendaraan yang seharusnya ditilang. Bahkan bila perlu mereka menjebak pemakai jalan, agar punya alasan untuk “memalak”nya. Juga tak perlu heran kalau sering terdengar berita para prajurit TNI atu polisi yang mencari “ceperan” dengan menjadi becking bagi pengusaha hiburan malam, mulai yang kelas bintang lima sampai yang kelas warung remang-remang.
Kita pun sudah sama-sama maklum kalau biaya berobat kini makin mahal dan tindakan medikasi berlebihan dari rumah sakit-rumah sakit berkelas internasional, juga terkesan dipaksakan. Seperti apa yang dialami oleh Prita Mulyasari. Terkadang penyakit tak terlalu parah pun sudah disarankan dirawat inap. Bahkan bila perlu, sampai 2-3 dokter spesialis yang menangani. Komersialisasi sudah terjadi di semua lini kehidupan.
[caption id="attachment_199197" align="aligncenter" width="450" caption="Menyuap demi memasukkan anak ke lembaga pendidikan atau agar diterima di instansi tertentu, sama saja dengan menyiapkannya menjadi koruptor (sumber gambar : putracenter.net)"]
Saya pernah mengenal seorang dokter baru lulus yang saat itu masih PTT di sebuah kecamatan di ujung Surabaya Barat. Suatu kali ia memborong sejumlah obat sampai berkardus-kardus. Saya lihat sebagian besar pil-pil yang dibelinya adalah obat-obat generik yang biasa dipakai dalam pengobatan massal dan gratis. Lalu ada sekardus besar berisi obat batuk dalam kemasan botol. Dia menguliti kertas label obat batuk bertuliskan merk dan komposisi kandungan obat. Saya tanya kenapa labelnya dibuang. Dia menjawab dengan tenang : “Supaya pasien gak tahu ini obat namanya apa. Kalau dia tahu, nanti kalau sakit lagi atau ada keluarganya yang sakit juga, dia bisa beli sendiri di toko obat . Kalau labelnya dibuang, kan dia terpaksa datang lagi ke tempat praktek saya”. Saya terperangah sambil berucap dalam hati : .“ternyata..., tak cukup hanya pintar, perlu juga hati nurani, agar ada keikhlasan untuk menolong orang yang sakit, bukan semata berhitung pendapatan yang masuk, sehingga berharap makin banyak yang sakit, makin banyak yang datang ke tempat praktek, makin banyak uang diterima”.
Tapi memang menjalani profesi berorientasi materi tidak sepenuhnya bisa disalahkan dalam kehidupan dimana semuanya “dibeli” dengan uang. Sebuah tulisan kemarin yang berjudul “Polisi Memang Harus Korupsi”, menyoroti hal ini. Kalau untuk masuk saja harus menyediakan uang puluhan juta, belum lagi dalam perjalanan karir pun di-back up uang, untuk bisa mulus naik pangkat hingga jadi jendral juga perlu ada uang, maka tentu tak heran jika sejak dalam proses pendidikan, paradigma materialistik sudah ditanamkan. Begitupun ketika mau masuk CPNS harus menyogok puluhan juta, tak perlu kaget kalau setelah jadi PNS kemudian korupsi dan masih muda sudah punya rekening gendut. Begitu pun kalau masuknya ke perguruan tinggi mengambil jalur berbayar mahal, masih ditambah pakai jasa joki, tak heran kalau kelak setelah lulus inginnya segera balik modal.
[caption id="attachment_199198" align="aligncenter" width="480" caption="Kepuasan dan kebahagiaan hakiki saat wisuda seperti ini, hanya bisa didapat jika kelulusan diperoleh lewat hasil keringat dan otak sendiri (sumber gambar : ut.ac.id)"]
Ini juga terjadi dalam dunia politik. Mengikuti ajang pemilihan caleg dan calon kepala daerah kini bukan lagi karena didaulat rakyat, tapi karena ambisi politik. Kendaraannya lewat partai politik, yang konon juga memungut “uang mahar”. Maka tak perlu heran kalau banyak anggota DPR, DPRD, Gubernur, Walikota, Bupati, yang belum habis masa jabatan sudah terjerat kasus korupsi. Yang masih selamat dari tuduhan pun belum tentu benar-benar bersih, bisa jadi karena belum ketahuan saja. Sebenarnya tak perlu heran kalau mereka korup, sebab ongkos politik yang dikeluarkan pun jumlahnya bisa mencapai puluhan milyar, seperti pernah dipaparkan Marissa Haque.
Sebuah contoh menarik pernah terjadi pada teman saya sekitar tahun 2007. Putri bungsunya sekaligus anak perempuan satu-satunya, saat itu akan lulus SMA dan berkeinginan masuk Fakultas Kedokteran. Memang putrinya ini relatif pintar dan paling pintar dibanding kakak-kakaknya yang laki-laki. Tapi si bapak tetap tak yakin putrinya mampu menembus UMPTN untuk masuk FK sebuah PTN ternama di Surabaya, yang FK-nya terkenal terbaik setelah FKUI dan saingannya sangatlah berat. Karenanya si bapak sudah bersiap-siap mendaftarkan putrinya lewat jalur berbayar. Ia sudah mendapatkan “daftar harga” tiap jurusan. Sumber uangnya, sudah ia siapkan untuk menjual sebuah rumahnya dan sebidang tanah yang menganggur – kebetulan teman saya itu seorang pengusaha yang cukup sukses, assetnya berupa rumah kalau tak salah ada 5 unit dan sekitar 7 bidang tanah yang dia punya.
Si bapak mengajak saya diskusi dan minta pertimbangan saya. Saat itu saya hanya menjawab : “biarkan anakmu meraih cita-citanya sendiri. Kalau ia berani punya cita-cita tinggi, ia harus juga punya nyali kuat. Jangan membelikan anakmu cita-citanya. Itu tak akan membuatnya menjadi kuat, sebab ia akan berpikir ‘toh bapakku bisa membelikannya untukku’ “. Setelah menjawab demikian, saya memberinya sejumlah soal-soal yang bisa dipakai putrinya berlatih.
Beberapa bulan kemudian, saya dengan putrinya tidak lagi ngotot masuk FK. Mungkin si bapak berubah pikiran tak akan memasukkannya ke jalur berbayar, kecuali si anak sanggup menembus jalur UMPTN. Si putri akhirnya ikut UMPTN dan memilih jurusan Desain Produk – yang dulu cikal bakalnya ada di juruan Arsitektur ditambah ilmu Teknik Industri – yang pesaingnya relatif tak sebanyak FK. Saat pengumuman UMPTN, putri teman saya diterima di ITS. Awal 2011 kemarin, saya mendapat sms dari teman saya, putrinya sudah lulus dan termasuk salah satu dari lulusan tercepat dengan nilai baik. Tak berselang waktu terlalu lama, dia menelpon saya, putrinya diterima di sebuah perusahaan besar di Bali. Saya bersyukur, ternyata, tanpa “membelikan” putrinya cita-citanya, si putri justru tertantang untuk meraihnya sendiri sesuai kemampuan. Memang, tak jadi masuk kedokteran, tapi bukankah jurusan yang dipilihnya kemudian juga mengantarkannya ke pintu sukses yang lain?
[caption id="attachment_199200" align="aligncenter" width="476" caption="Jangan belikan cita-citanya, sediakan saja anak tangga untuk meraihnya (buku, dll). tapi pastikan bahwa semuanya bersumber dari uang halal (sumber gambar : Album Ilustrasi K - by Bowo Bagus)"]
Jadi, jika kebetulan anda berkantong tebal dan cukup mampu untuk membeli cita-cita anak anda, ada baiknya berpikir panjang demi masa depannya. Apalah artinya membelikan cita-cita bagi anak anda, jika itu hanya mengajarkannya untuk berpikir mengembalikan modal jika sudah lulus kelak. Akhirnya, cita-cita bukan lagi sebuah tujuan mulia, namun sebuah hitung dagang yang tak lepas dari perhitungan untung rugi dan kembali modal. Apalagi jika cita-cita yang anda “belikan” itu demi anak anda bisa masuk ke instansi pemerintahan atau jadi aparat negara. Sama saja dengan membuatnya berpeluang korupsi untuk kejar setoran demi kembali modal.
Kalaupun Tuhan memberi anda kelebihan rejeki, sediakan saja anak tangga bagi putra-putri anda untuk membantunya meraih cita-citanya. Sediakan fasilitas belajarnya, belikan ia buku-buku yang diperlukan, ijinkan ia mengikuti ketrampilan tambahan yang dia mau. Yang jelas, bukan untuk menyediakan joki ujian baginya dan bukan pula memberinya alternatif mudah : kalau tak sanggup lewat ujian masuk tes tulis, bapak/ibu mampu kok menyekolahkanmu lewat jalur berbayar. Tak usah risau nak,kamu tak perlu pintar, sebab bapak/ibu sanggup membayar untuk membuatmu mengalahkan yang pintar.
Padahal.., sampai kapan orang tua bisa terus mendampingi anak-anaknya? Tak seorangpun yang bisa memberikan jaminan, sampai kapan usia dan kejayaan masih beserta kita. Moment Ramadhan seperti ini, dimana saat makan sahur dan berbuka puasa bisa jadi saat berkumpul bersama sekeluarga di meja makan, ada baiknya mulai menanamkan hal ini pada anak-anak kita : Nak, raihlah cita-citamu setinggi yang kamu mau. Kalau kamu berani punya cita-cita tinggi dan mulia, maka kamu pun harus punya nyali kuat, semangat yang tangguh dan menempuh cara-cara yang mulia dan bermartabat. Bapak dan Ibu akan mendampingimu, akan mendorongmu, tapi kami tak akan “membelikan” cita-citamu, Nak.
[caption id="attachment_199201" align="aligncenter" width="333" caption="Nak, semoga suatu saat kelak, engkau bisa mengenakan toga, yang kamu pakai karena meraihnya dengan tanganmu sendiri (gambar : koleksi pribadi)"]
Tapi jangan lupa pula memastikan, bahwa dana yang kita sediakan untuk membekalinya anak tangga meraih cita-citanya bersumber dari uang halal. Sebab, memberi makan dan membiayai anak dengan uang haram sama saja dengan memberinya asupan yang bisa membusukkan hatinya. Alih-alih berhasil meraih cita-citanya, anak yang diberi makan dengan uang haram justru tersesat di jalan yang salah dan mempermalukan serta bikin repot orang tua. Semoga kita dijauhkan dari hal-hal demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H